*) Esai ini dimuat di Ruang Putih, Jawa Pos (12
Juli 2015). Ini versi lengkapnya.
“Kebosanan adalah kejahatan paling besar kedua
di dunia. Menjadi membosankan adalah kejahatan terbesar pertamanya.”
Jean Baudrillard
Apakah gerangan yang kini tidak ada
narasinya, komentarnya (dukungan dan hujatan), dan share-nya di media
sosial yang telah menjelma budaya komunikasi kita? Semua ada; dari yang
terbayangkan sampai tak terperikan. Dari Musnad Ahmad bin Hanbal hingga hiruk-pikuk
LGBT. Dari riset ilmiah sampai fitnah terdajjal.
Prediksi Jean Baudrillard melalui
buku Simulacra and Simulation (1981) telah terjadi begitu nyata dan luas
di mata kita hari ini. Bahwa Realitas telah mati (hal-hal yang sesungguhnya,
otentik, dan apa adanya), digantikan dengan penuh berahi bukan lagi oleh semata
manipulasi politik dan pemelintiran sejarah, tetapi utamanya oleh “komunikasi
viral” yang berdenyut di jempol-jempol kita.
Galaksi Simulakra, begitulah
Baudrillard menjuluki “dunia baru” ini. Galaksi yang kita lihat dan bahkan
yakini sebagai kebenaran yang nyata, sebuah Realitas, tetapi sejatinya hanyalah
ceceran darah-darah Realitas, yang kita bunuh dengan murah hati, dengan sadar
atau tidak. Dunia yang kita huni bersama-sama melalui komunikasi internet yang
menumbangkan sekat-sekat ketat akademik dan angkringan, kiai dan murtad,
pejabat dan jelata, borjuis dan proletar, bahkan nabi dan bromocorah.
Kita semua seolah sedang menghuni
sebuah Realitas dan kebenarannya, padahal ia sekadar jagat bayangan, imajinasi,
atau hiperrealitas. Kondisi ini menyerbu seluruh dimensi hidup kita; dari urusan
ekonomi, politik, sosial, sastra, hingga agama. Walhasil, sejatinya kita
hanyalah penduduk dengan “KTP yang sekadar tampak nyata”; sebuah kampung viral,
maya, halusinasi, bahkan delusi, yang sangat rentan clash tak terperi.
Maka jika Anda punya hobi bersitegang, media sosial sebagai “galaksi simulakra”
merupakan sarang terhangat untuk Anda huni.
Begitulah “dunia simulasi” bernapas;
di mana segala corat-coret di dalam lingkaran simulasi itu kita terima sebagai
kebenaran Realitas; di luarnya sama sekali bukan. Di tangan rezim komunikasi-simulasi
ini, matilah segala bentuk pandangan, kritisi, dan bahkan weltanschauung
warisan para leluhur, sebab yang diterima sebagai Benar Atas Realitas adalah
kesumiran hiperrealitas itu belaka.
Oleh karenanya, berhentilah heran
pada wajah komunikasi publik kita yang lebih sering membunuh kebenaran sebagai tujuan
azali sebuah komunikasi. Kebenaran yang menjadi tujuan utama jalinan komunikasi
di masa lalu kini lebih sering diputuskan oleh sekadar siapa yang lebih ngeyel,
populer, dan provokatif. Kompetensi keilmuan, validitas data, referensi yang
otoritatif, analisis kritis, dan juga kejujuran, tidak lagi memegang kendali atas
mutu komunikasi. Semua elemen weltanschauung yang sangat dipuja di masa Jurgen
Habermas hingga Ian Barbour sebagai penentu kualitas sebuah komunikasi, yang sering
diistilahkan researchers community, kini sempurna berkalang tanah dibantai
pedang simulasi hiperrealitas itu.
Maka, siapa pun Anda yang berhasil
menciptakan simulasi (hiperrealitas) di dunia komunikasi viral, tanpa peduli kompetensi
keilmuan dan motif politisnya, jadilah Anda penentu kebenaran sebuah kabar,
isu, atau berita. Sesederhana itu urusan sanadnya kini. Soal dampaknya seabsurd
apa pun, hiperrealitas takkan pernah bisa diusut tuntas. Soal kebenaran lalu
terbunuh karenanya, hiperrealitas dengan murah hati takkan pernah melibatkan
aspek moral.
Beranda yang Mengerikan
Jika akun Anda difollow oleh
seseorang yang entah, lalu akun baru itu segera berkata kasar pada Anda, bahkan
memfitnah sedemikian barbarnya, apa gerangan yang bisa Anda lakukan?
Pilihan sikap terbaik adalah
mengabaikannya.
Seterganggu apa pun Anda, di detik
yang sama Anda sangat perlu untuk segera kembali mengingat wejangan
Baudrillard, bahwa Anda sedang menghuni galakasi simulakra.
Jangankan cuma saya, siapalah kini
yang tidak heorik untuk nyinyirin presiden Jokowi? Galaksi simulakra,
sekali lagi, tak mempedulikan hakikat kebenaran, sebab ia memang menghuni
“dunia imajiner” yang dihiperkan, dilebaykan, di hadapan kebenaran Realitasnya.
Mari simak sekilas “nasib” presiden
Jokowi di hadapan lalu-lintas simulakra ini. Kala PDIP mengadakan Kongres di
Bali, presiden Jokowi yang hadir dan tidak diberi mike untuk memberikan
sambutan, serentak dinista sebagai “budak” partai.
Saat panglima-panglima KPK diseret
dengan berbagai sangkaan oleh Polri, pesiden Jokowi melalui jumpa pers menyerukan
supaya tidak dilakukan penahanan. Serentak, beliau disebut memiliki style
komunikasi politik yang buruk lantaran menyampaikan titahnya di tepi jalan,
bukan di podium kepresidenan.
Waktu presiden Jokowi menikahkan
putranya, Gibran, dan ada kejadian seorang tukang becak yang bertugas
mengangkut para tamu meninggal dunia, segeralah jagat simulakra
menjerembabkannya sebagai “penangguk tumbal” rakyat jelata.
Di ranah agama, juga sama nasibnya.
Mari sebut sosok Prof. Quraish Shihab, ahli tafsir terkemuka se Asia yang masih
hidup, yang pernah dituding “kafir” lantaran sebuah ceramahnya di televisi dipenggal
dari konteksnya sesuka hati. Sontak, galaksi simulakra beramai-ramai
menginjaknya ke liang takfir, yang oleh Imam Ghazali difatwa haram ditimpakan
kepada siapa pun yang masih memiliki satu peluang untuk disebut muslim di
antara 99 peluang kafir lainnya.
Said Aqil Siraj, panglima NU, telah
babak-belur dihajar hujatan galaksi simulakra seiring dengan diambilnya tema
Islam Nusantara untuk acara Muktamar NU ke-33 yang akan datang. Tudingan
sinkretis, ahlul bid’ah, hingga kafir dengan senang hati pun menyertai
hiruk-pikuk simulakra itu.
Timeline kita hari ini amat mengerikan untuk
disaksikan. Anda tak perlu butuh waktu lama untuk bersipapas dengan status,
komen, atau share yang menista dan memfitnah orang lain. Semua mekanisme
komunikasi simulakra ini dirayakan dengan penuh kegirangan; berkesan penuh
pahala, bagaikan memenuhi panggilan jihad fi sabilillah yang balasannya
tiada lain kecuali surga beserta 70 bidadarinya.
Apa daya? Kebenaran tak lagi menjadi
hakikat komunikasi kita kini. Apa yang oleh Fritjof Schuon disebut “Realitas
Ultim”, Hakikat Kebenaran, yang seyogyanya selalu menjadi orientasi utama
komunikasi publik, telah tercampakkan menjadi sekadar gegap lagi gempita
lalu-lalang “keterlibatan para komunikan” yang entah, dengan latar keilmuan
entah, dan tujuan yang pula entah.
Maka tak ada lagi yang bisa kita pertahankan
di ruang publik macam media sosial selain sekadar berjelajah layaknya orang
piknik, sembari harus berajin-rajin menebalkan hati untuk abai pada postingan
yang tak diperlukan.
Ini memang situasi yang amat
membosankan. Jika mengikuti nasihat Baudrillard, biarkanlah kebosanan ini
menjadi dosa terbesar kedua dalam sejarah komunikasi kita; asalkan saya dan
Anda tidak turut membosankan akibat turut merayakan matinya kebenaran dengan
jempol gembira.
Jogja,
5 Juli 2015
Tag :
Artikel
1 Komentar untuk "MERAYAKAN MATINYA KEBENARAN"
ditarik-ulur perasaan ini, antara serius dan main-main. dan saya sadar, barangkali kami semua memang sedang dipermainkan oleh/atau dalam galaksi simulacra itu