Ini versi lengkap resensi saya yang dimuat Jawa Pos (2-11-2014).
Judul buku : Senja dan Cinta yang Berdarah (Antologi
Cerita Pendek)
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan 1 : 2014
Tebal buku : xviii + 822 halaman
ISBN : 978-979-709-851-3
“Ketika jurnalisme dibungkam, sastra
harus bicara.”
(Seno Gumira Ajidarma)
Jika Anda mengaku sebagai penulis atau pembaca sastra
Indonesia kontemporer, maka tidak ada alasan untuk tidak mengenal nama Seno
Gumira Ajidarma. Cerpen-cerpennya yang khas begitu besar pengaruhnya pada wajah
sastra Indonesia, dan mempengaruhi banyak penulis cerpen di era sesudahnya.
Sebutlah, misal, sosok cerpenis Agus Noor di sini.
Jika Anda membaca cerpen Agus Noor yang
berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, dapat dipastikan bahwa
cerpen itu “dipengaruhi” oleh cerpen Seno yang berjudul Sepotong Senja untuk
Pacarku. Begitu juga cerpen Agus yang berjudul Penyair yang Jatuh Cinta
pada Telepon Genggamnya, tampak dipengaruhi oleh gaya literer Seno dalam
cerpen Pelajaran Mengarang.
Demikianlah di antara bukti betapa sangat
dahsyatnya pengaruh Seno terhadap para penulis cerpen masa kini.
Estetika
“Fakta-Fiksi” dan Gaya Fragmentaris
Seno adalah seorang jurnalis. Tapi ia bukanlah
jurnalis biasa, lantaran di sela-sela waktunya menulis berita, ia sangat
produktif menulis cerpen. Namanya kian meledak-ledak setelah ia menerbitkan
kumpulan cerpen yang mengangkat tema tunggal tentang tragedi kemanusiaan di Timor
Leste (sewaktu masih menjadi bagian dari Indonesia), yakni Saksi Mata
(1994). Cerpen-cerpennya dalam Saksi Mata, seperti Telinga, Misteri
Kota Ningi, Klandestin, Rosario (untuk tidak menyebut semuanya), seketika menyentak
khazanah kesusestraan Indonesia dengan dua kekuatan besar sekaligus.
Pertama, secara estetik, Seno memperlihatkan
kematangan konseptual dan imajinasi melalui apa yang saya sebut sebagai “estetika
fakta-fiksi”. Seluruh cerpen Seno dalam Saksi Mata, juga sebagian
besar karyanya kemudian, memperlihatkan posisinya sebagai cerpenis yang “berpihak”.
Seno sengaja berpihak merekam peristiwa-peristiwa sosial-politik-budaya dan
mendedahkannya ke hadapan publik. Bagi Seno, estetika bukanlah sebuah “hiper-realitas”,
tetapi representasi nyata dari wajah sebuah masa dan zaman. Tak heran bila
pilihan estetik ini menghantarnya menjadi cerpenis yang “kontekstual”:
bagaimana sebuah fakta itu direkam (dalam kapasitas jurnalis), lalu direkonstruksi
secara estetik menjadi karya sastra (dalam kapasitas cerpenis). Cerpen Aku,
Pembunuh Munir (hlm. 804-816), Bibir yang Merah, Basah, dan Setengah
Terbuka… (hlm. 345-354), atau Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (hlm.
479-494), misal, menjadi bukti kuat pilihan estetika “fakta-fiksi” tersebut.
Membaca cerpen-cerpen tersebut akan membuat Anda melihat sebuah fakta riil di
satu sisi dan fiksi yang estetik di sisi lain.
Karenanya, janganlah terlalu berharap untuk menemukan
cerpen yang “bebas fakta” dari Seno, sebagaimana yang diidealkan Roland
Barthes, misal, yang secara nyata bisa diwakilkan pada karya Gabriel Garcia
Marquez, sekalipun Seno kadangkala memilih jalan surrealisme. Sebab bagi Seno, karya
sastra adalah “cara lain” untuk memberitakan rekaman-rekaman fakta, realitas, yang
tidak dituliskan dalam gaya jurnalistik. Di tahun 1997, ia memformulasikan
pilihan estetik ini dalam kredo, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus
bicara. Karena ketika jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan
kebenaran”.
“Telinga siapakah itu?”
Dan Dewi selalu menjawab, “Oh, itu telinga
orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh, pacarku mengirimkannya dari medan
perang sebagai kenang-kenangan.” (Telinga, hlm. 449-454).
Kedua, sekalipun Seno adalah cerpenis yang “berpihak
pada fakta”, ia tidak pernah kehilangan kekuatan estetiknya akibat terlalu
sesak oleh ambisi “memberitakan”. Seno begitu genius untuk selalu paham
proporsi, fakta di satu sisi dan imajinasi fiksi di sisi lain: sebuah kondisi
yang sangat sulit dicapai oleh para penulis cerpen “berpihak” lainnya. Walhasil,
tidak ada cerpennya yang nyinyir bak sebuah cerita pamflet yang
berteriak-teriak vulgar, kasar, dan partisan.
Dan, keterpeliharaan estetik ini disumbangkan
oleh kemampuannya menderaskan suspense cerita, kejutan-kejutan yang tak
terduga, baik di awal, tengah, maupun akhir cerita. Maka saat Anda membaca
cerpen-cerpen Seno, jangan berhenti di tengah cerita dengan berusaha menebak ending-nya
bakal begini atau begitu, sebab pastilah Anda akan kecele. Seno selalu berhasil
menyempalkan alur, karakter, dan konflik cerita. Mematah-matahkan imajinasi
pembacanya! Inilah yang oleh Andina Dwifatma (2014) disebut sebagai “kekuatan
kepenulisan fragmentaris, yang membuat cerpen-cerpennya selalu meninggalkan
kesan mendalam”.
Kemampuan menciptakan “patahan-patahan cerita”
atau gaya fragmentaris tersebut, jelas mencerminkan kamatangan Seno dalam hal
teknik dan ide sekaligus. Sangat mudah ditebak bahwa Seno bukanlah cerpenis
yang menulis dengan cara “mengalir apa adanya”, tetapi telah melakukan
pematangan ide, kontemplasi, dan menyiapkan setiap detail struktur ceritanya,
bahkan pilihan kata-katanya. Saya kira inilah “teladan kreatif” Seno yang
sangat penting untuk dimengerti oleh setiap penulis cerpen masa kini.
Selain itu, Seno begitu piawai “menyelamatkan karyanya”
agar tidak membosankan melalui teknik cerdas berupa “selipan-selipan suasana/adegan”.
Selipan-selipan kecil yang tiba-tiba saja muncul dalam sebuah jalinan alur,
tanpa merusak langgam alur utama itu sendiri, dan justru menjadikannya lebih
kaya suasana/adegan baru yang menguatkan. Hasilnya? Bagian-bagian alur yang
diselipi itu menjadi lebih kuat, cekam, detail, dan menggoda rasa ingin tahu yang
lebih lagi dan lagi.
Asih tersentak dari lamunannya. Ia kibaskan
tangan satpam yang menempel di bahunya. Lantas begitu saja berdiri dan ngeloyor
pergi. Di jembatan, dibuangnya pisau dapur dan celana dalam itu, yang segera
ditelan kederasan kali.
Hari sudah sore. (hlm. 352).
“Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?”
Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu
tempat, entah kapan dan entah di mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh
cinta dengan seseorang yang lain. Ah, ah, ah, lelaki macam apakah kiranya yang
berada di seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah
menjadi gelisah?
(hlm. 486).
Perhatikan selipan suasana/adegan tersebut: “Hari
sudah sore.” dan “Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat,
entah kapan dan entah di mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh cinta
dengan seseorang yang lain.” Sebuah teknik bercerita yang sangat tinggi dan
imajinatif!
Buku ini mewakili tiga babak proses kreatif
kepengarangan Seno. Sekali lagi, siapan pun Anda yang mengaku penulis atau
penikmat sastra Indonesia, bacalah buku ini. Berkali-kali. Ya, harus
berkali-kali.
Tag :
Artikel,
KampusFiksi
1 Komentar untuk "ESTETIKA “FAKTA-FIKSI” YANG FRAGMENTARIS"
Karya SGA memang imajinatif dan diluar dugaan, tapi saya lebih suka dengan gaya bercerita Agus Noor yang tenang dan masuk dalam sebuah cerita.