#Keingetan tulisan lama:
Toleh ke kanan, mentok theng crenthel. Ke kiri juga senasib. Ke depan idem. Ke belakang sami mawon. It’s means, wherever
kubuang mataku, di situ pasti tersuguh menu super ampuh maha dahsyat yang
sanggup menggemuruhkan insting paling primitifku as humanbeing, yakni libido!
Lhah, gimana
nggak mupeng, Bro, secara kemanapun kita memandang, di situ tersedia suguhan
surga duniawi berupa theng crenthel. Jangankan
ketek, lha ini sudah pangkalnya ketek je,
akarnya ketek je, alias plenthongan. Uuppsss, soriiiiii, bukan mau saru-saruan, tapi aku benar-bener
teringat wejangan seorang sahabat yang telah kutempatkan sebagai salah satu
guru ruhanikulah, kira-kira begitu maqam-nya,
bahwa jika kau tidak ingin basah, maka jangan dekat-dekat air, jika kau nggak
ingin mupeng, maka jangan dekat-dekat dengan theng crenthel.
But, tentu aku nggak berhak dong
nyalah-nyalahin para pengampu theng
crenthel itu, misal dengan berkhutbah: “Punya susu itu jangan diumbar,
auratttt…!!!!”
Halah, saru
ya…maaf deh.
Lha secara ini
bukan lagi rumahku, kantorku, tapi pulau orang sedunia, meski secara de facto dan de jure milik Indonesia.
Para pengampu theng crenthel itu datang ke sini sebagai tamu, tentu tamu
harus dihormati kan, dan mereka tentu saja membawa adat, tradisi, budaya, dan
bahkan falsafah hidup mereka, yang memang dalam banyak hal berbeda jauh dengan
adat, tradisi, budaya, dan falsafah hidup kita, aku, di sini.
Ah, bila
ngikuti wejangan itu, tentu patutlah aku yang dipersalahkan. Sudah tahu kalau
yang namanya Bali itu, Kuta itu, sarangnya theng crenthel, lhah kok masih datang! Sudah tahu kalau namanya api itu bisa bikin
terbakar, lhah kok masih mendekati api, main-main api! Sudah tahu kalau
melototin theng crenthel bisa bikin
segala aspek mata setubuhku kelilipan, lha kok masih mendelik aja!
Betul! Secara
ini, aku yang salah pol! Bego pol! Kalau nggak siap menghadapi biangnya ketek
itu bergelantungan bak buah Zakkum (hayah, padahal aku juga nggak pernah tahu
kayak apa buah Zakkum yang dijanjikan Tuhan sebagai asupan para ahli neraka
kelak), sampai mengakibatkan hati bergeser dari maqam fitriahnya, membangkitkan libido, membuatku mupeng dan
blingsatan di kursi sendiri gara-gara tertonjok punya sendiri, apalagi sampai
meledakkan imaji-imaji gila tentang adegan Kamasutra, ngapain aku datang ke
sini!
Mending kan aku di rumah saja,
atau di kantor saja, atau di masjid saja, yang tidak berpotensi menghadirkan
panorama theng crenthel begitu. Aman to! Clear to!
Tapi..heemm, let’s see deh. Hari gini, apalagi jika
kita eksis di kota
besar, masih ada nggak sih tempat yang steril dari aroma theng crenthel gitu? Susah, langka, nyaris sepi bin nggak ada. Bayangkan deh,
misal aku mahasiswa, mau ke kampus nih, sepanjang jalan pasti berpapasan dengan
orang-orang yang berkendara, bahkan dengan motor yang tentu bikin isis, dalam
busana yang memamerkan plenthongan theng crenthel-nya. Mulai dari yang bergaya
lekton alias kelek katon atawa you can see
(it, so please open your eyes, open your
imagination, come in to my ketek, enjoy it…) hingga yang berkrah rendah
maupun bercelana dangkal.
Hayah! Belum lagi mereka yang berbusana
sempurna namun memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya dengan sangat baik, sebagian
memajang warna celana dalamnya dengan sempurna, sebagian lagi bahkan
mengumumkan belahan pantatnya dengan sangat serius. Duh, Gustiii…
Sampai di
kampus, jalan menuju kelas atau mau mampir sebentar di kantin, ehhh…mudah
banget menemukan panorama yang menghantar arus listrik mupeng dengan sangat
baik pula. Ya jelaslah, secara deh,
hari gini kok bilang sulit menemukan cewek-cewek yang berpakaian minim, kurang
bahan, atau baju yang mestinya bukan ukurannya, tapi ukuran adiknya, hingga
membuat hatimu jadi gundah-gulana penuh nestapa menanggung seringai liar mupeng
yang ditiupkan dengan penuh dedikasi oleh syaithonirrajim
itu.
Itu baru untuk
kamu-kamu yang mahasiswa.
Bagaimana
kalau ternyata kamu seperti sosok temanku, yang bekerja sebagai waitress di sebuah resto mewah yang buka
24 jam. Ni dia ceritanya.
Syahdan,
tersebutlah…halahhh…kayak kisah zaman
Datuk Maringgih aja ya, heeee…. Setiap malam, di atas pukul 11 malam, mencari
sosok wanita muda wangi dengan dandanan seksi, tentu lekton, pakai celana pendek yang memang sangat pendek atau rok mini
dangkal, jauh lebih mudah ketimbang mencari wanita yang pakai pakaian lengkap.
Nah lho!
Kebalik kan?!
Tapi itulah yang riil terjadi. Meski tidak semua, namun sebagian besar wanita
muda beraliran theng crenthel itu
datang ke sini dalam rangka menunggu jemputan. Yah, nggak lama biasanya,
datanglah jemputan, lalu turunlah sang wanita, pindah ke mobil, dan bleng!
Hilang ditelan
kegelapan malam, tentu bersama theng
crenthel-nya. Nggak boleh sampai ketinggalan itu!
Sebagian besar
lagi, hanya dalam hitungan beberapa jam, telah muncul kembali di tempat itu,
lalu turun, ke parkiran, pakai jaket, naik motor, dan bleng! Hilang ditelan malam, tapi pasti kali ini untuk pulang ke
rumah atau kosnya.
You know, itulah kedahsyatan theng crenthel, bermula dari lika-liku theng crenthel, merambah ke ranah
mupeng, lalu ke action, maka
terjadilah hal-hal yang memang diinginkan itu.
Wherever you are, yakinlah bahwa theng crenthel akan selalu menyertaimu, menggodamu, dan
celakanya kamu atau aku nggak berhak sama sekali untuk memprotes para theng crenthel, sebagaimana nggak
berhaknya kita untuk memaki-maki pengendara yang ngebut nggak karu-karuan
membahayakan nyawa kita. Iya to, tahu-tahu kita nyaris saja disrempet oleh
kendaraan orang liar itu, sebagaimana tahu-tahu saja di depan kita ada pameran theng crenthel, dalam ragam variannya,
yang tahu-tahu pula begitu telak tanpa ampun memicu adrenalin kita membengkak,
mengeras, dan bisa meledak sedemikian barbarnya jika tidak bisa kita kendalikan
sendiri.
Jelas, siapa
pun Anda, nggak akan pernah berhak kemudian menyalahkan para theng crenthel itu, sekalipun Andalah
yang kemudian menuai “dampak sistemik” (kayak istilah dalam kasus Century aja
ya, heee….) parade theng crenthel tersebut. Mupeng, mungkin hanyalah skala kecil
“dampak sistemik” theng crenthel itu. Di atas itu, ada yang namanya seks bebas
hingga pemerkosaan!
Hayahhh, ngeri
deh kalau “dampak sistemtik” theng
crenthel itu nggak kita kelola
sendiri. Benar-benar kendalinya ada pada diri kita masing-masing, sama-sekali
bukan pada pemilik theng crenthel itu.
Lalu, dalam
kondisi begini, apakah mungkin kita menghindarkan terkaman theng crenthel itu? Bisa
“mungkin” jika kita memutuskan untuk mengasingkan diri ke hutan, hidup bersama
pohon-pohon, bertwitteran dengan semak-belukar. Tetapi, benarkah itu pilihan
yang bisa ditempuh saat ini?
Nggak deh!
Tentu bukan! Siapa pun Anda, sama-sekali nggak bisa lagi melepaskan diri dari
magnet kota.
Bahkan, yang hidup jauh dari atmosfir kota,
pasti tetap akan pernah datang ke kota.
Itu artinya, akan pernah bersinggungan dengan theng crenthel.
So, saat ini, masalah sebenarnya
bukanlah “jika tidak ingin terbakar maka jauhilah api”, melainkan lebih pada
“jika tidak ingin terbakar maka taklukkanlah api”. It’s means, kita nggak bisa
lagi menghindarkan diri ini dari theng
crenthel, maka yang bisa kita lakukan ialah menaklukkan theng crenthel tersebut.
Hooo…hooo…tentu
kata “menaklukkan theng crenthel” di
sini bukan dengan “menerkamnya” layaknya macam buas yang kelaparan dan berjumpa
kancil manis yang tengah sendirian atau “membelinya” layaknya para taipan yang
sepanjang hayatnya diabdikan untuk menjelajahi ceruk gelap “hutan manusia”
(jika bisa dibeli sih, karena nggak semua empu theng crenthel itu memamerkan
theng crenthel-nya untuk dibeli).
Tetapi lebih
pada diriku dan dirimu dalam menyikapi pesona liar theng crenthel yang sering datang dari arah yang tak terduga itu (min haitsu la yahtasib).
Kalau
kubiarkan otakku berkelana kemana-mana saat bertabrakan dengan pameran theng crenthel itu, hingga imaji-imaji
liar seputar area theng crenthel itu
bertebaran bak serbuk ditiup angin, dan terus menggila hingga ke ranah yang
melibatkan ceruk-ceruk gelapnya “hutan manusia”, maka theng crenthel akan benar-benar menjadi masalah serius bagiku.
Namun jika
penampakan-penampakan theng crenthel
itu kutempatkan sebagai sesuatu yang biasa saja, muncul dan lewat begitu saja,
nggak berkesan, karenanya nggak penting untuk dipikirkan, apalagi dihayati
dengan segenap jiwa dan raga layaknya kekhidmatanku zaman SD dulu saat
mengikuti lomba hapalan UUD 1945 tingkat kecamatan, maka theng crenthel is nothing!
Banyak-banyakin
deh theng crenthel-nya, kalau perlu
dekat-dekatin deh ke mukaku, sekalian jejer deh 5 buah, pasti nggak akan
menggoyahkan hati, apalagi menggoyangkan apa-apaku. (Uuppss, soriii, nggak mungkin 5 buah ding, sebab theng crenthel kan selalu kembar,
kecuali kalau salah-satunya telah diangkat gara-gara operasi kanker, oke ganti
aja jadi 10 buah deh, it’s means 5 owner theng crenthel, huaaahhhhaaaaa….).
So, umbyukan
theng crenthel di pantai Kuta nggak akan ngaruh apa-apa bagi kualitas
diri kita, kalau kita sudah bisa “menaklukkan theng crenthel” itu. Begitu pula jubelan varian dan modus operandi theng crenthel di sekitar hunian kita
sendiri, nggak akan berkesan apa-apa, jika sudah kita taklukkan. Maka, dalam
posisi begitu, mau besar atau kecil kek sang theng crenthel itu, niscaya akan benar-benar nothing. Noway! Prek! EGP! Nggak penting! Puiihhh!
Cuiihhh!
Lhah, kok si Soonan masih
kelihatan mupeng ya?!
Hiiii..hiii…itu
tanda belum kau taklukkan, Nom, tapi
kau hayati. Kasian deh lo, menghayati mulu, punya orang ini nggak bisa loe
makan beneran, kok repottttt….
“Sana deh, Soonan, ke bini tuamu dulu, alias kamar
mandi tuh… huaahhhaa…haaaaaa….” kata Paen
Dulmukti pada temannya yang lagi mupeng. ^_^
Jogja, 29 April 2010/2 Mei 2010
Catatan:
Theng crenthel = makna
analogis dari kawat jemuran yang diseraki dengan begitu banyaknya jemuran yang
tidak ditata baik sehingga terkesan morat-marit. Nah, sifat banyak dan
morat-marit itu biasa disebut theng
crenthel, dan judul tulisan ini pun
mengandaikan kondisi yang saking banyaknya dan morat-maritnya pameran
aurat itu.
Soonan = istilah fresh
untuk potongan rambut Mohawk yang ketebalan di bagian tengahnya sehingga
terkesan kayak sedang menyunggi benda.
Paen Dulmukti = nama inisial kawan penulis yang gemar pakai nama
tokoh Dulmukti dan kini benar-benar dikaruniai Dulmukti kecil, syukurlah
Dulmukti kecilnya mirip sekali dengan ibunya, bukan bapaknya.
1 Komentar untuk "THE CHRONICLE OF THENG CRENTHEL"
Theng crenthel ini lebih banyak menggoyahkan kaum adam :D