Hidup ini
sesungguhnya adalah tentang “cara”. Ya, cara, teknik, how to, atau the way. Apa
pun masalah yang sedang kau hadapi, hasil akhirnya akan berbuah manis atau
pahit, berdampak positif atau negatif, sepenuhnya berbanding lurus dengan “caramu”.
Saking begitu
prinsipilnya urusan cara ini, ia sangat memadai untuk dijadikan “alat berkaca” guna
melihat diri atau orang lain “telah menempuh hidup dengan baik atau tidak”. Cara,
tak pelak, merupakan pengukur seberapa tinggi level pengetahuan (pendidikan)
kita, adab kita, dan bahkan spiritualitas kita.
So, pikirankanlah matang-matang terlebih
dahulu “caramu” dalam berucap dan bertindak di hadapan masalah atau keinginan
apa pun yang hendak kau tuju.
Mungkin saja
seseorang akan berpikir bahwa jika kita mengutamakan cara, itu pertanda kita
rentan munafik. Anggap saja, misal, saya ingin menolak seseorang yang hendak
meminjam uang dengan jumlah besar. Saya ada uang itu. Tapi saya sungguh cemas
ia tak amanah sebab rekam jejaknya kurang terdengar merdu selama ini. Lalu saya
berkata, “Maaf ya, ini bukan saya nggak mau bantu, tapi saya sedang banyak
kewajiban yang harus saya selesaikan terlebih dahulu.”
Orang yang
tahu bahwa saya sebenarnya tidak berada dalam posisi demikian, mungkin akan
bergumam, “Ah, bohong. Bohong kan
bagian dari tanda munafik?”
Dari satu
sudut itu, bolehlah klaim itu dibenarkan. Tetapi, kau harus mengerti, bahwa
hidup ini berjuta sudut. Kita akan menjadi robot jika melihat dan menempuh
hidup ini hanya dari satu sudut.
Bahwa saya lebih
ingin menghindakan diri dari “potensi negatif lebih besar” dengan tetangga jika
saya meminjaminya uang, misal sampai ribut sebab ia tak menepati janji
pengembaliannya, sehingga saya menempuh sebuah cara untuk melepaskannya, ini
adalah contoh sudut pandang lain. Tetapi ada berjubel sudut pandang lain yang
sangat layak untuk dijadikan pertimbangan dulu.
****
Yang justru
ironis ialah saat kita gagal meraih “cara terbaik”, padahal jalan itu tersedia
andai kita mau berpikir lebih dalam dan menenangkan diri sejenak. Yang justru
menyedihkan ialah saat kita menuai panen pahit semata akibat kita gelap mata
hati dan pikiran untuk melihat “jubelan cara” yang sebenarnya tersedia, dengan
hanya terjebak pada satu cara baku
semata.
Orang yang
mengalami masalah cara ini pastilah tipikal orang reaktif (kurang reflektif,
miskin permenungan, fakir pemikiran). Nesuan,
mutungan, ngamukan. Sesungguhnya, ia hanya perlu berdiam diri sejenak,
untuk memberikan kesempatan kepada mata hati dan pikirannya bekerja sebagaimana
manusia. Tetapi, justru yang mengemuka, betapa seringnya kita menepikan kerja
hati dan akal semata akibat gagal menyelamatkan diri dari gelegar emosi, bukan?
Ya, emosi.
Musuh paling
serius dalam masalah ini adalah belenggu emosi. Amarah.
Di luar itu?
Pendidikan
(pengetahuan) dan pergaulan.
Disebabkan
kita menghuni kehidupan ini laksana lalat dalam toples kaca, jadilah kita
merasa telah begitu tahu banyak tentang kehidupan ini, padahal sejatinya kita
tidak pernah ke mana-mana.
Mata si lalat
bisa melihat ke sekitar tempatnya terkurung dari balik toples kaca itu. Tetapi,
sungguh ia tak pernah melihat dan mengetahui segala warna di balik tembok
tempat toplesnya diletakkan. Ia
sebenarnya hanya “seolah” telah melihat dan mengetahui kehidupan luas ini.
****
Jika kau
berpikir bahwa kau telah mengetahui banyak hal tentang kehidupan ini dan
berkelana dengan banyak orang, dapat dipastikan bahwa engkaulah contoh sempurna
dari orang yang berpotensi besar miskin “cara”.
Alamiahnya,
apa yang kau pikir hari ini sebagai “cara terbaik” haruslah memperoleh antitesa
dari kelana pengetahuan dan pergaulanmu di periode-periode selanjutnya. Soal
apakah cara yang kau teropongkan terhadap satu hal itu menggunakan cara yang
lama, atau cara lama tapi sedikit dimodifikasi, atau bahkan sama sekali cara
baru, itulah cermin dari “kau bukanlah lalat dalam toples kaca itu”. Ada proses pemikiran dan
permenungan di situ.
Apa pun yang
kau inginkan dalam hidup ini, sekali lagi, timbang dengan matang caramu. Teramat
sering, cara itulah yang akan menjadi penentu apakah keinginan yang kita
perjuangkan itu “baik/buruk”, bahkan “halal/haram”.
Maka, pecahkan
saja toples itu, agar kau bisa keluar, melihat lebih banyak, dan mengetahui
lebih banyak pula.
Jogja, 9 September 2014
5 Komentar untuk "HIDUP ADALAH TENTANG “CARA”"
Makasih nasihatnya....
Luar biasa pak , tulisan anda seperti magnet, ingin terus membacanya sampai tuntas.. tema tema yg diangkat juga luar biasa ..
Makasih udah baca
Semoga bermanfaat
Saya baru tau blog ini dan saya suka dengan gaya tulisan anda. Ringan dan logis. Saya belum menemukan kesusahan dan kesulitan di sini (maksudnya gagal paham). Seolah melewati hidup itu mudah dan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Semoga anda tidak melakukan banyak salah tulis, Pak. Karena pemikiran anda banyak yang mengamini:)