Setiap penulis
cerpen atau novel (fiksi) yang bernapas panjang, setelah berhasil mentas dari
masalah teknik, pastilah mulai berpikir tentang kesastraannya. Ya, pada level
tertentu, hal ini kerap menjadikan penulis jadi gamang pada dirinya sendiri,
takut untuk menulis lagi, lebih banyak merenung, berpikir, dengan fokus hanya
pada: “Karyaku sastra atau pop ya?”
Saat pertama
kali berkenalan dengan dunia kreatif menulis fiksi, Agustus 1995, saya
mendengar wacana ini: sastra versus pop. Kian intens saya menulis fiksi, kian
rapat saya bergaul dengan komunitas-komunitas seni-sastra, kian deraslah
pertarungan dua kutub itu di kepala saya. Bahkan, di sela keduanya, saya juga
mengenal istilah yang terasa cukup genit, yakni “pop yang nyastra atau sastra
yang ngepop”.
Tentu saja, sudah
khittah-nya, menjadi penulis cerpen
atau novel seharusnya berkarya dengan kreatif. Kreatif dalam artian bahwa dari
waktu ke waktu, karya-karyanya kian menanjak mutunya. Tidak mengulang. Tidak template. Tidak berhenti sebagai “mesin
cerita”. Ya, mesin, lantaran kemampuan teknik yang sudah sangat oke, tapi minim
kekuatan ide dan kontemplasi, terjebalklah ia jadi mesin yang selalu mampu
berproduksi dengan level mutu yang sama.
Agar tidak
terjebak jadi mesin cerita, strateginya hanya begini: memilih ide yang unik dan
olah data yang dalam-detail agar menghasilkan karya yang unik. Ya, unik! Saya
kira kreativitas selalu menuntut keunikan. Unik tidak harus selalu fresh, sebab sungguh betapa sangat
rumitnya untuk menghadirkan kebaruan itu sendiri. Jika ada yang berhasil
melesatkan kebaruan, jelas itu capaian yang luar biasa. Namun tentu juga kurang
bijak jika semata demi melahirkan kebaruan lantas menyebabkan kita tidak kunjung
berkarya. Karenanya, keunikan saya kira menjadi istilah yang adil untuk
dipegang.
Isu dikotomi
sastra dan pop ini terus terwariskan hingga generasi hari ini. Setidaknya, dari
pengalaman minimal saya dalam mengampu program menulis di DIVA Press Group,
berupa #LelangMenulisFiksi, #JustWrite, dan #KampusFiksi, ketajaman konflik
tersebut tetap sangat kuat terasa.
****
Malam tanggal
5 Mei 2013, saya stalk tweeter AS
Laksana. Saya termasuk salah satu fansnya memang dalam hal kegigihannya bersastra.
Saya menemukan 3 hal yang mengguncang kepala:
Pertama, seseorang bertanya kepada AS
Laksana, “Lalu novel sastra yang baik itu yang bagaimana?” Beliau menjawab,
“Yang meraih nobel sastra.” Jawaban ini mencerminkan level idealisme beliau
yang sangat luar biasa. Burung-burung
Manyar YB Mangunwijaya, Orang-orang
Bloomington Budi Darma, Khutbah di
atas Bukit Kuntowijoyo, Saman Ayu
Utami, Dzikir-dzikir Cinta
Habiburrahman el-Shirazy, hingga tetralogi Laskar
Pelangi Andrea Hirata, jika menggunakan barometer tersebut, menjadi bukanlah
novel sastra yang baik. Maaf, jika kesimpulan ini sangat deduktif.
Kedua, di tweet lainnya AS Laksana mengabarkan bahwa cerpen yang terpilih
sebagai cerpen terbaik Kompas tahun
ini (saya lupa judulnya) adalah
cerpen yang morat-marit.
Ketiga, ada sebuah link yang diposting AS Laksana (http://t.co/516Lz4l1ja),
tulisan beliau, berisi kritik barometer sastra yang menjadikan cerpen koran
sebagai ukuran kesastraan sebuah cerpen sastra. Dengan mengutip standar
pemuatan cerpen di Kompas, beliau mengkritisi
unsur aktualitas sebagai masalah pokok barometer sastra tersebut. Dalam bahasa
beliau, kira-kira begini: “Cerpen koran di Kompas,
misal, yang sering dijadikan barometer kesastraan sebuah karya bermasalah lantaran
tuntutan faktor aktualitasnya yang menjadikan cerpen sejajar dengan berita…”
Tulisan saya
ini tidak dimaksudkan untuk mengkritik AS Laksana. Tidak. Saya hanya
menyodorkan “pengalaman minimal saya”, baik selama menulis sendiri untuk koran,
blog, untuk diterbitkan di buku, menyeleksi 400-an novel yang masuk ke meja
saya di DIVA Press Group setiap bulan, maupun mendampingi anak-anak muda
menulis fiksi.
Mari saya
sajikan dengan cara begini:
Beberapa
peserta #KampusFiksi dan #JustWrite protes, kenapa diminta membuat cerpen
romantik-inspiratif sebagai salah satu syaratnya? Ada yang cukup menohok dengan berkirim email:
“Jangan-jangan DIVA Press ini punya maksud mengarahkan tema tertentu kepada
penulis? Omaigat, plis jangan begitu, biarkan penulis
bebas memilih…”
Saya langsung
mojok. What’s wrong with romantic, Guys?
Mengapa romantik begitu mudah sering di-judge
sebagai “tema pop”? Tema kelas dua? Tema tidak idealis? Tema tidak sastra?
Romantisme:
sebuah aliran filsafat yang berasal dari istilah “romans”, yang dalam dunia literasi dinisbatkan sebagai narasi
heroik prosa atau puitis yang berasal dari sastra Abad Pertengahan, yang
kemudian dipengaruhi dengan sangat kuat oleh gerakan Revolusi Industri dan
Revolusi Prancis. Sastra Romantik. Begitu ia disebut. Ia yang merupakan gerakan
penguatan emosi-emosi manusia terhadap alam dan lingkungan dan sesama,
mengerdil di kepala kita menjadi hanya “cinta fisik, cinta remaja, dan cinta
yang Platonik”. Reduksi epistemologi romantisme ini benar-benar menguasai opini
mayoritas penulis kita, sehingga mereka menganggap dengan tanpa ampun bahwa
romantisme adalah tema cinta yang “kelas dua, ngepop, bukan sastra”. Mereka
sontak alergi padanya bak berjumpa dengan pengidap lepra yang juga manusia
berperasaan layaknya kita.
Saya telah
berusaha menetralisir pemahaman general reduksionis itu dengan menambahkan kata
“inspiratif”. Bahkan, di tagline deTeens
(salah satu lini novel remaja DIVA Press Group), saya mempertegas: “Segala kisah tentang kamu yang tidak cinta
melulu.” Tetapi, ternyata itu tidak cukup efektif mencapai tujuan yang saya
maksudkan di hadapan sebagian penulis muda.
Saya membuka
catatan-catatan lama saya dan kawan-kawan seangkatan dulu saat berdebat tentang
“sastra vs pop”. Ternyata mainstream-nya
tetaplah sama. Saya sepakat dengan AS Laksana, bahwa menjadikan cerpen koran
sebagai barometer kesastraan jelas tidaklah sepenuhnya bisa
dipertanggungjawabkan. Bahkan, menjadikan Horison
dulu pun yang notabene berstempel
sastra sebagai barometernya juga tidaklah lantas mudah dipertanggungjawabkan
kesahihannya.
Saya sendiri
yang sangat sering menulis cerpen di koran-koran, termasuk Kompas dan Horison, juga tidak
kunjung mendapatkan “pembeda tegas” antarkeduanya. Apa bedanya cerpen yang
dimuat di koran dan blog dan buku? Estetika macam apa yang membedakan? Bahasa
jenis apa? Bahasa hariankah? Atau bahasa metaforis macam puisi-puisi gelap
Afrizal Malna dan novel yang cukup sulit dipahami awam macam Saman Ayu Utami?
Entahlah, dari
dulu sampai kini pun, tak pernah saya menemukan sebuah teori apa pun yang tegas
membuat peta epistemologis tentang itu. Gaya tulis saya yang menggunakan bahasa
harian, misal komparasi saja, relatif berbeda dengan gaya bahasa Agus Noor, tetapi
saya dan Agus Noor telah sama-sama mempublikasikan karya di koran dan Horison, di media yang sama. Saya dan
Agus Noor juga cukup sering menerbitkan karya di sebuah buku antologi yang
sama, yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga yang dipercaya sebagai pemangku
kesusestraan Indonesia.
Pasti ada yang
bermasalah dalam memandang epistemologi romantisme itu. Ya, pasti itu biang
keladinya. Saya kira tidaklah fair
untuk terus mereduksi romantisme hanya pada ide cinta yang fisik. Bahwa cinta
yang begituan merupakan serpihan dari romantisme, saya setuju. Tetapi bahwa
romantisme adalah itu, saya tidak sependapat.
Sangat banyak
bahkan novel-novel yang diterbitkan DIVA Press Group yang meraih berbagai
penghargaan yang “dipercaya” digawangi tokoh-tokoh sastra kita. Dari Sang Nyai, Semar Mesem, hingga Senja di Alexandria dan Kitab Cinta Yusuf dan Zulaikha. Juga
tidak sedikit novel-novel yang diapresiasi oleh mahasiswa-mahasiswa sastra dari
berbagai perguruan tinggi nusantara sebagai obyek studi skripsinya.
Ini baru
pengalaman di penerbit saya, belum lagi penerbit-penerbit mayor lainnya. Jadi, andai
kita tidak terjebak pada reduksi romantisme sebagai “cinta fisik yang parsial”,
saya yakin kita tidak akan antipati terhadap istilah romantisme tersebut.
Saya (tanggal
4 Mei 2013) sharing ide pada seorang penulis koran yang setahu saya sudah
sangat piawai tekniknya, Mauidi D. Dimas, tentang ucapan Raja Priam kepada
Akhiles dalam film Troy. “Aku kenal ayahmu, Akhiles, dan ayahmu sangat
beruntung tidak menyaksikan kematian putranya, tidak seperti aku yang
menyaksikan kematian putraku Hektor…”
Saya ingin
Mauidi D. Dimas menovelkan ide tersebut: tentang (misal) betapa dahsyatnya
nyeri hati seorang ayah yang menyaksikan hari-hari jelang kematian anak yang
amat dicintainya akibat serangan penyakit yang entah kenapa menimpa anaknya,
Leukimia.
Ya, ide ini bagian
dari serpihan romantisme, meski bukan cinta-cintaan melulu, bukan? Ide tersebut
jika ditulis dengan level teknik terbaik Mauidi D. Dimas, tanpa perlu
menggunakan bahasa yang gelap, yang ironisnya (menurut saya) sering dianggap
sebagai barometer mutu kesastraan, cukup dengan bahasa-bahasa harian, yang ngepop sekalipun, yang di dalamnya ada
kata-kata yang sangat dialergi oleh orang-orang idealis macam “nggak, emang kenapa, masalah buat lo…”,
niscaya akan menjadi sebuah novel yang mengguncang jiwa pembacanya.
Novel yang
ditulis tidak dengan bahasa gelap, yang di dalamnya ada serakan bahasa harian
yang diklaim ngepop, karenanya ia di-judge sebagai novel pop, tuna sastra, jika
berhasil mengguncang jiwa pembacanya, buat saya sudah lebih dari cukup untuk
disebut sebagai novel sastra!
Jika kita mau
lugu-luguan bahwa sastra adalah “karya olah rasa” (dari bahasa, ide, tema,
aliran kisah, dll), maka mari ajukan pertanyaan mendasar: “Apakah Anda akan
memilih membaca sebuah novel yang terang dengan ide dan aliran kisah yang
menginspirasi mengguncang jiwa ataukah novel yang sulit dicerna karena
kegelapan bahasanya dengan ide yang sama dan aliran kisah yang rumit?
Menganggap
barometer sastra adalah berbahasa gelap, pekat, hanya bisa dipahami kalangan
tertentu, saya kira sama persis dengan menganggap gadis berjubah lebar lebih
mulia dari gadis bercelana pendek di keramaian sebuah mall! Tidak ada keadilan
apa pun di sana,
karena hanya dilandaskan pada satu item (baju) yang itu sangat simplistik,
slapstik, alias abu-abu. Bukankah sangat banyak si baju alim yang begitu doyan
berkelana seksual? *abaikan ini*
Begitulah,
Kawan...
Saya kira,
terus-menerus membiarkan diri tenggelam dalam banjir dikotomi sastra vs pop hanya
akan menguras energi yang tidak berujung, bak memperdebatkan hak milik pada
seekor burung yang terbang di angkasa, kemudian burung itu menghilang begitu
saja di balik cakrawala yang mulai dipeluk senja.
Saya lebih
bersetuju dengan pandangan bahwa mau menulis cerpen atau novel apa pun, hal
pokok yang harus dipegang oleh semua penulis ialah mempertegas segmennya: mau
segmen remaja ya tentu harus meremaja atau mau segmen dewasa ya tentu harus
mendewasa. Soal di dalam novel bersegmen remaja atau dewasa itu ada kreasi
teknik menulis tertentu, mengusung tema cinta atau bukan, penggunaan cita rasa
bahasa tertentu, jelas itu adalah bagian dari kreativitas pengarang. Maka tidak
perlu heran bila di dalam novel bersegmen remaja atau dewasa, pembaca bisa saja
menemukan chemistry of soul yang sama
kuatnya, sebagaimana bisa saja pembaca menemukan kegaringan of soul di dalam kedua segmen itu pula.
Karenanya,
sebuah karya bernilai sastra, dalam arti sebagai tulisan yang memiliki kekuatan
olah rasa, jika mampu menghadirkan chemistry
of soul dalam jiwa pembacanya,
tanpa perlu mengaitkan dengan terbit di Kompas
atau Horison, DIVA Press atau Gagas
Media, atau pun memakai gaya bahasa, jenis ide, pilihan tema, alur apa, setting mana, dan sebagainya. Bukankah
semua item pembangun sebuah karya itu merupakan “alat-alat” yang dicapai proses
kreatif masing-masing penulis untuk menghasilkan sebuah rumah yang mempesona
hati orang-orang yang memandangnya?
Stempel dikotomis
sastra dan pop terhadap sebuah karya sungguh telah sangat usang. Seusang kenakalan
memperkosa epistemologi romantisme tanpa rasa iba…
Jogja, 6 Mei 2013
Tag :
Pasar Makalah,
Yang Serba Nakal
11 Komentar untuk "SASTRA VERSUS POP (Obrolan di Warung Kopi Idealisme yang Usang Sebenarnya…)"
Twillight yang nge-pop habis itu bisa saja kelak digolongkan sebagai karya sastra dunia karena banyak pembaca yg terpukau dengannya :)
twilight terlalu dangkal...tulisan yang baik itu melahirkan hal baru setelah kita membacanya, bukan malah tuntas begitu saja....meski cuma berbicara soal kentut sekalipun, jika diolah dengan dalam maka ia akan tinggal di kepala pembacanya.. dalam dunia musik juga begitu..meski tak disangkal lagu pop memang ramah di telinga... tapi ia jarang mendewasakan pendengarnya.. dan bahkan mudah dilupakan..
saya rasa label sastra atau bukan tak penting.... soal ide tak ada batasan sama sekali, mau romansa hingga juru copet sekalipun..kalau dangkal ya dangkal.. :)
coba bandingkan cara djenar dan ayu mengolah soal "kelamin" dengan Freddy S... temanya sama... tapi maaf, rasanya berbeda :) #SOTOY
Diva Press sudah pernah menerbitkan buku puisi, nggak, ya? Ini memang soal lain. Menurut saya, ini soal bahwa kondisi sebuah penerbit itu sehat, salah satunya ditandai ketika ia berani menerbitkan buku puisi!:))
Soal yang pop dan sastra, saya tidak begitu tahu dan tidak begitu ambil perhatian. Pengalaman saya sebagai penulis, ya, saya membayangkan pembaca karya saya. Karya yang saya tulis itu adalah yang saya kehendaki. Begitu, terima kasih.
pak edi, bhasa artikelny jg remang2 nih.. sbagian gak ngerti. tp uda dpt point2ny
Saya sebenarnya tidak bermaksud begitu Mas Edi. Tidak ada keinginan saya untuk mengdikotomi antara sastra dan pop (istilah baru yang saya dapat dari Mas Edi) :-)
Lagian pula surel saya sepertinya dipahami secara sepotong. Baiklah saya ulangi lagi surel lengkapnya:
Kenapa tugasnya harus bertemakan romantik?
Saya pikir, jika Diva ingin memahami karakter penulis, dia harus memberikan keleluasaan pada penulis untuk menggarap cerita beradasarkan tema yang disukai. Saya kawatir, jangan-jangan pelatihan ini nantinya, bakal diarahkan pada tema-tema tertentu pula. Oh God, jangan! :-)
Saya mohon pertimbangannya.
Hmmm… tidak ada maksud saya menjelek-jelekan tema romantik, kan? Malah saya ingin tahu kenapa Mas Edi harus memilih tema itu? Jika tidak ada penjelasannya, tentu di dalam benak saya akan muncul kecurigaan. Bukankah kecurigaan itu baik Mas Edi? Apabila ada dasarnya.
Jujur, untuk saat ini, saya bukanlah orang yang gemar membuat fiksi bertemakan romantik. Tapi bukan berarti saya membencinya. Bagi saya, tema romantik itu adalah tema tersulit untuk digarap. Apalagi seperti saya ini (yang masih minim pengalaman). Saya percaya pada nasihat William Blake (sebagaimana terdapat dalam buku Jakob Sumardjo “Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen”):
“Sebaiknya pengarang muda jangan menggarap tema cinta, sebab itu tema yang paling sulit dan paling dalam. Untuk pemula lebih baik mengambil dan menggarap tema yang lain saja. Cinta memang begitu besar sehingga muda terlihat dan mengira orang telah memahimanya secara telak, tetapi kebesarannya dan kedalamannya tak semudah itu untuk dipahami.
Meskipun pengalaman cinta merupakan obsesi kebanyakan remaja, hendaklah masalah besar itu jangan terlalu dianggap mudah untuk masuk cerpen. Hasilnya nanti hanya akan berupa luapan rasa pribadi. Kurang diendapkan dan direnungkan sehingga menjadi masalah semua manusia. Hasilnya lantas nampak cengeng dan keremajaan. Pengalaman cinta bukankah tak bisa diobral begitu saja, kan?”
Bukankah dalam pelatihan ini nantinya diikuti oleh penulis-penulis pemula (termasuk saya)? Yang belum banyak melanglang buana dalam dunia kepenulisan. Oleh karena itulah, selagi kami ini masih segar, ada baiknya (sekedar saran) diberi keleluasaan untuk menggarap tema yang disukainya. Dengan itu, Diva Press akan mudah membaca karakteristik si penulis, mau kemana arahnya?
Bagi saya, jika ada yang anggota yang tetap menggarap tema romantik, tidak masalah, berarti itu sense-nya. Tapi bagaimana yang belum? Apakah tetap dipaksakan menggarap tema itu? Mohon kebijaksanaannya.
Robby Anugerah
mencerahkan...
kali ini tidak koplak... ^_^
adem bacanya ^_^
aku juga kurang suka menulis yg berbau romantik. tapi setelah aku pikir-pikir belakangan ini, akan menjadi tantangan baru bagiku untuk bisa menulis yg sejenis itu. toh nantinya kita dapat membuat ciri tersendiri 'romantik' seperti apa yg melekat pada tulisan kita.
menurutku sih dilakoni aja dulu biar tahu dulu gimana sebenarnya itu #KampusFiksi, kan juga nggak ada ikatan dinas apa pun di sana... :)
Itu yang namanya M. Faizi adalah guruku, alumnus S-1 Sastra UGM, low profile orangnya...keren dehhh
Kenapa penerbit yang berkebijakan menerbitkan puisi disebut penerbit sehat, Pak Faizi? Mohon pencerahannya.