Para jamaah fiksi rahimakumullah.
Sebagaimana
disiplin ilmu lainnya, dalam ilmu menulis fiksi pun, para ahlinya, ulamanya,
juga memiliki beberapa perbedaan pendapat (ikhtilaf).
Ya, namanya ikhtilaf, perbedaan, itu
wajar saja. Justru itu pertanda kita masih hidup. Jadi, saat berhadapan dengan ikhtilaf apa pun, enyahkan watak sensi, ngejudge, ngeklaim. Tinggal menyaring,
mencerna, dan memilih pendapat mana yang menurutmu lebih cucok, lalu ikuti.
Berikut
beberapa ikhtilaf di kalangan para
ulama fiksi kita.
1. Outline atau Sinopsis
Saya
berpendapat bahwa outline atau sinopsis
sebaiknya dibuat terlebih dahulu oleh penulis, sebelum menulis. Dibuat di file atau kertas coretan tersendiri,
bukan di dalam ingatan kepala belaka, apalagi kepalanya dicorat-coret. Bahkan,
sekalipun sedang menulis cerpen. Apalagi novel.
Manfaat besar
dari adanya outline atau sinopsis itu
laksana “kompas” bagi penulis agar tetap selalu fokus, tidak meluas ke
mana-mana tanpa peran yang jelas, dan juga untuk menjaga passion terhadap tulisan yang sedang berjalan. Saya percaya sekali
bahwa sesuatu yang disiapkan dengan detail dan matang pastilah akan membuahkan
hasil yang lebih terarah dan manis pula.
Namun ada
ulama fiksi lainnya yang mengatakan bahwa menulis ya mengalir saja, biarkan
bebas sesuai aliran imajinasi saat menulis, agar hasilnya tidak terkesan
dipaksakan.
Qaul ini, sebagaimana difatwakan Nyai
Herlinatiens, mungkin saja relevan untuk
penulis yang sudah punya jam terbang tinggi dan habit menulis yang konsisten.
Sekalipun saya tetap cemas akan membuat penulis kehilangan fokus di tengah
jalan, terutama saat ada suatu kesibukan yang menyebabkannya lama tidak sempat
menulis.
Untuk penulis pemula,
rekomendasi saya pakailah outline
atau sinopsis.
2. Snapshot
Sebagaimana
telah dijabarkan dalam postingan
sebelumnya, juga dalam buku Silabus
Menulis Fiksi, snapshot berguna
untuk “mencekamkan” atau “menguatkan” suasana dari kalimat sebelumnya. Snapshot memang bukanlah kalimat, tapi frasa.
Misal:
Udara beku menghantam sempurna dermaga kecil
ini. Gemeletak. Gigil. Mengisut gelepar.
Kata Gemeletak. Gigil. Mengisut gelepar. dalam contoh itu berfungsi sebagai snapshot. Menguatkan kalimat sebelumnya:
Udara beku menghantam sempurna dermaga
kecil ini.
Saya
berpendapat bahwa snapshot besar
sekali gunanya, sehingga sangat layak untuk digunakan dalam tulisan fiksi. Seno
Gumira Ajidarma dan Agus Noor merupakan contoh cerpenis yang piawai sekali
menggunakan snapshot ini. Tapi, ada
ulama fiksi lain yang tidak menyetujuinya, misal AS Laksana dan Kiai Faizi L.
Kaelan (nama terakhir adalah guru menulis
saya pertama kali).
Menurut
mereka, sebab snapshot bukanlah
kalimat, tapi frasa, maka ia tak layak digunakan. Penggunaan snapshot hanya akan mencederai kualitas kaidah
baku sebuah tulisan.
“Seorang tukang haruslah mengerti fungsi segala macam alat pertukangan,” begitu
qaul mereka.
3. POV 2
Point of View (Sudut Pandang) ini lazimnya ada dua, yakni POV 1 (aku-an) dan POV 3 (dia-an). Begitulah yang diajarkan di bangku sekolah dan kuliah,
sebagaimana yang difatwakan kitab karya Nurgiyantoro dan Keraf, misal.
Kini, muncul
pula apa yang disebut POV 2 (kamu-an)
(khusus tentang POV 1 dan POV 2 syar'ie, tidak akan saya bahas). Nah, terjadilah ikhtilaf di antara
para ulama fiksi di sini.
Saya
berpendapat bahwa POV 2 itu ada, boleh dipakai, sahih saja diambil sebagaimana
penggunaan POV 1 dan POV 3. Namun POV 2 ini sangat sulit untuk diterapkan dalam
penulisan novel, berkaitan dengan kewajiban penulis untuk menjamin keterpeliharaan
logika cerita dari awal sampai akhir. Berat! Dalam penulisan cerpen, penggunaan
POV 2 relatif mudah, karena pendek saja. Tapi untuk novel, saya tidak
merekomendasikan.
Harga “cacat
logika cerita” sebuah novel terlalu mahal untuk ditebus oleh “pemaksaan diri”
menggunakan POV 2. Tapi tentu saja somonggo
mawon bila ada yang sanggup melakukannya dengan baik.
Untuk pemula,
sebaiknya jangan ya. Beban kalian sudah sangat berat dalam hal teknik menulis (plus
beban-beban lain di luarnya seperti menunggu
kepastian atau hidup yang terasa tak
adil saat menyaksikan sejoli bergandengan tangan), maka jangan ditambah
dulu dengan beban POV 2 ini ya. *nasihat
saja karena saya peduli*
Seorang kawan,
ia ustadz fiksi yang masih muda, Adam Yudistira, begitu kokoh menolak
penggunaan POV 2 ini. Boleh jadi ia mewarisi qaul qadim Keraf yang
terbit tahun 1982 itu atau mungkin ia semata cemas dengan masalah konsistensi
logika cerita itu saja. Wallahu ’a’lam bi
al-shawab.
4. Pesan Moral
Saya
berpendapat bahwa setiap karya dibaca, termasuk fiksi, terjadi proses “internalisasi
nilai” kepada pembacanya; transfer nilai atau ilmu. Mudah dimengerti mengapa
orang sekaliber Seno Gumira Ajidarma, misal, menyatakan bahwa “cara untuk bisa
menulis bagus ialah dengan cara membaca buku-buku bagus”. Terang sekali di sini,
bahwa pengaruh bacaan sangat besar bagi kehidupan setiap pembacanya.
Saya
berpendapat bahwa sangat penting bagi penulis fiksi untuk menyelipkan
nilai-nilai moral atau amanat yang edukatif dalam setiap karyanya, tetapi tetap
dalam bingkai cerita. Harus dengan cara smooth!
Invisible, kayak oksigen, tahu-tahu
tertelan begitu saja.
Tetapi juga
ada ulama fiksi lain yang mengatakan bahwa tugas penulis fiksi ialah bercerita
saja; jangan terobsesi untuk berfatwa dengan pesan moral, berdakwah apa pun.
Ya, saya
bersepakat dalam hal “bercerita”, tetapi tidak untuk “bercerita saja”. Niscaya akan
sangat membahagikan jika pada suatu hari saya mengetahui ada sebuah cerpen saya
yang menyenangkan untuk dibaca sebagai sebuah cerita dan sekaligus mempengaruhi
hidup pembacanya sebab muatan pesan moralnya.
5. Sastra versus Pop
Saya
berpendapat bahwa dikotomi sastra dan pop adalah kesia-siaan belaka. Sampai
kapan pun! Bukankah banyak cerpen yang dimuat oleh media yang identik sebagai
gawang sastra ternyata juga bisa dimuat di media lain yang identik dengan
kultur pop? Contoh nyata, Agus Noor sering menulis di Kompas yang identik dengan gawang sastra, tetapi ia pun pernah
menulis cerpen di Nova yang disebut
media pop. Style-nya tetaplah style
Agus Noor.
Saya
berpendapat bahwa dikotomi sastra dan pop ini persoalan “kulit bahasa” an sich. Tidak lebih. Dari kaca mata
struktur cerita, bahkan ide dan imajinasinya, sama saja. Dan poin tentang
“kulit bahasa” ini hanyalah persoalan segmen dan passion yang sengaja dipilih oleh setiap media dan penulis, selaras
dengan kelompok pembacanya.
Sama persis
dengan kala saya menyampaikan materi menulis di hadapan anak-anak SMP, tentu
saya harus bisa membedakan “kulit bahasa” yang saya pakai dibanding kala saya
menyampaikan materi yang sama di hadapan kelas mahasiswa.
Maka, letak
poinnya dalam menulis fiksi bukanlah pada “kulit bahasa” (tanpa bermaksud
menegasi pentingnya estetika bahasa), tetapi pada capaian ide, imajinasi, dan
teknik penceritaannya saja.
Demikianlah para
jamaah fiksi rahimakumullah, ikhtilaf-ikhtilaf di kalangan para ulama
fiksi yang saya rekam. Monggo, boleh
saja jika ada yang ingin menambahkan.
Sekali lagi, sebelum
pengajian ini saya tutup, di hadapan ikhtilaf
apa pun, hal yang harus selalu dikedepankan adalah pahami utuh-utuh ragam ikhtilaf itu, lalu pikirkan qaul mana yang lebih cucok menurutmu, kemudian silakan ikuti.
Tidak usah berantem gara-gara ikhtilaf. “Ikhtilaful
ummati rahmatun”.
Wallahu ’a’lam bi al-shawab.
Jogja, 13 Oktober 2014
Tag :
Artikel,
KampusFiksi
3 Komentar untuk "BEBERAPA IKHTILAF DI ANTARA ULAMA FIKSI Oleh Edi AH Iyubenu"
Matur nuwun ceramahnya, Pak Edi. Sangat mencerahkan memahami ikhtilaf ulama fiksi ini. Salam
Pada akhirnya, karyalah yang akan menguji keabsahan pola pikir dan prinsip-prinsip seorang penulis. http://www.pesantrenpenulis.com/
Mantab Pak Edi, pencerahan sekali pengajiannya....