(1)
“Baiklah, sekarang aku tanya,
mengapa kau mencintaiku?”
Entah kenapa, Rara malah
terkekeh.
“Aku serius!”
Rara masih terkekeh, tanpa
mempedulikan tampang Reza yang begitu straight
seperti habis kena jeb.
Entah kenapa, Reza kemudian lebih
memilih meneruskan kegiatannya melukis cicak-cicak di dinding.
Dan, entah kenapa pula Rara masih
saja terbahak.
****
(2)
Ini hari
Minggu. Ya, mestinya ini jadi hari yang sangat panjang buatku. Panjang
melintang di atas kasur seharian. Apalagi semalam baru saja merayakan pesta
kejayaan Manchester United yang ke-20 di tanah Inggris. Bukan
City, apalagi Chelsea yang sudah buang-buang duit…
Tapi hari ini
aku harus bangun lebih pagi ternyata. Pukul 07.00. Tampak seekor kunang-kunang
jantan melintas di balik kaca jendela kamarku yang berseberangan dengan XXI.
Ah, gila benar itu orang-orang rela antri berpanasan demi dapat tiket Iron Man 3. Semoga saja mereka tidak
segila itu hanya karena ikut-ikutan biar tercitrakan update seperti teman-temannya, tapi memang didasarkan pada candu
pada mutu film impor itu.
****
Fiksi adalah
fiksi, cerita fiktif, cerita karangan. Benar! Penulis adalah tuhan (pake t kecil aja, timbang ntar dikultwit dengan
data yang nggak kumengerti dimana itu ma Kak Uni) bagi karyanya. Mau
diapain saja si tokoh, alur cerita, konflik, setting, karakter, hingga ending-nya,
ya bebas. Benar! Namanya teh tuhan atuh…
Eiitsss, tapi, tapi dan tapi, ingat satu
hal ini: LOGIKA CERITA!
Sebebas apa
pun penulis fiksi, cerpenis atau novelis, apa pun aliran yang diambilnya,
realisme maupun surrealisme, password
itu haram hukumnya ditinggalkan. Seharam makan 5 ngaku 3! Ya, logika cerita
mutlak benar posisinya dalam sebuah cerita.
Sedramatis apa
pun konflik yang dibangun penulis, sedetail apa pun setting-nya, secetar apa pun untaian kalimat-kalimatnya, sejleb apa
pun ending-nya, jika dalam bangunan utuh
cerpen atau novelnya terdapat satu saja keganjilan logika cerita, maka
cideralah ia! Hilang sontak itu tsakepnya!
Mau cidera harmstring, hamster, lemper, daster,
binder, kamper, keriput hingga bokek sekalipun, nggak ada menarik-menariknya
sebuah karya yang cacat logika.
Begitulah
hukum dunia fiksi. Syariatnya begitu! Boleh saja kamu bertutur apa pun, dengan
teknik apa pun, mamasukkan quote apa pun,
tapi jika ada cidera logika cerita di dalamnya, remuklah kekuatan karyamu bak
krupuk Bakti Rantani di gigiku.
Catat besar
dengan lipstik merah kesukaanmu yang menyala bak semburan api naga dalam
film-film fantasy ya, bahwa logika
cerita tidak boleh pernah tidak diindahkan, sekecil apa pun.
Apa itu logika
cerita?
Logika cerita
adalah kelogisan dalam aliran cerita beserta seluruh item pembentuknya. Logika
cerita karenanya meliputi semua item novel, dari alur, penokohan, konflik, setting, hingga ending.
Apa standar
logika itu coba?
Tentu saja
standarnya adalah kelogisan umum yang realistik. Matahari ya terbit dari timur.
Hujan ya basah. Jeddah itu ya kota metro Saudi Arabia.
Telor asin ya pusatnya di kampung Karina, Tegal. Sumber Kencono ya lewat
Ngawi. Anak TK yang kemampuan berpikir
dan bicaranya ya kanak-kanak. Remaja ya sibuk dengan cinta dan cinta, plus
sekolah. Orang berumur 40 tahun ya sudah dewasa, sealay apa pun karakternya nggak
cocok atuh diberikan dialog alay ala
remaja yang pangling mana barat dan timur, “Ciyusss, kaca capaahhh…oooo
gicuuu…cerlallu cehhh…”
Logika ini
meliputi kebahasaan, karakter, pemikiran, dan fashion bahkan. Ada
realitas yang sesungguhnya di alam nyata yang harus diadopsi ke dalam cerita
agar terbangun kelogisannya. Bahkan kendati itu cerita fantasy yang nggak ada nyatanya di alam realitas, tetap saja harus
memiliki landasan logis kenapa dan kenapa si tokoh bisa terus awet muda, bisa
terbang ke dunia lain, bisa sembuh dari luka dalam semenit, bisa puas bercinta
hanya dengan menatap jendela yang gulita, dll.
Ya, harus
selalu ada alasan logisnya (tentu dalam wujud cerita) tentang segala hal yang
dilakukan si tokoh-tokoh ceritamu.
Coba sekarang
cermati dua penggalan cerita di awal tulisan ini.
Untuk
penggalan pertama, betapa sebalnya saya sama kata “entah kenapa”. Saking jengkelnya, saya sering menegaskan bahwa
haram hukumnya bagi penulis fiksi untuk menggunakan frase “entah kenapa” yang
konteksnya dimaksudkan untuk ngeles dari tanggungjawab penulis memberikan
penjelasan logis atas sebuah adegan atau jalan cerita. Sebab, menjadikan entah
kenapa sebagai bagian dari jalan cerita, sama halnya dengan menjadikan diri
penulis sebagai tukang sulap! Apa mau kamu punya gebetan hasil sulapan aja?
Malming yang sulapan? Mesra yang sulapan? Care
yang sulapan?
Pokoknya gitu
deh ceritanya. Ya entah kenapa…
Nggak boleh
gitu. Jika mind set-mu masih dibekap
oleh hal sejenis itu, niscaya di dalamnya berserakan seabrek ketidaklogisan. Akibatnya,
cideramu dimana-mana. Maka nasib karyamu jadi entah kenapa juga. Maka terbitnya
pun entah kapan…
Lalu penggalan
kedua. Coba simak ketidaklogisannya. Kunang-kunang
pukul 07.00. Kamar yang berseberangan dengan gedung XXI itu pasti kota besar ya. Nggak ada
sawah di situ. Kan
nggak mungkin XXI ada di Caruban, Ngawi, Kutoarjo, Gedong Songo, Wonosari to. Jadi, lalu dari mana muncul kunang-kunang
itu? Ooww, baiklah, itu nyasar, maklum
kunang-kunang jantannya lagi sebel BBM-nya nggak dibalas dari sejam lalu oleh kunang-kunang
ceweknya yang sibuk ikutan antri Iron Man
3?
Lalu pukul
07.00 apa XXI sudah buka ya? Ooww, baiklah, dibuka sendiri ternyata. Kan penulis itu bak
tuhan, bebas dong menceritakan gimana pun?
Ya deh,
sekalian aja bikin cerita bahwa Cleopatra itu demen makan telor asin di sebuah
kampung di Tegal, bersama Karina. Sesekali, Roro Mendut juga nimbrung lho di sana. Ah, bahkan ternyata
Pedrosa pun demen telor asin. Dan diam-diam Pedrosa suka curhat sama Roro
Mendut tentang kehebatan VR46 dengan M-1. :p
Yang logis,
yang logis! Ingat statemen ini: kemampuan
membangun kekuatan logika cerita mencerminkan kekuatan logika penulisnya dalam berpikir
sistematis, logis, dan argumentatif. Jadi, sebaliknya, jika sering abai
pada logika cerita, atau bahkan sering ambigu dalam mengawal logika cerita,
pertanda pola piker ponulisnya… *terusin sendiri!
“Wah, semalam
aku malmingan sama sopir truk molen lho,” tutur Minlev begitu bersemangat.
“Enak lho, kencan sambil ngaduk semen…”
“Demen banget
ma sopir truk molen!” sergahku.
“Lho, sopirnya
Ozil lho…”
“Ohh, jadi
sekarang Ozil berhenti main bola dan ganti jadi sopir truk molen ya?”
Percaya?!
Dosa besar
kalau kamu percaya pada cerita ini! Sama persis dengan dosa besar meninggalkan
shalat Jum’at! *lirik sandal yang bagus mana ya…?
End.
Jogja, 10 Mei 2013
4 Komentar untuk "LOGIKA CERITA ITU FARDHU ‘AIN HUKUMNYA ALIAS WAJIB!"
hahahah, kayaknya aku masih suka pake tu entah kenapa masih suka pake juga..
abis suka sulap sih hahaha..^_^
keren banget (-'_'-) sampe berasa ditusuk-tusuk, ugh~
"Sebebas apa pun penulis fiksi, cerpenis atau novelis, apa pun aliran yang diambilnya, realisme maupun surrealisme ..."
Om, logika dalam cerita surealisme itu seperti apa ya contohnya? :-/
masuk kepada akal