Edisi Lanjutan:
Dulu, lima tahun lalu, aku
mengenalmu bukan karena kebetulan belaka, Aysila. Apalagi akibat sebuah
kejadian tabrakan tak sengaja seperti kisah-kisah genit yang membosankan itu.
Juga bukan bak dongeng Cinderella yang mujur tak ketulungan dicintai seorang
pangeran berkendara Jazz RS White Metalic yang sulit dicerna akal sehat
manusia.
Pilar kedua
yang seharusnya selalu dikuasai oleh setiap penulis fiksi ialah sistematika
berpikir (state of mind).
Menulis fiksi
selayaknya orang bercerita secara lisan, hanya saja dituangkan dalam bentuk
tulisan. Mendengarkan orang yang bercerita dengan sistematika yang berantakan,
lompat sana-sini tak keruan, niscaya akan terasa begitu menyebalkan.
Mondar-mandir membingungkan, kayak setrika yang layak diajuin sebuah pertanyaan
sederhana, “Kamu mau cerita apa sih sebenarnya?”
Maka, pastikan
untuk memiliki kemampuan berpikir sistematis, runtut, logis, dan argumentatif
jika ingin menghasilkan cerita yang baik (misal, “ia berhasil mengintip ke balik jendala yang berkorden”, maka harus
ada argumentasinya/alasannya/dasar logisnya mengapa ia bisa melakukan itu).
Berhentilah
berpikir bahwa dunia fiksi adalah dunia karangan rekaan belaka, sehingga ia tak
memerlukan argumentasi logis apa pun untuk setiap detailnya. Stop! Ia
sepenuhnya menuntut kemampuan berpikir sistematis. Nggak boleh ditawar lagi. Fix price! Ini mal, Euy, bukan pasar Keppo.
Dan,
ketahuilah sekarang juga, bahwa satu-satunya jalan untuk membuatmu mampu memiliki
kemampuan berpikir sistematis itu ialah dengan membaca, merenung (bahasa
kerennya berkontemplasi), diskusi, sharing, mencermati, mengamati,
meneliti, dan menempuh semua proses yang menghantar kepada “penguasaan hal”
yang akan ditulis. Ini adalah kerja ilmiah, Kawan. Menulis fiksi otomatis juga
merupakan sebuah kegiatan berbasis pengetahuan ilmiah. Butuh kerja keras! Khayalan?
Huh, apaan itu?!
Ian Barbour
(seorang akademisi Filsafat Ilmu),
misal, mengatakan bahwa “cara kerja ilmiah” untuk menjadikan “sesuatu” diterima
secara luas ialah melalui “keterujian intersubyektif” di hadapan pertempuran
subyektivitas dan obyektivitas. Rodo
teoritik sitik, Bro. Silakan mengerutkan kening di bagian ini.
Semua penulis
boleh saja menyebut Hagia Sophia itu indah dalam setting novelnya. Itu subyektif dia. Di sisi lain, secara obyektif,
para penulis akan berbeda sama sekali dalam melukiskan keindahan Hagia Sophia.
Subyektif dan obyektif tidak akan pernah bersua di sini.
Di tangan penulis
yang “menguasai” Hagia Sophia secara ilmiah (berdasar data, video, film, atau
kisah sahabat, apalagi berkunjung sendiri), yang subyektif di satu sisi (berkat
persepsinya) dan obyektif di sisi lain (berkat kerja ilmiahnya) Hagia Sophia
akan berhasil dituliskan dengan begitu detail, presisi, penuh feel, passion, dan hidup. Inilah contoh dari keterujian intersubyektif
itu: yakni subyektivitas yang telah diramu secara logis dan argumentatif ilmiah
dengan obyektivitas.
Dan, dan, dan,
hanya orang yang rajin, tangguh, dan pintar sajalah yang akan sanggup mengusung
“kerja ilmiah” keterujian intersubyektif ini. Mereka yang pemalas, pendengkur, enggan
berkeringat, pastilah akan terhempas ke pojok-pojok remang chat yang penuh PHP…
Berhentilah
menulis fiksi dengan gaya
lama: asal sikat berbekal apa yang sudah ada di kepala saat ini. Hanya
main-main dengan olahan kata dan plot.
Di kalangan
penyair, metode menulis dengan “kerja ilmiah” ini lazim disebut “kekuatan
intuisi”. Sebagian lain menyebutnya “menulislah dari hati”. Saya lebih sreg
untuk menyebutnya menulis dengan “kedalaman batin dan pikiran”. Itulah state of mind: kemampuan berpikir
sistematis untuk merangkai puzzle
imajinasi yang telah diperoleh di pilar pertama.
*Utang saya
tinggal Pilar Tiga, yakni Teknik.
Jogja, 20 Oktober 2014
Tag :
Artikel,
KampusFiksi
2 Komentar untuk "PILAR 2: SISTEMATIKA BERPIKIR (STATE OF MIND) Oleh Edi AH Iyubenu"
Ya. Memang benar sekali, dalam menulis fiksi erat kaitannya dengan riset. Tanpa berbekal hal itu, tulisan hanya terkurung dalam kekangan 'state of mind' si penulis. Maka percuma, menulis panjang lebar, hingga beratus-ratus lembar dan berharap naskah mentahnya akan terbit. Bisa lolos ke meja redaksi aja udah 'Cetar', Top markotop.
Pilar terakhir mana, Om??