Nggak usah
dihubung-hubungkan sama “Tuhan telah Mati”-nya Nietzsche. Saya hanya ingin
membuktikan bahwa “semua jenis teks” (buku, karya tulis, status, twet, dll.)
otomatis telah membunuh penulisnya saat dibaca orang lain. Kian banyak yang
membacanya, kian banyak yang membunuhnya.
Apa yang saya
maksud di sini tentu bukan kok lantas teks itu tiada maknanya lagi. Bukan. Teks
itu justru menjadi lebih “hidup”, namun pengarangnya seketika mati.
Saat sebuah
teks ditulis, maka yang menghembuskan nyawa ke dalamnya (konteks, maksud, sasaran,
dll.) adalah penulis. Saat teks dipublikasikan, dibaca banyak orang, seketika
pengarang telah terbunuh. Pengarang tak mungkin lagi bisa mengawal nyawa
(konteks, maksud, sasaran, dll.) yang ditiupkannya pada teks itu. Pembacalah
yang berposisi sebagai peniup nyawa (konteks, maksud, sasaran, dll.). Otomatis,
semakin banyak yang membaca teks itu, semakin banyaklah nyawa (konteks, maksud,
sasaran, dll.) yang ditiupkan ke dalam teks itu.
Maklum kan kini, mengapa tidak
pernah ada sebuah tulisan apa pun yang melahirkan “anak-anak” sesuai plek dengan tiupan nyawa (konteks,
maksud, sasaran, dll.) penulisnya. Sebab, pengarang telah mati, digantikan oleh
pembaca, yang dalam bahasa hermeneutis Ricoeur disebut “pembaca adalah
pengarang kedua, ketiga, dan seterusnya….”
Cara pembaca
meniupkan nyawa (konteks, maksud, sasaran, dll.) ke dalam sebuah teks
mencerminkan “level nyawa” setiap pembaca itu sendiri. Pembaca yang pendek
akal, sontak akan berkata hitam, misal. Pembaca yang cukup panjang akal, akan
berkata putih, misal. Begitu seterusnya. Sebuah teks dengan sendirinya akan
bernilai hitam atau putih, positif dan negatif, sepenuhnya bergantung pada
level setiap pembacanya, yang diserap ke dalam kepalanya, hatinya, lalu
sikapnya.
Mudah
dimengerti kini mengapa semulia apa pun sebuah teks ditiupi nyawa (konteks,
maksud, sasaran, dll.) oleh penulisnya (bahkan termasuk ayat suci yang ditulis
oleh Tuhan), ia akan selalu menghasilkan kebaikan atau keburukan di tangan
pembacanya.
Pengarang
sungguh telah mati saat teks yang ditulisnya dibaca orang lain. Tugas pengarang
akhirnya memang hanya untuk melahirkannya, dan selanjutnya biarkan pembaca mengambil
posisinya sebagai pengarang kedua, ketiga, dan seterusnya. Nyawa hitam atau
putih sepenuhnya mutlak milik pengarang kedua, ketiga, dan seterusnya itu.
Bermanfaat atau persetan sepenuhnya mutlak milik pengarang kedua, ketiga, dan
seterusnya itu.
Boleh jadi
saat pengarang pertamanya sedang ngegym
atau ngakak di sebuah kafe, di luar sana,
pengarang kedua, ketiga, dan seterusnya tengah sibuk bermetamorfosis menjadi
malaikat atau setan.
Jogja, 23 September 2014
7 Komentar untuk "“PENGARANG TELAH MATI” (Pembaca adalah Pengarang Kedua, Ketiga, dan Seterusnya)"
Bisa dijelaskan lebih lugas lagi pak? :D Biar saya tidak jadi setan atas tulisan ini. He..
teori dasar ilmu tafsir aja. ah, sehebat njenengan kok ndak paham, ndak mungkinlah....
Naaa... kalo saya yg bingung, pak Edi pasti maklum.
**baca lagi... ulang lagi...
Iyaa baca lagiii rin xd
Bingung, -_-
jadi, sebaiknya, jika kita adalah pengarang pertama, apa yang seharusnya dilakukan agar kita tidak pernah mati?
Nyimak