Personal Blog

LIK GADAMER DAN TETANGGANYA



Betapa kesalnya Lik Gadamer dengan ucapan terakhir tetangganya yang dari Madura itu, yang lalu melindap begitu saja ke dalam rumahnya.
“Itu warnanya biru, Lik, bukan hijau…”
Gagal pikir benar Lik Gadamer. Disentuhnya lagi daun rambutan di pekarangan rumahnya, yang ini mungkin sudah ke-50 kalinya, dicermatinya lekat-lekat. “Lha wong jelas ini warna daunnya hijau kok dia ngotot benar bilangnya warna biru. Gimana sih tuh orang?” Geleng-geleng.
Istri Lik Gadamer yang sedari tadi memperhatikan kelakuan suaminya dari ruang tamu kembali meneriakinya.
“Ngapain to dari tadi kok ngobrol sama daun rambutan? Mbokya kalau niat edannya sudah nggak ketahan lagi, bilang to, biar kuantar ke Pakem…”
Halah, gedek benar batin Lik Gadamer. Sambil memetik beberapa helai daun rambutan, ia masuk. Menghempaskan bokong yang tak bersalah itu sedemikian kerasnya di atas sofa yang telah babak-belur dihajar pantat-pantat dan kentut-kentut selama bertahun-tahun.
“Ini lho, Bune, coba deh, masak kata tetangga depan itu, daun ini warnanya bukan hijau coba…”
Istri Lik Gadamer ngikik.
“Lha kok orang ngeyelan kayak gitu masih sampeyan ladenin, sampeyan berarti sama ngeyelannya…”
“Bukan gitu to, tapi kan ya nggak benar to kalau daun rambutan dibilang warnanya biru…”
“Kata Pak’e apa coba?”
“Ya hijau to, kamu ini kok malah ngeledek aku lagi…”
“Hijau to?”
Dijamahnya petikan daun rambutan itu dari tangan Lik Gadamer, lalu ditimang-timang, didekatkan ke matanya.
“Hijau to?” tukas Lik Gadamer, tak sabar menunggu jawaban pembenaran.
“Nggak terlalu juga sih, Pak…”
Seperti blingsatan seketika pantat Lik Gadamer.
“Apa? Kamu mau bilang daun rambutan ini warnanya biru juga to? Rakyo sama edannya kamu dengan orang depan itu…”
“Bukan, Pak, ini sih memang hijau, tapi tidak hijau muda banget, sudah dekat ke coklat juga sih hijaunya…”
“Hijau to, Bune, kok hijau coklat gimana to kamu ini?”
“Iya, hijau kecoklatan…”
“Hijau…”
“Kecoklatan, Pak, ada hijaunya juga sih…”
Rengkah rasanya kepala Lik Gadamer. Kayak batu yang terkena panas bertahun-tahun lalu kejatuhan salju semalaman yang menyebabkannya rengkah alias retak.
“Heran deh, nggak tetangga, nggak istri sendiri, penglihatannya pada kurang waras…” gumam Lik Gadamer sambil masuk ke kamar.
Jelang Maghrib, Lik Gadamer keluar rumah untuk menuju mushalla di timur rumah. Matanya menangkap sekelebat tetangga Madura di seberang rumahnya itu sedang menenteng botol Sprite.
Meski masih gemes dengan ucapan tetangganya tadi, Lik Gadamer tetap menyapanya.
“Itu buat apa…”
“Air biru?” Tetangganya menukas dengan cepat.
Air biru?! Rekahan kepala Lik Gadamer kian melebar. Mati aja saya, sergah batin Lik Gadamer, sambil terus berlalu.
Lik Gadamer lupa bahwa sebenarnya si tetangga dan istrinya itu sedang menjadi “penerima” (informasi warna) dari daun rambutan yang dilihatnya, bukan “pemberi” (informasi warna) terhadap daun rambutan itu. Juga tentang botol Sprite itu.
Andai Lik Gadamer paham bahwa sejatinya setiap kita ini sesungguhnya berpoisisi sebagai “penerima” yang menangkap “pesan” dari “pemberi”, dengan ragam latar-belakangnya yang super variatif,  maka perbedaan-perbedaan yang terjadi semacam itu takkan pernah menjadi masalah apa pun baginya, batinnya, dan hubungan sosialnya.
Sorry lho, Lik Gadamer, bukan maksud saya menggurui panjenengan sebagai tokoh utama Harmeneutika Filosofis, tapi tipe orang beginian memang seabrek lho di sekitar kita, atau bahkan termasuk diri kita sendiri.
I love Hans-Georg Gadamer…
Jogja, 24 September 2013
0 Komentar untuk "LIK GADAMER DAN TETANGGANYA "

Back To Top