Sebagai
penulis fiksi yang berkelindan sejak tahun 1995, saya mengerti bahwa “gaya bahasa” setiap
penulis fiksi pasti tak sama. Bahkan, sekalipun itu berada di pilihan teknik dan
genre yang sama.
Misal, teknik snapshot (silakan baca postingan saya yang khusus tentang snapshot). Sekalipun Seno Gumira
Ajidarma sama demennya dengan Agus Noor dalam menggunakan teknik snapshot, keduanya tetap memiliki gaya bahasa yang berbeda.
Demikian juga Joni Ariadinata, Aan Mansyur, Yetty A. Ka, AS Laksana, dan
semuanya. Termasuk saya.
Jika kau
pernah mendengar seorang penulis bicara tentang “style”, atau “capaian estetik”,
atau “karakter tulisan”, itulah
“maksud umum” gaya bahasa bagi penulis. Kondisinya tentu takkan pernah sama (justru kalau sama, itu adalah masalah serius),
dan memang tak perlu disama-samakan antarpenulis, sebab itu kerjaan yang
sia-sia. Itu sama persis dengan mengatakan bahwa penyuka lagu Caca Handika
lebih rendah derajatnya dibanding penyuka lagu Nirvana dan Metallica. Dikotomi
yang sungguh kalah jauh gunanya dibanding tidur.
Saya akan
berikan contoh:
Aysila membuka pintu kamarnya, menapak
beberapa langkah, lalu melongokkan kepalanya ke jendela yang terbuka.
Aysila membuka pintu kamarnya. Menapak
beberapa langkah. Lalu melongokkan kepalanya ke jendela yang terbuka.
Dibukanya pintu kamar itu. Kakinya menapak
beberapa langkah. Kepalanya dilongokkan ke jendela yang terbuka.
Tiga contoh
berbeda itu mengandung deskripsi yang sama, narasi yang sama, dengan gaya bahasa yang berbeda.
A, B, dan C tersebut sama sahnya, sama baiknya, sama levelnya.
Contoh lain:
Malam begitu gulita. Legam. Senyap. Angin
tak bergerak. Seperti gemetar. Seperti dirinya yang terpaku di pojok pekat
lelah menopang tubuh gemetarnya.
Malam begitu gulita. Panorama sangat Legam. Suasana
begitu senyap. Angin tak bergerak, seperti gemetar, seperti dirinya yang
terpaku di pojok pekat, lelah menopang tubuh gemetarnya.
Malam begitu gulita. Mata tak mampu
menangkap apa pun di antara legamnya. Angin tak bergerak, terasa sangat senyap,
terasa turut gemetar, seperti dirinya yang terpaku di pojok pekat. Ia lelah
menopang tubuh gemetarnya.
Tiga contoh
itu sama baiknya, sama sahnya, sama mampunya menciptakan deskripsi suasana,
bukan? Maka mendikotomikan contoh A lebih baik daripada B, dan B lebih baik
lagi daripada C, sungguh pekerjaan yang sia-sia.
Contoh lagi:
Sebuah kamar. Sebuah jendela. Sebuah
kenangan. Ia terkapar di dalamnya. Tanpa suara. Kecuali air mata.
Di sebuah kamar, yang memiliki sebuah
jendela, ia terkapar tanpa suara. Air matanya tumpah dilindas kenangannya.
Ia terkapar tanpa suara apa-apa di dalam
sebuah kamar yang berjendela. Air matanya begitu basah mengiringi kenangan yang
sangat menghunjam hatinya. Ia terkapar di dalamnya.
Ketiga contoh
itu juga sama selamatnya. Sama asyiknya. Sahih
linafsih, bila raibin. Tak perlu
ada keraguan sedikit pun tentang kesetaraan deskripsi itu dalam menggambarkan
sebuah suasana.
****
Setiap penulis
niscaya akan menempuh proses “dipengaruhi atau mempengaruhi” gaya bahasa orang lain. Bahasa kerennya, intertekstualitas. Ini juga hal yang
normal belaka. Pada gilirannya, setiap penulis yang intensif belajar dan menulis, pasti akan berlabuh pada sebuah
kecenderungan personal, baik itu tentang genre
maupun gaya
bahasa. Semuanya akan berlabuh ke dermaganya masing-masing, bermalam di rumah
masing-masing.
Dalam posisi
sebagai penulis fiksi, tugas kita hanyalah menulis dengan lebih baik, baik, dan
baik lagi. Di dalam proses lebih baik, baik, dan baik lagi itu pastilah penulis
yang sungguh-sungguh belajar akan menemukan gaya bahasanya. Serupa tugas pelukis yang
berjuang untuk meraih gaya
estetik lukisannya. Juga pemusik, penari, dll.
Mendekati
karya fiksi dengan teori-teori baku bahasa, apalagi yang sudah usang macam
teknik SPK, jelas akan menghadapi banyak masalah jika “si pendekat” itu tidak
menyertai dirinya dengan pemahaman tentang “capaian estetik” atau gaya bahasa
antarpenulis.
Misal ya,
bahwa menulis kalimat yang benar secara kaidah baku bahasa haruslah berstruktur SPK,
sehingga yang tidak mengikuti pola demikian adalah salah dan buruk, maka
habislah itu “capaian estetik”. Punahlah itu capaian estetik Putu Wijaya, Seno
Gumira Ajidarma, Agus Noor, dll., yang notabene mereka dikenal luas sebagai penulis
fiksi yang mumpuni. Membedah karya lukis abstrak dengan kaidah baku seni rupa naturalisme, misal, maka jadi
jeleklah itu semua lukisan abstrak yang pernah mengejutkan muka bumi dengan apresiasi
dan harganya yang selangit.
Maka, saya
kira, bukanlah karya fiksi (sastra) yang harus mengikuti kaidah baku diktat bahasa, tetapi kaidah-kaidah baku itulah yang harus sanggup menyingkapkan
kemajuan dinamis capaian-capaian estetik setiap karya yang dibedah. Dulu, jika
ingat, puisi ala pantun itulah yang dianggap baku dan benar. Belakangan, berjubel capaian
estetik penyair yang tak lagi cukup didekati dengan kaidah baku pantun. Puisi Afrizal Malna dan HU Mardi
Luhung, misal, akan habis capaian estetiknya jika menggunakan kacamata teori
pantun untuk membedahnya. Kira-kira, kondisi demikian serupa dengan menganalisa
spek motor prototipe MotoGP dengan kacamata spek MIO. Sungguh, memilih tidur akan lebih berguna untuk dilakukan.
Ya, ya, ya, finally, tentu saya tak lupa untuk
mengatakan bahwa penulis fiksi yang baik haruslah terlebih dahulu mengerti
benar kaidah-kaidah baku
berbahasa. Lalu, dari pengetahuan dasar tersebut, silakan ia terbang ke
ruang-ruang jauh kembara estetika yang tak berbatas itu….
Jogja, 31 Oktober 2014
Tag :
Artikel,
KampusFiksi
1 Komentar untuk "GAYA BAHASA FIKSI (Mengenal dan Mendudukkan Gaya Bahasa Antarpenulis)"
nice share.. :D
Tutorial Hijab|Zigoter Anime Distro|Cara memakai jilbab
Hijabers indonesia|jilbab pashmina jakarta|kaos anime ready stock
jaket anime harajuku|sepatu lukis murah