Kebanyakan
kita tidak punya nyali untuk menantang diri menembus batas diri. Kebanyakan
kita lebih suka untuk membuai diri sendiri, bahkan sebelum merancang dan
apalagi melakukan tantangan itu, agar diri ini selalu “bahagia” oleh penilaian
manis yang kita sematkan pada diri sendiri. Pantaslah bila akhirnya kita lebih
asyik dengan “zona nyaman” dan begitu enggan untuk memasuki “zona baru” yang sangat
membutuhkan keberanian menantang batas diri itu.
Tentu akhirnya,
ini absah saja disekat sebagai soal pilihan masing-masing orang. Namun, tentu
pula akan selalu ada perbedaan prinsipil antara orang yang berani menantang
dirinya dengan orang yang memilih zona nyaman yang telah ada. Prinsip ini
berlaku dalam semua teluk kehidupan kita, mulai bisnis, persahabatan, keluarga,
pendidikan, hingga spiritualitas. Maka siapa yang berani menantang dirinya
untuk menembus batas diri, itulah sesungguhnya orang yang dinamis, progresif,
dan bertumbuh.
Fiqh
konvensional, misal, menyatakan bahwa zakat atau sedekah sah dengan dengan
2,5%. Ini zoman nyaman. Beranikah saya menantang diri sendiri untuk menembus
zona nyaman itu dengan mendongkrak presentase itu ke angka 10%, 25%, atau
bahkan 50%?
Berat?
Untuk apa?
Dua pertanyaan
mendasar ini yang akan sontak menghantui kepala kita.
Berat. Segala sesuatu disebut berat
lantaran tidak dibiasakan. Jika kau seorang juru hitung di sebuah kantor, kau
akan berkata bahwa mengemudi truk itu berat. Si pengemudi truk akan berkata
bahwa menjadi kuli panggul itu berat. Demikian seterusnya, dengan “sumber
tunggal” berupa kebiasaan.
Segala sesuatu
akan menjelma kebiasaan jika “dipaksa”. Tanpa adanya pemaksaan di tahap awal,
niscaya takkan pernah ada kebiasaan.
So, kesimpulannya menjadi sangat
sederhana di sini, bahwa jika kau merasa berat mengeluarkan sebagian hartamu
melebihi zona nyaman 2,5% itu, cara mendobraknya ialah dengan mulai memaksa
diri untuk melakukannya. Bila pemaksaan diri itu telah dilakukan, niscaya dengan
sendirinya hal itu akan menjadi kebiasaan. Tetapi jangan keburu girang. Saat
hal itu telah menjadi kebiasaan, ia akan lantas menjelma zona nyaman baru.
Beranikah kau menantang
diri untuk menembus batas zona nyaman baru itu? Jika jawabanmu berat, ingatlah
prosesmu saat menembus batas zona nyaman lama dulu.
Untuk apa. Problem psikologis terbesar
umat manusia di era gadget ini ialah
stagnasi. Kejumudan, kemandekan. Mau sehebat apa pun otakmu, seruah apa pun
asetmu, semempesona apa pun pasanganmu, jika kau merasa stag dengan semua itu,
maka sejak saat itulah kau akan merasa kehilangan orientasi, makna, dan passion hidupmu. Hidup yang berjalan
begitu saja tanpa passion, tanpa chemistry, sungguh adalah telangkai
hidup yang sangat membosankan dan penuh kemalangan. Itulah sebabnya, semua
orang yang reflektif berhasrat untuk memiliki “sesuatu” dalam hidupnya, yang berguna
untuk menyelamatkannya dari hantu stagnasi itu.
Jika kau
berjumpa dengan sekelompok skuter antik di malam buta, kau akan berpikir untuk
apa mereka melakukan semua itu. Bila kau melihat seseorang begitu khusyuk
menulis cerita beratus-ratus halaman di sebuah kafe, kau akan bergumam untuk
apa ia merangkai kelelahan itu.
Orang yang di
kepalanya menyimpan soal “untuk apa” pastilah adalah orang yang tidak mengerti passion dan chemistry yang tengah diarungi seseorang lainnya di balik segala
apa yang dilakukannya.
Orang yang
membiarkan dirinya selalu bertapa di zona nyamannya takkan pernah mengerti
makna menantang diri untuk menembus batas diri itu.
Mereka yang berani
menantang diri untuk menembus batas dirinya dan mereka yang memilih mengerami telur-telurnya
di sarang nyamannya tentu saja memang akan sama-sama menempuh hidup,
beranak-pinak, untuk kemudian mati. Tetapi, ada perbedaan makna yang sangat
mendasar antarkeduanya, yakni mereka yang berani menantang diri untuk menembus
batas dirinya akan sangat amazing dengan
hidupnya. Sebab mereka selalu memiliki passion,
chemistry, orientasi, dan dinamika hidup.
Hidup yang penuh
warna tentu lebih mempesona untuk dihuni ketimbang hidup yang hanya mengenal
satu warna, bukan? So, let's go...
Jogja, 7 November 2014
0 Komentar untuk "MENEMBUS BATAS DIRI"