Diksi adalah
kosa kata, vocabulary, mufradat. Jika kau berpikir bahwa segala
hal selesai diwakili oleh kata-kata, maka ada satu urusan yang tak pernah
sanggup ditampung secara sempurna olehnya, yakni urusan hati.
Apa pun, segala
yang berurusan dengan hati, laksana hempasan samudera yang hanya insan
pemiliknya yang sanggup merasakannya. Di luar itu, sedekat apa pun hubungannya,
takkan pernah ada yang sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh yang
merasakan, kecuali sekadar serpihan-serpihannya.
Kekasih terbaik
sekalipun takkan pernah kuasa merasakan perasaan kekasihnya. Apa yang bisa
turut dirasakannya hanyalah serpihan perasaannya belaka, yang termunculkan
dalam kata-kata.
“Aku sayang
kamu.”
Kalimat ini sungguh
hanyalah serpihan dari keluasan samudera sayang yang bergelombang di kedalaman
hati si pengucap. Tiada satu diksi pun, satu kata pun, yang akan sanggup untuk
mewakilinya dengan utuh sebening cermin bersih yang memantulkan bayangan dengan
utuh.
Kata-kata
sejatinya hanyalah soal kebutuhan kita untuk mengkomunikasikan apa yang ada di
kedalaman hati. Kata-kata membantu mengalirkan jalinan pengungkapan-pengungkapan
antar dua atau lebih insan, tetapi tidak sungguh benar-benar mewakili gelombang
hati itu sendiri. Ibarat jilatan ombak, di situlah kata-kata membatasi dirinya
untuk menyentuh tubuh kita. Di kedalamannya, di balik jilatan ombak itu, yang
berupa gelombang-gelombang tersembunyi, kata-kata tak pernah sanggup untuk menyentuh
lengkisaunya.
Maka segala
apa pun yang bersumber dari urusan hati, yang diungkapkan dalam rajutan kata-kata
terbaik sekalipun, di waktu yang sama, ia bukanlah wakil dari keadaan yang
sesungguhnya. Ia hanyalah bayangan yang menyemburatkan kenyataannya, tetapi
sama sekali bukanlah kenyataan yang sesungguhnya.
Kita semua
lalu berdiri di atas kaki kata-kata untuk menangkap bayangan-bayangan hati itu.
Kita semua lantas mengatakan dengan wajah ceria telah berhasil menangkapnya,
memilikinya, dan memahaminya.
Aslinya, kita
hanya memiliki dan memahami bayangannya. Aslinya, hakikatnya, tetaplah
bersemayam di kedalaman hati yang sangat jauh, dalam, dan tak terperikan.
Kadangkala,
seseorang menangis di tengah malam buta, seorang diri, dengan air mata hangat
membasahi kelopak dan pipinya, bukan sebab ia tak bisa berkata-kata, namun
semata ia hanya sanggup menyesap telangkai gelombang di kedalaman hatinya yang
sama sekali tak terjangkau oleh diksi, kata-kata, atau bahkan puisi seindah apa
pun.
Begitulah kita
hidup, begitulah kita berkata-kata, dan begitu pulalah kita menikmati anugerah
hati ini.
Jogja, 5 November 2014
0 Komentar untuk "HATI BUKANLAH DIKSI"