Rata-rata kita
tergolong ke dalam kelompok orang yang suka sekali membiarkan diri kehilangan
“isi” akibat terlalu sibuk mengurusi kulit. Isinya tak berhasil kita nikmati,
justru kulitnya yang membuat bibir dan lidah kita beset-beset.
Bahwa kulit
merupakan bagian utuh dari sebuah hal, itu benar adanya. Jika kulit dan isi
benar-benar kuasa bertelangkai manis, tentu itu sebuah hadiah istimewa. Tetapi,
kadangkala, suka tak suka, kita dihadapkan pada situasi untuk memilih dengan
sedikit berbijaksana pada satu kekurangan yang ada. Dengan sedikit memafhumi
dan menoleransi kekurangan salah satunya.
Saat berada
dalam posisi demikian, tentu semua kita mafhum bahwa kita seyogyanya
menoleransi kulit demi menikmati isinya. Boleh jadi kulit kopi Luwak begitu
menjijikkan, namun jika kita sukses menoleransi kulitnya, niscaya kita akan
ketagihan menyeruput isinya.
Atau,
barangkali kalian pernah mendengar sebutan “durian gajah”? Kabarnya, itu adalah
buah durian yang jatuh matang dari dahannya, lalu disantap utuh oleh gajah,
lalu dikeluarkan lagi bersama kotorannya. Kabarnya lagi, durian gajah memiliki
rasa yang amat lezat.
Jika kau
sedikit menoleransi bantuan gajah untuk memproses durian itu di dalam perutnya
yang tentu tak higienis, niscaya isinya yang super lezat akan ternikmati dengan
menakjubkan.
Begitulah
selayaknya posisi yang perlu kita ambil saat kita tak mendapatkan suatu hal
dalam keadaan sempurna antara kulit dan isinya.
Begitulah
bijaknya.
Tetapi,
perhatikanlah, apa gerangan yang lebih sering kita lakukan selama ini?
Ternyata,
rata-rata kita lebih demen menyoal kulit bahasa atau siapa yang menyampaikan
(tulisan atau ucapan), sehingga kita menjadi kehilangan fokus untuk mencermati
isinya, dan apalagi mampu menikmati hikmahnya. Kita begitu sibuk bagai air soda
yang menemukan tutup botol yang dikupas, berebutan untuk segera lari, dan lalai
pada isi botol yang akan ditenggak. Kita begitu ribut bagai lebah-lebah yang
berkerumun hanya untuk mengkritik dan bahkan mencaci kulitnya, sehingga alpa
pada kecantikan isinya.
Celakanya, watak
sibuk pada kulit demikian hanya akan tega dilakukan oleh mereka yang demen
mengangkat dirinya ke kursi emas kecerdasan dan kealiman sambil meludahi muka
yang dicerca sebagai si bejat hati dan si buruk rupa. Lalu, kita ongkang-ongkang
kaki bak pewaris surga yang telah dijanjikan. Padahal, kita sungguh tak pernah
ke mana-mana juga. Kita tetap saja hanyalah si pencerca dan penghina yang sakit
jiwa di malam buta, yang selalu gagal meraih hikmah apa pun dari sebuah ucapan,
tulisan, atau peristiwa.
Jika kita
demikian adanya, sungguh kitalah si celaka itu, yang tak sadar bahwa dirinya
benar-benar celaka.
Jogja, 6 November 2014
2 Komentar untuk "KULIT ATAU ISI"
walaupun ekstrakulit manggis membawa kabar gembira saya juga lebih suka isinya
Duh duh baca ini malah ingat Bu Susi.