Di depan pintu
sebuah ATM, pukul 11.30 WIB, di sebuah sudut kota Jogja yang akhir-akhir ini serupa wajan penggorengan,
seorang gadis yang masih jomblo merengut dengan kening berkeringat. Lalu ia
duduk, menekuk lutut.
“Udah lama ya
orang di dalam?” tanyaku.
“Iya,”
jawabnya.
“Tunggu tiga
menit lagi ya, kalau belum keluar, kuketuk,” kataku.
“Iya, Mas,”
jawabnya dengan menyimpan sedikit harapan.
Jika kau
bertanya, bagaimana aku bisa tahu ia jomblo, lihatlah di keningnya. Ada tulisan “sendiri”, meski agak luntur disaput
keringatnya. Mungkin, jika ia telah pulang ke kostnya, tulisan itu akan
ditebalkan lagi dengan eye liner.
Atau, malah krayon.
Oke, tiga
menit berlalu, orang di dalam ATM tak keluar juga, kuketuk pintunya. Efektif! Tak
ada semenit, ia keluar dengan muka masam. Mulutnya sedikit berkomat-kamit entah
apa. Anggap saja ia sedang merapal mantera pengusir dehidrasi akibat ketukanku
tadi.
Gadis jomblo
itu pun masuk dengan mata berbinar. Udara benar-benar kayak tungku di sini.
Jika kau pecahkan sebutir telor, lalu taruh di aspal dekat kakiku berdiri,
dalam hitungan 10 menit pasti matang. Dan, gadis jomblo itu belum juga keluar dari
bilik ATM lebih dari 10 menit!
Ah, kau ini,
Gadis jomblo, tadi merengut sebab ibu tadi lama di dalam. Begitu kuketukin
sebab kau tak punya nyali melakukannya, kini kau pun mengulangi kelakuan ibu
tadi.
Dua menit
kemudian ia tak keluar, kuketuk pintu ATM. Ia pasti tahu akulah yang
mengetuknya. Efektif! Belum semenit, ia keluar dengan muka masam. Persis
tampang ibu yang merapal mantera dehidrasi tadi.
“Ah, kau ini,
udah tahu rasanya menunggu di teriknya siang begini nggak enak, masih saja kau
berlama-lama di dalam,” kataku sambil memegang pintu ATM yang terkuak.
“Iya ini belum
selesai sih, Mas,” jawabnya.
“Ibu tadi juga
nggak selesai saat kau bete banget menunggu,” kataku.
“Iya tanggung,
Mas,” jawabnya.
“Jika kau
nggak nyaman banget menunggu kayak tadi, harusnya ya saat kau masuk, kau tidak
perlu membuat orang lain menunggu sama lamanya kayak ibu tadi,” kataku.
“Iya kan belum selesai
urusanku,” jawabnya.
“Mau selesai
atau nggak ya tetap aja kau sudah tahu gimana rasanya dipaksa nunggu orang
nggak pengertian begitu, kan?
Masak iya pantas kau juga memperlakukan orang lain begitu?” kataku.
“”Iya sabar,
Mas,” jawabnya.
“Berapa nomer
HP-Mu?” kataku.
“Ini, Mas,”
jawabnya sambil memberikan nomer HP-nya.
“Oke, ku-save
ya,” kataku.
“Iya, Mas,
main-main ya ke kostku,” jawabnya.
Lalu kami
saling bertukar nama, saling melempar tersenyum, dan pasti sebentar lagi kami
bakal jadian. Aku akan memanggilnya “Mama”
dan dia akan memanggilku “Papa”. Atau,
kalau ternyata dia agak religius, bolehlah aku mengalah dengan memanggilnya “Ummi” dan dia memanggilku “Abi” saja. Yang penting dia nggak
memanggilku “Munyuk” agar aku tak
menyebutnya “Munyukwati”.
Persis
cerita-cerita genit karya orang-orang miskin bacaan dan fakir pergaulan yang
demen memaksa para tokoh ceritanya kenalan secara tak sengaja, dengan dibikin
saling bertabrakan, lalu bertukar nomer HP, lalu saling jatuh cinta. Plus, kere
diksi dengan hanya menulis “kataku”
dan “jawabnya”.
Jogja, 28 Oktober 2014
Tag :
KampusFiksi,
Yang Serba Nakal
6 Komentar untuk "AKU DAPAT KEKASIH BARU DI ATM"
Owalah, teenlit dg gaya manula ternyata
ihihihiiii.. ternyata kesitu toh hohoho.. bagus sih mas, eh papa hihihihihiii :D :D :D
Ini orangnya nongol xd
Huaahh parah iki
hampir mirip cerita menye2 saya, om . . . bedanya, punya saya real story dan tragedinya adalah jalan bareng nyari ATM online hampir satu kilometer, karena ATM yang berdekatan M*r*t* K*mp*s offline semuaaa . . . XD
haha... meski katanya ini cerita genit karya orang-orang miskin tapi tetap saja ini enak di baca. lucu. keren.