Segalanya seperti mimpi
Kujalani hidup sendiri…. (Utopia)
“Mau secanggih
apa pun smartphone-mu, jika nggak ada yang nge-chat-in, ya percuma…” kata saya
pada Bella dan Ve.
****
Maaf-maaf kata
nih ya sebelumnya jika ada kata-kata saya yang kerasa agak gimana gitu di hati
kalian yang pelakunya, namun saya kok raguuuuu banget dengan ketulusan
ucapan bahwa aku bahagia meski sendirian aja.
Hemm…masak
sih?
Saya sangat
sering berjumpa dengan orang yang mendesis sebab tangannya tak berhasil
menjangkau suatu barang yang membuatnya ngiler sebab tak ada duit.
“Mahal
banget….”
“Kapan-kapan
deh…”
Ya, sejenis
itulah. Lalu, jika diulik lebih gimana gitu, mereka tanpa ragu kemudian
berkata, “Nggak apa-apa kok, tanpa itu pun aku nggak masalah. Aku bahagia
aja….”
Duh, lalu
kemana tadi desisannya? Itu artinya desisan apa? Juga sederet kalimat mahal,
ntar aja deh, nggak perlu juga ini?
Ya betul sih,
tanpa pakai Nike, misal, juga bisa
hidup. Tanpa makan bulgogi atau fruits salad, juga hidup. Misal aja ini.
Jika yang
dimaksud bahagia itu adalah “bisa hidup”, ya benarlah bahwa bahagia itu
sederhana. Sebab bahagia itu sederhana, buang sajalah itu segala macam warisan
dunia ideal Plato, imajinasi Jean-Paul Sartre, atau eksistensialisme Immanuel
Kant. Nggak perlu deh semua itu. Tanpa itu pun, nyatanya bisa hidup kok.
Ehh ya,
buangin jugalah itu teori investasi agar kelak kaya, toh nggak pakai itu juga
bisa hidup.
Saya curiga
itu adalah hidup yang sekadar hidup belaka, sehingga bahagia yang dimaksudkan
adalah bahagia yang sekadar belaka pula.
Apa pun, pasti
ada levelnya, tingkatannya.
Ganteng juga
ada levelnya. Pintar juga. Kaya juga. Gemuk juga. “Sepanjang sarung XL masih
muat, kau belum gemuk,” misal aja ya ini, maka ini tentu levelnya nggak sama dengan
orang yang beratnya 65 KG dan sangat resah.
Maka, jelas pula
dong, bahagia pun mengenal level. Jika kau berada di level bahagia sederhana,
maka ya kau memang tak perlu teori ini itu. Tapi jika level bahagiamu tinggi,
jelas kau membutuhkan ini itu.
Apakah
level-level itu lalu logis dinyatakan sama?
Ya nggak dong.
Sama dengan nggak logisnya untuk menyebut hidup yang hidup saja dengan hidup
yang berwarna sebagai sama saja nilai hidupnya.
Nah, jika
hidup sendiri disebut bahagia, kini terang kan bahwa level bahagianya nggak bisa
disamain dengan hidup berpasangan. Apa yang kau sebut bahagia adalah bahagia di
level yang (contoohhh ajaaaa iniii)
pegang remot tivi melulu di malam Minggu, yang level itu nggak banget untuk
disebut bahagia oleh orang yang having
dinner di malam Minggu.
Ya sih, boleh
saja kau mendebat lagi, “Kan
tiap orang beda dong ukurannya….”
Iya sih, benar
juga itu. Benar bahwa kata-kata lisan/status sama sekali tak selalu mewakili
keadaan yang sesungguhnya. Haaaa….
Jogja, 25 Agustus 2014
9 Komentar untuk "APA BENAR SENDIRI ITU BAHAGIA?"
Haaa... ini semua ternyata soal level bahagia :D
Bahgia adalah.....ah, sudahlah rin
Bahagia adalah bahagia
Iya, kan setiap orang punya ukuran bahagianya masing-masing, Pak. #eh
sebuah sudut pandang baru dalam melihat bahagia. saya merasa tercerahkan
Jadi, saya sangat setuju bahwa bahagia itu butuh perjuangan, dan patut untuk diperjuangkan.
level bahagia,setuju bahagia itu sederhana tergantung kita menyikapinya seperti apa
Salam Blogger............
semua berangkat dari kebahagian dan bakal balik bahagia hehe