Orang pintar adalah orang yang mampu menyederhanakan hal rumit, bukan
merumitkan hal sederhana (Plato)
Bahwa kita
berpikir karya sastra tidak bisa dipisahkan dari kekuatan imajinasi, tentu kita
bersepakat. Ya, imajinasi. Demikian dunia sastra menyebut “analisis” dalam
tulisan ilmiah (sebutlah artikel) dengan istilah imajinasi, sebagaimana misal
bisa dinukil dari Jean-Paul Sartre.
Sastra, pendek
kata, di antaranya adalah buah imajinasi. Ini benar. Namun, buru-buru penting
untuk segera ditegaskan bahwa kekuatan imajinasi seorang sastrawan akan sangat
dipengaruhi oleh kekuatan analisisnya. State
of mind (rangka pikir, mindset), demikian istilah yang sangat mewakili konteks
ini. Jika seseorang menulis cerpen, misal, tidak dengan dilandaskan pada
kekayaan state of mind yang luas,
dapat dipastikan bahwa cerpennya akan dangkal, muter-muter, pengulangan belaka,
sehingga menjadi nirmakna. Mengapa? Sebab ia bak menulis dari ruang kosong
belaka atas nama imajinasi yang ala kadarnya itu.
Apa Itu
State of
Mind?
Saya termasuk orang yang percaya bahwa karya
fiksi haruslah memainkan peran bagi kehidupan pembacanya. Karya fiksi yang
keren ialah karya yang berhasil menginternalisasi pembacanya, mempengaruhi
pemikirannya, dan kemudian dengan sendirinya beranjak ke perilaku nyatanya.
Karya-karya Pramudya Ananta Toer dan Paulo Coelho, misal, merupakan contoh
tepat di sini.
Dan, agar sebuah karya sastra bisa mencapai
level ini, selain ia harus memikat hati pembacanya dengan struktur
cerita/narasi yang kuat, ia haruslah mengandung state of mind yang
keren.
State of
mind adalah kerangka berpikir yang logis, sistematis, dan filosofis, bercirikan
argumentasi yang kuat berdasar analisa data. Ia berlandaskan kerangka teori. Telah
menempuh proses pendalaman (kontemplasi, permenungan), sehingga detail
kisi-kisinya terbangun dengan baik, dan menghadirkan “kesimpulan nilai” yang
bertenaga. Ide yang kelak dituliskan oleh seorang sastrawan yang memiliki state of mind yang baik, pastilah tidak
lahir dari sesuatu yang instan, tanpa riset, dan asal bercerita saja.
Apakah ini
berarti bahwa sastrawan itu tak ada bedanya dengan ilmuwan yang menulis
karya-karya ilmiah?
Iya, mau itu
sastrawan, seniman, atau pun ilmuwan, semuanya sama-sama cendekiawan, si agent of social change. Ali Shari’ati,
misal, telah banyak menegaskan akan betapa urgennya posisi mereka dalam
dinamika peradaban dunia. Dalam pangkat sebagai penulis, semuanya sama saja.
Dan pangkat ini jelas mensyaratkan kekuatan state
of mind.
Mereka
(sastrawan dan ilmuwan) berbeda dalam hal teknis menulisnya belaka. Jika
seorang cerpenis atau novelis menulis dengan struktur cerita, maka ilmuwan
Fisika, umpama, ia menulis dengan struktur makalah/artikel. Di luar struktur
teknis tulisan itu, mereka sama-sama harus berlandaskan pada state of mind. Penulis yang tak
menyadari prinsip ini hanya akan menjelma “mesin”, dan apalah yang menarik dari
sebuah mesin kecuali kemampuan mekanis-produktifnya?
Gizi buat Sastrawan
Tanpa ampun,
penulis haruslah selalu mengasup dirinya dengan gizi-gizi bacaan dan pergaulan
yang luas. Kian luas tentu kian keren. Sejarah sastra Indonesia telah menunjukkan dengan
gamblang bahwa semua sastrawan terkemuka kita adalah orang-orang yang memiliki state of mind yang luas.
Cobalah ajak
bicara atau dengarkan presentasi Seno Gumira Ajidarma, Dee, Agus Noor,
Habiburrahman el-Shirazy, Tere Liye, hingga generasi muda macam Bernard
Batubara, semuanya memperlihatkan kekuatan state
of mind. Lalu, cobalah bandingkan dengan sebagian penulis cerpen yang
produktif sekalipun yang namanya malang-melintang di media massa atau sosmed, jika muncul jurang
kemampuan analisis antarmereka, maka itulah sebenarnya pangkal masalah yang
membedakan kelompok pertama dan kedua itu.
Umumnya,
godaan genit yang paling sukses menjebak para penulis sastra kita ialah
“produktivitas tanpa diikuti selektivitas”. Pokoknya asal nulis, nulis, dan
nulis. Pokoknya asal kirim, kirim, dan kirim.
Tentu, saya
juga sepakat bahwa tidak otomatis penulis produktif itu hanya akan menghasilkan
karya picisan, sebagaimana penulis tidak produktif akan menelorkan karya emas.
Tidak. Letaknya bukan pada seberapa banyak karyamu, tetapi lebih pada seberapa
sadar penulis untuk menyertai energi menulisnya dengan asupan gizi-gizi bacaan,
sharing, dan pembelajaran, sehingga karyanya dari waktu ke waktu senantiasi
menghadirkan point of view yang unik.
Kita memiliki
nama macam Tere Liye, misal, yang novelnya sangat banyak. Ia tergolong penulis
produktif. Tetapi, setiap kita membaca novel terbarunya, selalu ada “keunikan”
di dalamnya, yang menunjukkan bahwa ia selalu berjuang untuk membebaskan diri
dari pengulangan dan pengulangan ala mesin. Itulah kekuatan point of view-nya setiap kalia menulis. Keberhasilan
macam ini jelas berdiri di atas kaki state
of mind yang terus di-up date,
diperluas.
Rasa telah
cukup tahu, cukup piawai, cukup senior, dan sejenisnya, merupakan virus-virus
penanda kematian seorang penulis di pentas kompetisi yang keras ini. Saat
seorang sastrawan membiarkan dirinya begitu, sejak saat itulah ia sesungguhnya
telah membiarkan dirinya menjadi mesin, bukan lagi cendekiawan, apalagi agent of social change.
Tentu,
akhirnya, berpulang kepada level kesadaran masing-masing penulis. Hukum state of mind akan senantiasa bekerja
sedemikian kausalistiknya. Di titik manapun seorang sastrawan/penulis berhenti mengasupi
state of mind-nya, maka “hanya” di
titik itu pulalah ia akan tercatat oleh sejarah. Tak lebih.
Keep fighting!
Jogja, 25 Agustus 2014
(Dimuat Kedaulatan Rakyat, 7 September 2014)
Tag :
Artikel,
KampusFiksi
6 Komentar untuk "HUKUM STATE OF MIND BAGI SASTRAWAN/PENULIS"
inspiratif sekali, Pak Ed.. :)
Sangat nganu sekali, Pak. :D
Sepakat!!!
Setuju
terinspirasi
keren...
hrs perbnyk gizi nih
salam hangat dari kami ijin informasinya dari kami pengrajin jaket kulit