Personal Blog

BERIMAN YANG BERAKAL DAN BERAKAL YANG BERIMAN (Cara Kerja Iman dan Akal dalam Hidup Kita)



Orang cenderung galau saat berpapasan dengan soal: bagaimana memetakan iman yang irrasional dengan rasionalitas yang berkiblatkan logika.
Mari coba kita lihat dengan cara begini.
Salah satu kelebihan manusia dibanding makhluk lainnya ialah disematkannya akal (rasio, logika). Ve adalah manusia yang berakal. Ia beda dengan ayam yang tak berakal sekalipun juga dikasih nama Ve. Begitu pun Ita yang manusia berakal jelas berbeda dengan Ita yang saya berikan pada nama seekor kucing.
Dalam teks-teks suci, teramat banyak penjelasan tentang ini, sebutlah misal idiom ulul albab (…berpikir tentang penciptaan langit dan bumi). Jelas bahwa teks-teks suci mendorong manusia untuk menggunakan akalnya untuk menuju hidup yang lebih baik. Maka jika ada orang yang menutup jangkauan akalnya, pertanda ia telah menyia-nyiakan anugerah Ilahi tersebut.
Di sisi lain, manusia mengerti benar bahwa kekuatan nalarnya, rasionya, sangatlah terbatas. Mari tengok sejarah sekilas saja. Setiap masa, zaman, selalu memberikan bukti beragam dinamika capaian rasio manusia. Dua ribu tahun sebelum Masehi, manusia baru mengenal celana dalam. Kini, celana dalam bukan lagi berfungsi sebagai alat tutup kemaluan, tetapi berkembang sebagai lifestyle. Lihat boxer sebagai contoh yang dipajang begitu eloknya di depan mata. Demikian juga di era Cleopatra tidak dikenal baju backless. Tapi kini mainlah kau ke Amplaz, maka siapkan matamu untuk melompat-lompat menyaksikan beragam punggung gadis yang bolong, yang mungkin sebagiannya hanya berstempel gadis (mungkin lho ya…),  dari leher sampai pinggang, bahkan. Dari yang benar-benar mulus sampai yang masih menyisakan bekas borehan Kalpanax.
Ratusan tahun silam tidak terjangkau oleh pikiran manusia akan adanya Google. Lihat kini, nyaris semua orang menggantungkan sebagian hidupnya pada sumbangan Google. Dua contoh tersebut memperlihatkan betapa keterbatasan jangkauan pikiran manusia terus berkembang secara dinamis, dan sudah selayaknya kita mengadopsi dinamika capaian pikiran tersebut untuk mendorong hidup kita ke jenjang yang lebih baik.
Tetapi, rasio manusia juga tidak pernah berhasil menjawab begitu banyak fenomena kehidupan yang tak terpisahkan darinya, seperti wujud Tuhan, surga-neraka, kehidupan akhirat, bahkan yang lebih dekat dengan diri kita semisal perasaan cinta.
Manusia yang berakal lebih tinggi niscaya akan menggunakan nalarnya untuk menyelami dan memikirkan hal-hal yang dihadapinya. Semakin tinggi capaian pengetahuan seseorang sebagai buah pikirnya niscaya akan semakin detail ia memikirkan dan kemudian menyimpulkannya. Sebaliknya, semakin rendah capaian akal seseorang, maka akan semakin kuatlah ia berada di kursi bawah menjadi penganut, pengekor, pengiya terhadap seseorang yang diamininya.
Ternyata ya, kualitas kemampuan berpikir seseorang sangat menentukan kualitas prinsip hidupnya, bukan?
Ia takkan mudah mengikuti, atau terutama terseret, pada aksi-aksi apa pun yang dalam nalar logikanya tidaklah sesuai dengan tujuannya untuk mencapai level kehidupan yang lebih baik. Berbanding terbalik dengan orang yang rendah daya nalarnya, maka ia akan mudah menjadi penurut, bahkan grill alias bemper, terhadap apa pun yang dikatakan imamnya, tanpa nalar kritis apa pun, tanpa mampu bertanya apakah aksi-aksi tersebut sesuai dengan kebaikan dirinya atau tidak. “Sami’na wa katokna, kami menurut (bahkan) dengan katok-katok kami.
Sampai di sini, kekuatan rasio, nalar, atau logika berbanding lurus dengan capaian level kebaikan hidup seseorang. Mestinya, maka, orang yang berkualitas tinggi rasionya meniscayakan amal/laku yang lebih teliti perhitungannya dan cermat pertimbangannya. Orang berasio baik meniscayakan amal/laku yang lebih baik pula.
Orang bodoh akan bersegera mengambil langkah (sekalipun itu sebenarnya bodoh) untuk mengatasi masalah hidupnya. Orang pintar akan bersegera memikirkan dengan detail segala risiko dari kemungkinan-kemungkinan pilihannya. Ia baru akan mengambil langkah yang telah dipikirkan dengan detail, yang dalam pencermatannya paling baik di antara risiko-risiko pilihannya.
Begitulah cara kerja nalar atau rasio mempengaruhi amal/laku seseorang dalam hidupnya.
Namun, fakta memperlihatkan betapa terdapat jubelan fenomena hidup yang tak kunjung kuasa dijangkau rasio manusia. Rasio menjadi kiehilangan kekuatannya di hadapan hal-hal yang unreasonable atau unthinkable tersebut.
Saat hal-hal itu hadir di depan kita, saat rasio gagal menjelaskannya, maka beriman menjadi solusi terbaiknya.
Rasiomu takkan pernah kuasa menjelaskan bagaimana wujud Tuhan, bagaimana Dia hidup, dan bagaimana Dia mengatur semesta dan seisinya, bagaimana surga-neraka dihidupkan, termasuk bagaimana sebuah dandelion rontok dan mengapa cintamu begitu dalam pada seseorang yang tak memiliki pesona dahsyat apa-apa, dll. Saat itu kau hadapi, iman akan menjawab dengan elok padamu bahwa kau hanya butuh percaya dan yakin!
Iman benar-benar menjadi solusi terbaik bagi kita untuk menghadapi hal-hal yang supranatural semacam itu. Memaksakan rasiomu menjaungkaunya akan sama nihilnya dengan memaksa dirimu untuk menggarami laut, meniup angin, memeluk kereta api, mengecat langit, dan menghitung jumlah bulu di sekujur tubuhmu. Semakin kau memaksakan diri menjawabnya dengan rasiomu, maka justru kau akan semakin terjauhkan dari esensi jawabannya.
Iman adalah puncak rasionalitas. Iman adalah pembuktian paling azali atas kuasa manusia di hadapan Kuasa Kehidupan. Iman bukanlah indikasi kelemahan manusia, melainkan justru kekuatan jiwa manusia untuk hidup berdampingan dengan kekuatan rasionya.
Jika kau bersetuju bahwa tujuan utama pengembangan capaian rasionalitas untuk kebaikan hidupmu, maka kau pun harus bersepakat bahwa iman merupakan langkah jiwa untuk meraih kebaikannya, duduk berdampingan dengan rasionalitas, yang juga bertujuan untuk membangun kebaikannya.
Hidup tidaklah mungkin diberdirikan hanya di atas satu kaki rasionalitas, sebagaimana ia pun tidak akan mumpuni jika ditegakkan hanya di atas satu kaki keimanan. Jika kau ingin kaya, maka bekerjalah dengan keras! Ini jawaban rasio. Jika kau ingin hartamu berkah, maka bersedekahlah! Ini jawaban iman.
Iman dan rasio adalah sekeping mata uang: satu sisi dengan sisi lainnya sangat jelas berbeda, tetapi keduanya tak pernah bisa dipisahkan.
Jogja, 9 Januari 2013
2 Komentar untuk "BERIMAN YANG BERAKAL DAN BERAKAL YANG BERIMAN (Cara Kerja Iman dan Akal dalam Hidup Kita)"

Back To Top