“Bisa nulis, kan?” tanyaku.
“Iya. Saya rajin nulis status, twet, PM, juga catatan kuliah,”
sahutnya.
Iya, semua kita bisa menulis; menulis yang sekadar menggabungkan
kata-kata. Siapa pun yang melek huruf, pasti bisa nulis. Ya, nulis yang sekadar
begitu tadi. Mengharap lebih jauh lagi, itu urusan lain lagi.
Soal “bisa menulis” itu sukses menjadi sebuah kalimat, apalagi paragraf,
dan lebih-lebih menyambung antar paragraf secara padu menjadi sebuah karangan
(fiksi dan non fiksi), jelas nggak banyak yang bisa. Bahkan, sorry to say,
cukup banyak mereka yang memiliki buku sekalipun, ternyata masih kembang-kempis
dalam membuat kalimat yang baik, menyusunnya dalam sebuah paragraf, dan menggabungkan
banyak paragraf menjadi sebuah karangan.
Dari pengalaman dan pencermatan saya melalui Kampus Fiksi, saya
sangat percaya bahwa untuk menjadi penulis yang baik (yang bisa merangkai
kata menjadi sebuah kalimat yang baik, lalu menyusunnya menjadi sebuah paragraf
yang baik, lalu menggabungkan banyak paragraf itu menjadi sebuah karangan yang
baik), ada tiga pilar utama yang harus diperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Yakni, pilar imajinasi, sistematika berpikir, dan penyajian
teknik.
Baiklah, kali ini saya akan bicara tentang pilar pertama, yakni imajinasi.
Kebanyakan awam memahami imajinasi semata dari kata bahasa Inggris, illusion,
yang artinya adalah “angan-angan, ilusi”, bukan dari kata imagery,
imaginary, dan imagine, yang menunjuk pada “proses deskripsi (figurasi)
untuk menghasilkan gambaran obyek, ide, dalam pikiran.” Ah, sialnya, definisi
macam begini pulalah (ilusi) yang difatwakan oleh Kamus Bebas Bahasa
Indonesia (KBBI) kita.
Off course to yo, terdapat perbedaan
mendasar antara kerja illusion dengan kerja imaginary. Yang
pertama menunjuk pada “khayalan”, yang satu lagi menunjuk pada “berpikir
reflektif” (kontemplasi). Yang khayalan cukup pakai isi kepala
seadanya sehingga seringkali begitu dekat dengan igauan, yang kontemplasi
menuntut penguasaan data, referensi, dan (pendek kata) pengetahuan. Yang khayalan;
begitu merasa punya hal yang disebut ide, langsung tancap ketik. Tentu berdasar
apa adanya isi kepala saat itu tentang ide itu. Yang kontemplasi, begitu
merasa punya hal yang disebut ide, ia mencari tahu dulu, memikirkannya
dalam-dalam, menguasainya dengan detail, sampai matang dan siap dilahirkan.
Tak perlulah saya ulas apa itu imajinasi menurut Derrida atau Sartre
di sini. Perbandingan di atas saya kira sudah cukup terang untuk dipahami bahwa
ada perbedaan besar antara orang yang sekadar berkhayal dengan orang yang berimajinasi:
berkhayal tak perlu pengetahuan, berimajinasi perlu pengetahuan.
Cukup mudah untuk mendeteksi apakah sebuah karya (artikel, esai,
cerpen, dan novel) ditulis dengan dasar imajinasi atau khayalan kok. Yang based
on imajinasi pasti menghadirkan kedalaman dan kecerahan, sementara yang based
on khayalan pasti menghadirkan kedangkalan dan kemuter-muteran belaka.
Coba perhatikan contoh ini:
===============
Dari kaca lebar bening yang menjadi dinding pembatas antara kafe ini
dengan selat itu, kami bisa begitu leluasa menyaksikan kerlip-kerlip lampu dari
daratan Eropa. Juga geliat lampu-lampu mobil dan bus pariwisata yang tengah
melintas di atas jembatan Bosphorus yang tak seberapa panjang itu, yang menyatukan
tanah Eropa dan Asia. Jika kau melintasi
jembatan itu dari arah Istanbul ini, tepat pada aspal yang agak menurun di
tengah jembatan itu, tolehkan kepalamu ke kanan, maka kau akan menemukan plang
dengan tulisan “Welcome to Europe”. Sebaliknya, jika kau berangkat dari
arah sana, di
bagian kirimu akan terlihat sebuah plang bertuliskan “Welcome to Asia”.
Di arah tenggara dari kafe ini, kami bisa pula menatap lepas wajah
Sulaiman Mosque yang menjulang dengan
anggunnya. Dan, tentu saja, di bawah sana, di tepian dermaga yang menyimpan jejak-jejak
tentara terbaik Al-Fatih saat menaklukkan Konstantinopel, di antara perahu dan
kapal yang sandar untuk sejenak istirahat itu, kami bisa dengan mudah menemukan
para sejoli yang tengah menikmati angin laut sambil berpelukan dengan
hangatnya.
===============
Ada data. Ada pengetahuan. Ada pemikiran. Ada kontemplasi dalam
penulisan contoh tersebut.
Lalu bandingkan dengan contoh ini:
===============
Lelaki yang menabrakku itu tersenyum begitu manis. Oh my God,
senyumnya membuatku melting. Buku-buku yang berserakan di lantai
seketika terlupakan. Dalam hati, aku berharap dialah lelaki yang dikirimkan
Tuhan untuk menghentikan kesunyianku setiap malam Minggu, selama bertahun-tahun
ini.
===============
Note: kedua contoh itu ditulis
dengan teknik yang memadai.
Maka, kini, jelas sekali, bahwa pilar pertama penentu kualitas
tulisanmu terletak pada kualitas imajinasimu, bukan khayalanmu. Dan kekuatan Imajinasimu
selalu paralel dengan kekuatan pengetahuanmu.
Imajinasi ibarat ruh, jiwa. Jika ruhnya saja tidak jelas juntrungnya,
lahir dari kepala yang malas membaca dan mengasup pengetahuan, enggan berpikir
dan merenung, sangat mudah dibayangkan bakal seperti apa kondisi tulisannya
kelak. Bahkan, sekalipun si penulis sudah piawai teknik, niscaya tulisannya
akan tetap kosong bin dangkal. Apalagi, di tangan orang yang teknik menulisnya masih
megap-megap.
Come on, insaflah sekarang juga, bahwa
untuk mampu menghasilkan tulisan yang baik, langkah pertama yang harus
dilakukan ialah ciptakan ide yang baik melalui proses imajinasi itu. (to be
continued)
Jogja, 12 Oktober 2014
Tag :
Artikel,
KampusFiksi
7 Komentar untuk "3 PILAR MAMPU MENULIS: (1) PILAR IMAJINASI Oleh Edi AH Iyubenu "
Artikel ini sungguh membatu menyadarkan bahwa menulis itu perlu imajinasi, bukan khayalan, Terimakasih :-)
Keep writing
inspiratif mas..di tunggu selanjutnya..
perlunya imajinasi
Perlu latihan dan banyak-banyak membaca ini biar bisa menciptakan tulisan yang baik dari imajinasi yang baik..
artikel ini jleb.jleb banget..
Baru nyadar selama ini khayalan bukan imajinasi. Makasih mas Edi, ditunggu lanjutannya. :)
makasih pencerahanya, jadi berasa baru keluar dari tempurung