#LelangNulisNovel
adalah salah satu program kepenulisan kreatif yang saya fasilitasi dan ampu
sebagai “jalan tol” bagi penulis yang ingin bikin dan nerbitin novelnya di
@divapress01. Idenya dari saya, termasuk judulnya, sekadar saya kasih
gambarannya, dan peserta bebas mengembangkannya mau seperti apa.
#LelangNulisNovel
tidak akan selalu dibuka, tergantung kelonggaran waktu saya sih (songong :p).
Dan sekali dibuka hanya dalam rentang 6 jam (dari pukul 13.00-19.00). Nah,
tanggal 5 Mei 2013 kemarin, #LelangNulisNovel kubuka. Pendaftarnya masyaampun
benar! 90 peserta! Yang memenuhi ke tahap selanjutnya berupa ngirimkan
cerpennya ada 82 peserta, dan telah kubaca, kuteliti, dan kuputuskan ada dua
cerpen yang terbaik.
Untuk kategori
dewasa ada Dian Nafi, dan untuk kategori remaja (meski entah ini beneran masih remaja kagak penulisnya J)
ada Farrah Zaneti (kayak kapten Inter Milan aja ya namanya).
Kedua penulis
ini telah melangkah menuju synopsis untuk kemudian masuk ke tahap bab 1 dan
seterusnya. Congratslah. Untuk yang belum kupilih, nggak usah putus asa,
bagaimana pun ini hanya sebuah kompetisi, dan mungkin saja ada yang terpaksa
harus kutinggalkan karena sekadar factor x subyektivitas saya. Ambil saja sisi
hikmahnya bahwa “life must go on”,
“cinta kan
tak harus selalu memiliki”, serta “barang siapa mencintai sesuatu/seseorang
niscaya ia akan banyak mengingatnya.”
Nggak nyambung
kan?
Begitulah
hidup, begitulah kompetisi, kadang nggak memuaskan, kadang nggak nyambung. Tapi
aku tetap cinta kalian kok, dan akan terus bareng kalian bikin ajang-ajang
kreativitas macam beginian.
Nah berikut 2
cerpen tersebut, bisa kalian baca sendiri (ini kuposting atas seijin dua ukhti fillah tersebut). Kuposting apa
adanya. Dalam amatan saya, kekuatan konflik dan logika cerita kedua cerpen ini
di atas rata-rata peserta.
Kategori Dewasa
Lelaki Yang Mencintai Ibunya
Takkan Menyakiti Hati Wanitanya
Oleh : Dian Nafi
Aku hampir menjerit ngeri melihat
perubahan raut wajahnya. Matanya melotot marah, seakan hampir lepas dari
rongganya. Terus terang aku tidak pernah melihat mas Faisal seberang ini.
Kudekap anak perempuan mungilku demi meredakan amarahnya. Dan sepertinya cukup
berhasil. Mas Faisal menarik nafas panjang dan perlahan mengendurkan semua urat
sarafnya yang tegang beberapa menit tadi. Bisa kurasakan debar keras dalam
dadaku pun turut mereda seiring mas Faisal menyandarkan punggungnya ke sofa
ruang tamu kami.
“Saya pergi mengajar dulu, mas,” pamitku
cepat-cepat mumpung dia dalam keadaan gencatan senjata.
“Hm,” hanya dehem kecil dengan serak sisa
kemarahan terdengar lewat bibirnya yang semakin menghitam sebab semakin sering
merokok.
Jemari tangannya memberi isyarat padaku
supaya pergi cepat dari hadapannya sembari matanya tertutup rapat. Aku
beringsut pelan mendekatinya masih dengan anak perempuanku di gendongan. Kucium
penuh takdim punggung tangan mas Faisal sembari hatiku membisikkan permintaan
maaf. Karena jika kusuarakan, pastilah yang kudapatkan justru guntur yang lebih hebat.
Dia mengibaskan tanganku dengan segan.
Tapi aku tak kuasa marah, tak mampu sakit hati. Hanya perih, pedih. Bisa
kurasakan betapa mas Faisal menahan sendiri kemarahannya yang besar kepadaku.
Sesuatu yang aku sendiri mungkin tidak bisa melakukannya. Tetapi ya, kuakui,
mas Faisal adalah salah satu lelaki hebat itu. Yang tidak kuasa menyakiti
wanita, terlebih lagi padaku, istrinya.
Kutinggalkan rumah dengan hati yang rusuh.
Anak perempuanku masih pulas tidur dalam pelukanku. Langkahku terayun gontai
menuju kompleks pesantren mertuaku. Pagi ini aku terpaksa datang sendiri
mengajar ke PAUD yang kurintis bersama mas Faisal karena salah satu guru yang
kami tunjuk berhalangan hadir.
**
“Mbak Alin sakitkah? Kok pucat banget?”
tegur bu Dani, salah satu guru lain. Memang di kelas, meski aku berusaha
bersenang-senang dengan anak-anak didikku, tetapi sebenarnya hatiku masih
terpancang pada kemarahan mas Faisal.
“Memang agak pusing,” aku berusaha
menghindar dari pertanyaan lebih jauh lagi. Tak boleh seorangpun tahu masalah
kami bagaimanapun beratnya.
“Istirahat saja, mbak. Saya yang lanjutkan
ya? Biar dua kelas saya gabung,” bu Dani menawarkan diri dan aku mengangguk.
Kuangkat anak perempuanku yang tadi ikut
asyik bermain dengan anak-anak PAUD lainnya. Dan kubawa ke rumah ibu mertua
yang ada dekat lokasi madrasah.
“Faisal sudah berangkat kerja?” ibu mertua
menyambutku di terasnya dengan pertanyaan yang sudah kuduga sebelumnya.
Anak perempuanku mencium tangan neneknya
dengan tergesa lalu membrosot dari gendonganku dan dengan langkah-langkah
kecilnya masuk ke dalam rumah. Disambut oleh mbak pondok yang sedang piket.
“Tadi belum, bu,” kutekan nada suaraku
agar tidak mencurigakan, sembari mencium punggung tangan mertuaku.
“Oh, pantesan. Biasanya dia selalu ke sini
dan pamit aku dulu tiap kali berangkat kerja,” kalimat ibu mertua ini sudah
kuhafal betul.
Dan memang itulah salah satu kelebihan mas
Faisal. Dia sangat sayang dan menghormati ibunya. Dan seperti itulah dia
mengajarkan padaku tanpa kata, sehingga dengan sendirinya aku menghormati dan
mencintai ibu mertuaku seperti mencintai ibuku sendiri.
Dari ujung gang terlihat motor mas Faisal
mendekat ke teras tempat aku dan ibu
mertua mengobrol di atas lincak.
“Mi, saya nanti mungkin nggak pulang
rumah. Mungkin lembur,” pamit mas Faisal pada ibunya sembari mencium takdim
tangan ibunya.
Glek! Kutelan ludahku, serasa ada yang
tercekat di tenggorokanku. Apakah ini masih terkait dengan kemarahannya barusan
pagi ini.
“Kok lembur-lembur segala kenapa? Kalau
tidak perlu dilembur mbok yo ora usah lembur, kasihan istri anakmu ki lho kalau
di rumah sendirian,” ibu mertua yang juga mengasihiku seperti anaknya sendiri,
memeluk bahuku.
Tapi kangmas Faisal-ku bahkan tidak
menatap wajah dan mataku sama sekali. Masih bisa kurasakan kemarahan itu, tapi
dia tidak tega menyakitiku, betapa pedihnya menahan perasaan yang semacam ini.
“Yo wis,
yo wis. Kalau
memang harus lembur yo ora opo-opo. Nanti malam kamu sama anakmu tidur di sini
saja kalau begitu,” tukas ibu mertua cepat demi melihat mas Faisal tidak
merespon pertanyaannya.
Ah, ibu mertua yang sungguh pandai membaca
gelagat dan bahasa tubuh anak bungsunya. Aku merasa terberkati berada di antara
kedua orang yang kasih mengasihi ini. Namun juga sekaligus waspada. Jangan
sampai karena ketidakpekaanku atas kehalusan budi dan kepandaian menahan emosi
yang mereka miliki, aku jadi mendapat boomerang.
**
“Nggak di situ ya? Aduh jadi di mana nih?”
dengan gusar kututup telpon.
Aku tidak mau menginap lagi di rumah
mertua setelah kemarin sudah bermalam di sana.
Kupikir mas Faisal malam ini pulang dan tidak lembur lagi. kutelpon beberapa
temannya untuk mengetahui keberadaannya tetapi hasilnya nihil. Setelah lelah
semalaman mencoba mencari ke mana-mana dan tidak juga berhasil, akhirnya aku
kelelahan dan tertidur.
Pagi hari saat terbangun, langsung mencoba
menghubungi nomornya lagi seusai sholat subuh. Masih tidak aktif. Menghubungi
teman-temannya lagi, masih tidak terlacak. Aku semakin resah, tapi tidak ingin
membuat ibu mertuaku turut gelisah. Jadi aku bertahan di dalam rumah.
Baru agak siang kemudian baru kulihat lagi
wajah mas Faisal yang kurindukan, kusut dan layu.
“Mas dari mana saja. Semalaman
kucari-cari,” berondongku dengan gaya
khas istri pencemas dan rewel.
“Kamu masih peduli tho sama aku? Aku pikir
aku sudah tidak penting lagi,” ketus jawabannya, tapi tak menembus hatiku yang
penuh rasa sesalan dan dibuntal kerinduan juga cemas semalaman.
“Oh ya, motormu kugadaikan,” dengan nada
tidak merasa bersalah sedikitpun mas Faisal menyampaikan berita tidak
mengenakkan.
“Hah? Kok pakai menggadaikan motor,” aku
melirik ke teras dan baru sadar bahwa dia tadi pulang dengan tidak mengendarai
sepeda motornya sendiri. Entah dengan siapa tadi dia sampai ke rumah.
“Pilihannya cuma itu. Aku kemarin nembung
pinjam uang kamu buat nutup material, tidak kamu kasih. Jadi terpaksa motor
kutitipkan teman selagi aku belum bisa membayar material yang kuangkut ke
proyek,” jelasnya setelah menyruput teh tubruk yang kusiapkan sejak pagi
seperti biasanya.
“Sampai kapan?” sahutku cepat.
“Ya, sampai terminnya turun dan aku bisa
bayar. Wis,
aku kesel, ngantuk,” lalu tanpa mandi ataupun berganti baju, mas Faisal
meninggalkanku yang masih ternganga.
**
“Ini motormu,” aku kali ini dibuat
ternganga lagi karena malamnya mas Faisal sudah datang dengan motor pemberian
ibuku lagi. Yang tadi sesiang masih kusesali kenapa sampai digadaikan.
“Lho kok sudah bisa diambil? Kata mas
tadi….” Belum lagi kuselesaikan
kalimatku, mas Faisal sudah menyambarnya, “ aku ora tego awakmu, nduk. Tadi aku
ngobrol lagi sama temanku dan dia melepaskan agunan ini. Diriku jaminannya,”
ada getar kurasakan dari nada suaranya yang membuat air mataku menitik.
Tidak perlu menunggu ijin, aku menghambur ke dalam
pelukannya. Membenamkan wajahku ke dalam dadanya yang bidang dan luas, seluas
kesabarannya akanku, istri yang tak pernah dia sakiti seberapa pahitpun kadang
aku memperlakukannya
Kategori Remaja
I HEART YOU
(Oleh Farrah Zaneti)
Aku
terdiam menatap kumpulan castellanus yang berarak perlahan di langit. Sesekali
aku menghisap sebatang rokok di
tanganku. Pikirianku kabur ke segala arah. Tapi aku begitu menyukai keadaan
ini. Keadaan di mana segala sesuatu terlihat tenang padahal sebetulnya banyak
yang tidak berada di tempat seharusnya. Seperti aku dan pikiranku. Aku kabur
dari kelas dan pikiranku kabur meraba-raba ke segala obyek.
“Kamu
di sini lagi rupanya.” Sebuah suara riang yang tidak aku harapkan kehadirannya
terdengar lagi. Hampir dua minggu
terakhir ini suara ini selalu mengiterupsi kegiatan melamunku.
Sengaja
aku diam, tidak menyahut atau menoleh ke arah orang itu. Aku menyadari dia
mendekatiku dan dia duduk di sebelahku. Tapi sepertinya dia terlalu polos,
tidak peka, atau memang bodoh sampai tetap nekat melanjutkan niatnya untuk
duduk di sebelahku.
“Berhenti
menggangguku. Aku hanya ingin ketenangan. Kalau kamu hanya ingin mengajakku
masuk kembali ke kelas, itu sia-sia saja, kuberi tau.”
“Baiklah.
Aku akan menemani kamu di sini,” jawabnya dengan nada ringan.
“Aku
tidak suka diganggu. Sebaiknya kamu pergi saja. Kamu itu sekretaris osis, kalau
bolos pelajaran nanti bisa-bisa kamu dikeluarkan dari osis,” sergahku sambil
hendak menghisap rokok di tanganku yang tinggal seperempat batang.
Dia
meraih rokok itu dari tanganku, melemparnya ke sudut atap sekolah. Dia berdiri
mendekati sisa rokok itu dan menginjaknya. Aku berdiri melihat kelakuan
menyebalkannya tapi dia malah berbalik dan kembali berjalan ke arahku dengan
senyum dan wajah tak berdosa.
“Cewek
gak bagus kalau merokok,” katanya sebelum aku sempat menyembur. Dia
mengembangkan senyum kekanakan seperti biasa.
“Apa
pedulimu!” Aku kesal.
“Aku
pacarmu.” Dia masih memasang ekpresi seperti anak TK.
“Aku
menerimamu karena terpaksa,” gerutuku sambil mencoba menahan diri agar tidak
menghabisinya di sini.
Dia
lagi-lagi hanya tersenyum. Aku tidak
akan luluh dengan senyum itu! Dia pikir senyum itu bisa mengembalikan sebatang
rokok terakhir tadi? Dasar tidak tau terima kasih. sudah bagus aku mau jadi
ceweknya. Kurang ajar sekali balasannya seperti ini.
“Sartika,
dengarkan aku. Segala tindakanmu ini akan merugikanmu suatu saat nanti. Aku tau
kamu butuh pelampiasan—”
“Tau
apa kamu, hah?” Tanyaku memotong ucapannya. Dia itu merasa dirinya seorang rescue ranger atau pahlawan bertopeng
sih?
Lagi!
Semua pertanyaanku hanya dijawab dengan senyum itu! Sama seperti saat aku
bertanya kenapa dia menginginkan aku untuk menjadi pacarnya. Dia juga
menjawabnya dengan senyum. Pertanyaanku, cacianku, amarahku, perkataan kasarku,
semuanya dia jawab dengan senyum yang sok—oke, memang—manis itu.
“Masih
belum mau masuk kelas?” Dia kembali membuka suara. Kali ini aku memilih diam.
Dia menambahkan, “Kalau memang belum mau kembali ke kelas, aku akan menemanimu
di sini.” Dia lalu kembali duduk. Dia memeluk kedua lututnya dan berayun pelan
ke depan dan ke belakang dengan riang.
Aku
juga ikut kembali duduk. Masih dalam bungkam. Aku meliriknya sekilas. Aku
menghela napas dan kembali mendongak untuk menatap langit yang biru. “Ferro,”
lirihku memanggil namanya. “Kamu sudah menungguiku begini sampai sepuluh kali
sejak aku menerimamu. Dan semuanya masih menjadi tanda tanya untukku.”
“Ternyata
kamu menghitungnya?” Ferro tertawa.
Aku
gelagapan. “Bukan sengaja. Hanya saja aku sadar aku sudah terganggu sampai
sepuluh kali dalam sepuluh hari berturut-turut.”
Dia
mengulurkan tangannya, menyentuh kepalaku dan mengelusku dengan lembut. “Karena
kamu pantas untuk diganggu seperti ini.” Dia lalu tertawa kecil. Dia
menepuk-nepuk kepalaku pelan sebelum menarik tangannya kembali.
“Tidak,”
sanggahku. “Aku brengsek, semua orang bilang aku cewek begundal.”
“Jauh,
dekat, banyak, sedikit, baik, buruk, itu semua tergantung persepsi tiap orang.
Baik menurut mereka tidak harus menjadi patokan baik menurutku. Persepsi tiap
orang berbeda itu sah. Hanya saja ada persepsi yang berlaku secara umum yang
menjadi tolak ukur di masyarakat.”
“Intinya
kamu juga menganggapku begundal?” Aku agak tersinggung. Tunggu, sejak kapan aku
peduli pada pendapat orang tentang diriku?
Dia
menggeleng sambil tersenyum dengan senyum khasnya. “Ada yang pernah bilang padaku, setiap orang
mempunyai potensi baik dan jahat dalam porsi yang sama. Kalau kamu bias
tergantung pada rokok, aku yakin kamu juga potensi untuk membencinya. Ini semua
hanya tentang mindset.”
“Kamu
terlalu naïf, Ferro. Hidup itu tidak sesederhana teori.”
“Lupakan.
Sekarang lebih baik sekarang ayo kita bergegas karena sepertinya bel pulang
tadi sudah berbunyi,” kata Ferro.
Kali
ini aku menyetujuinya. Kita berdua berjalan turun kembali ke kelas.
•••
Aku
berjalan pulang dengan langkah gontai. Ferro hanya berjalan di sampingku sambil
bersiul riang. Sejak keluar dari gerbang sekolah, aku dan dia sama sekali tidak
mengobrol sepatah kata pun. Dan tragedi dia mengantarku ini juga dia lakukan
tanpa aku memintanya, tanpa persetujuan dariku.
“Sudah
sampai ke neraka,” ujarku memecah kesepian. Dia sepertinya tidak memperhatikan
sekitar sampai tidak sadar kalau rumahku hampir kelewatan.
Ferro
menghentikan langkah, memutar badan menghadapku dan menatapku dengan kedua alis
bertaut. “Neraka?”
“Rumahku.
Neraka.”
“Kenapa
begitu?”
“Memangnya
siapa yang suka sih ada di tempat orang-orang terbuang? Aku tidak pernah suka
tinggal dip anti dan aku benci pada
orang tuaku yang membuangku ke panti ini.”
Ferro
mengeluarkan senyumnya. Berhenti tersenyum dengan tampang tolol itu! Kenapa sih
dia bisa selalu tersenyum? Memangnya dia tidak punya masalah sama sekali dalam
hidup?
“Kamu
engga dibuang, Sartika. Kamu dititipkan.”
“Menurutku
tidak ada bedanya.”
“Sudah,
masuk sana.
Jangan berpikiran yang jelek-jelek lagi. Oh, juga jangan merokok lagi. Besok
akan kubelikan lollipop yang banyak untuk mengantikan rokok yang tadi.” Dia
tersenyum lebar dengan wajahnya yang polos itu.
Ketika
dia hendak melangkah pergi, aku tiba-tiba menariknya. “Ferro, boleh aku
bertanya sesuatu?”
“Tentu,”
jawabnya dengan nada riang.
“Apa
kamu tidak punya beban hidup? Kenapa kamu selalu bias tersenyum seperti itu?”
Dia
lagi-lagi hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaanku. Dia melangkah pergi
sementara aku hanya bisa menghela napas, melihat punggungnya yang menjauhiku.
Meskipun dia menyebalkan, setidaknya sejak aku menerimanya menjadi pacarku, aku
tidak merasa benar-benar kesepian lagi.
11 Komentar untuk "2 CERPEN TERBAIK #LELANGNULISNOVEL 5/5/2013"
1. wahhhh kerennnn, enjoy banget berceritanya. Gak kayak aku belepotan :D
2. baru mau baca
bagus. . . Dan mungkin karena jiwanya masih remaja aku lebih menghayati cerpen ke 2 kali ya.hehe
mas pengin dong aku punya cerpen dikomentarin. . .hehe
dua2nya memang sadapp :)
Terima kasih m Edi, Repita dan Winda :)
eh ketinggalan, terima kasih juga buat coretan pelangi :)
keren mbak Dian Nafi.. bener 2thumbs deh... lugas enjoy dan enteng ngebacanya tanpa harus berkerut kening..
Sae
cerita yang keren mbak...
jgn lupa kunjungi blog saya juga :)
Alhamdulillah. terima kasih Anonymous dan Bintang Maulana :)
cerita mb dian menyentuh. bakal nunggu jadi novel ini heheh :P
bagus cukup logis.. inspiratif
. ajarin aku buat cerpen dong :D hehe ,