Personal Blog

AL-QUR’AN BUKAN KITAB “DESAIN KLAMBI” (Bagaimana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie itu?)




 Panjenengan yang berharap mendapatkan argumen bahwa berhijab tidak wajib bagi muslimah barangkali akan kecewa dengan tulisan ini, sebab saya termasuk muslim yang mengidealisasikan hijab lho. Hanya saja, saya juga bukanlah tipe muslim yang sontak menganggap muslimah yang belum berhijab sebagai “kurang imannya, kurang akhlaknya”. Mboten. Klaim begituan sama sia-sianya dengan menganggap muslimah berhijab otomatis perfect imannya, karimah akhlaknya. Ada sosok semisal Bu Risma Surabaya dan Bu Menteri Khofifah Indar Parawansah yang berhijab dan baik perilakunya. Tetapi juga jangan pura-pura khilaf, ada sosok muslimah yang tak berhijab dan amazing polahnya semacam Najwa Shihab.
Saya tidak berpretensi untuk membandingkan kedua sisi itu, mboten.
Dalam al-Qur’an, Allah berfirman:

Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbanya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal, agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Ahzab ayat 59).

Asbab al-nuzul (sebab penurunan) ayat ini ialah Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah dikenali keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dan berkata, “Hai, Saudah, kami sangat mudah mengenalimu. Untuk apa Engkau keluar?”
Saudah langsung pulang dan melaporkan kejadian ini kepada Nabi. Nabi menjawab, “Sesungguhnya Allah mengijinkanmu untuk keluar rumah untuk suatu keperluan.” Lalu turunlah ayat ini.
Dalam  riwayat lain disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munafik mengganggu mereka. Kejadian ini diadukan kepada Nabi dan Nabi menegur mereka (kaum munafik). Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanya mengganggu hamba sahaya.” Lalu turunlah ayat ini.
Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat al-Qur’an dipilah dan dipilih berdasar tema kandungannya, ayat tersebut diperjelas oleh surat an-Nur ayat 31:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…..dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan….”

Dalam sebuah hadits riwayat Aisyah r.a. diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat tubuhnya kecuali ini dan itu.” Beliau menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Di kalangan mufassir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab” dalam surat al-Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan  Ibn ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa maksudnya adalah pakaian yang longgar dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat sebagai pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang terulur ke samping kanan dan kiri hingga menutupi dadanya.
Di kalangan Imam Mazhab yang Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’ie, dan Hanbali), batas aurat wanita di depan non-muhrim tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Mereka hanya berbeda sebagian tentang tangan bagian atas tangan.
Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas.
Pertama, al-Qur’an sebagai sumber pertama hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita” melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduanya bersifat mutasyabihat (dzanniyah, multi-tafsir), bukan muhkamat (qat’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan Faqih, terdapat perbedaan pendapat tentang “Bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?”
Kedua, berdasar kronologi turunnya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dulu, kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga dirinya dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar nampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa ayat kedua merupakan “tafsir atau penjelas” terhadap ayat pertama.
Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah itu, dan diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan tafsir Nabi yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. Hadist itu mengandung pesan moral “janganlah berpakaian tipis dan memperlihatkan selain wajah dan telapak tangan”.
Ya, hanya itu. Jelas kan sampai di sini bahwa al-Qur’an (juga hadits) sama sekali bukan Kitab Desain Klambi.
Penting diketahui terlebih dahulu njeh bahwa al-Qur’an dan hadist yang diturunkan di Arab memiliki “sifat lokalitas” dalam hal asbab al-nuzul, diksi, dan metaforanya, yang secara konten merupakan “respons Allah dan RasulNya terhadap sebuah peristiwa, atau sebagai penetapan hukum baru, atau sebagai bantahan terhadap hukum yang sudah ada, atau sebagai penetapan terhadap hukum yang sudah ada”. Semua proses itu berlangsung dalam “lokalitas Arab” di masa itu. Jadi, saya kira tidak salah bila sebagian cendekiawan muslim kontemporer mengatakan bahwa al-Qur’an (juga hadits) merupakan “produk budaya Arab” masa itu.
Upps, buru-buru saya harus tegaskan di sini agar panjenengan tidak lantas ngejudge saya mengatakan al-Qur’an bukan kalamullah alias buatan orang Arab. Maksud dari statemen “sifat lokalitas Arab” al-Qur’an itu hanyalah tentang “labelnya”, bukan kandungannya. Kandungan al-Qur’an dan hadits jelas bersifat universal, berlaku sepanjang masa, shalih likulli zaman wa makan hatta yauma al-qiyamah. Saya iman terhadap hal ini. Sampun lego?
Sifat universal al-Qur’an ini ditunjukkan oleh kandungannya yang memuat ayat-ayat substantif, mutasyabihat, multi-tafsir, sehingga selalu bisa dikail secara produktif makna dan aplikasikanya di wilayah manapun dan masa kapan pun. Di luar ayat-ayat yang sifatnya muhkamat (mutlak) yang memang hanya berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah yang mabni, ayat-ayat mutasyabihat itu (ya termasuk ayat-ayat tentang jilbab atau hijab) selalu terbuka untuk ditafsirkan sehingga otomatis ia akan selalu aktual dan relevan dengan ragam kehidupan umat Islam itu sendiri.
Bayangkan bila ayat-ayat mutasyabihat beginian tidak ada, niscaya al-Qur’an akan out of date, berlaku cucok hanya di Arab, tidak lagi shalih likulli zaman wa makan. Inilah salah satu kemukjizatan al-Qur’an yang diamini oleh seluruh ulama. Di sini, kita layak sekali untuk bersyukur, bukan mungkur.
Lanjut.
Dalam memperlakukan ayat-ayat mutasyabihat, para ahli Ushul Fiqh sepakat bahwa mufassir atau mujtahid harus selalu berpegang pada “maqashid al-syar’ie” (tujuan dasar sebuah hukum), lalu dileburkan dengan realitas yang kita hadapi sehingga ‘illat al-hukmi-nya (sebab pembentukan hukum) menjadi terkait. Maksud saya, kita harus mencari terlebih dahulu “keyword” (kata kunci) dalam sebuah ayat, mendapatkan “ethico-legal”-nya (pesan moral), kemudian menarik sebuah kesimpulan hukum hasil “perkawinan” kandungan dalil dengan realitas umat secara produktif.
Prinsip tafsir berbasis metodologi Ushul Fiqh ini jelas menuntut kita untuk: (1) Mampu membaca “pesan moral” sebuah ayat, (2) Mampu membumikan pesan moral itu dengan realitas zaman, dan (3) Mampu menarik kesimpulan hukum yang berlandas pesan moral ayat dan sekaligus akomodatif terhadap realitas zaman.
Lalu,  apa pesan moral dari ayat dan hadits tentang jilbab atau hijab itu? Simpel lho: menjaga dirinya dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar nampak”, “janganlah berpakaian tipis dan memperlihatkan selain wajah dan telapak tangan”,  AGAR “membuat mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”.
Inilah pesan moral, “maqashid al-syar’ie” (tujuan dasar sebuah hukum), dari dalil-dalil itu. Sangat global, bukan? Tidak detail, bukan? Inilah kemukjizatan dalil-dalil itu sehingga ia selalu shalih likulli zaman wa makan. Selebihnya, secara teknis-aplikatif, umat Islam diberi kebebasan untuk menafsirkan dan mewujudkan bentuknya. Umat Islam diberi keleluasaan untuk membuat sendiri tutorial hijab Islami secara kreatif. Nyata to di sini bahwa aslinya kita diajarkan untuk keren, bukan kuthul.
Bahwa pandangan faqih-faqih salaf yang mengatakan “seperti baju lebar” atau “lebih kecil dari gamis”, pastikan panjenengan sukses melakukan pembedaan dengan baik terlebih dahulu antara “dalil” dan “tafsir”. Dalil itu dari Allah dan RasulNya, tafsir itu dari umat Islam. Keduanya memiliki level otentisitas yang berbeda. Dalil harus kita amini, tafsir tidak wajib. Dalil mutlak kebenarannya, tafsir tidak. Dalil itu absolut, tafsir itu relatif. Peta beginian jangan digebyah-uyah agar kita tidak jadi muslim berkacamata kuda; hal yang tidak suci diklaim suci sebab tahunya hanya searah, bukan banyak arah.
Setelah panjenengan memahami peta ini, niscaya panjenengan takkan kaget lagi menyimak statemen “tidak ada kewajiban secara syar’ie bagi muslimah Indonesia untuk mengenakan jubah, gamis, baju kurung, dan sejenisnya yang ala Arab”, sebab kultur dan tradisi kita berbeda jauh dengan kultur dan tradisi Arab. Jilbab dan hijab Arab tidak wajib hukumnya untuk diangkut ke sini, sebab kita di sini sama berhak dan shahihnya dengan orang-orang Arab sebagai sesama umat Islam untuk mengkreasi sendiri bentuk dan model hijab yang lebih cocok dengan kultur dan tradisi kita.

CATAT: muslimah Indonesia tidak wajib hukumnya untuk mengenakan “daster Arab”. Jika suka, ya monggo, jika tidak ya ndak menopo.

Plis deh panjenengan jangan salah maksud lagi di sini, saya seiring sejalan sama panjenengan yang mengatakan bahwa menutup aurat bagi muslimah (berhijab dan berjilbab) wajib hukumnya. Tetapi, bentuk dan model hijab dan jilbab itu tidak perlu dibikin saklek sama gaya orang Arab, sebab memang tidak ada tuntunan dalilnya. Panjenengan mau model Arabian begitu, ya sumanggakke. Panjenengan yang demen dengan model up to date ala Paris dan Pasminah ya halal pula to.
Yang penting: “Tidak berkain tipis, tidak pamer perhiasan, tidak memperlihatkan aurat”.
Mau hijab ala gamis, boleh. Mau hijab berbahan jeans, monggo. Mau hijab model celana kodok, no problem. Mau hijab motif polkadot, jayyid. Sepanjang hijab yang dipakai sudah memenuhi prinsip “maqashid al-syar’ie” dimaksud, ya sudah cukup banget untuk disebut hijab syar’ie atau hijab Islami. 


Sebagai tambahan refleksi, kita semua niscaya mafhum sekali bahwa apa yang disebut “menjaga diri agar tidak diganggu” dan “tidak memperlihatkan perhiasan yang biasa nampak” sebagai rambu-rambu berhijab itu secara epistemologis sangat bersifat kultural. Ukuran kultural orang Arab jelas beda dengan ukuran kultural orang Indonesia. Karena itu, penerapan rambu-rambu itu pun menjadi absah untuk menjadi beragam seiring dengan beragamnya khazanah kultural yang melingkupi kehidupan umat Islam.
Aspek kultural “aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan” adalah khas Arab, yang bila itu tidak dipenuhi sangat rentan memicu “gangguan berahi pada wanita”. Di antara para Faqih, banyak ulama yang memberikan toleransi pada punggung tangan dalam maksud memudahkannya melakukan hal-hal yang membutuhkan kelenturan tangan.
Di sini, aspek kulturalnya berbeda. Di sini, lazim kaum muslimah mengenakan hijab tanpa menutup kaki dan tangan bagian atas (sebutlah bercelana panjang, berbaju lengan panjang, dan berjilbab). Dengan hijab jenis itu, ia telah memenuhi prinsip “menjaga diri agar terhindar dari gangguan”. Dan lantaran tujuan pokoknya sudah tercapai, maka ia sudah layak disebut memenuhi tujuan pokok perintah berhijab itu.
“Ukuran kultur” Indonesia ini jangan cobac-coba diangkut ke Arab, sebab ia takkan sukses memenuhi tujuan pokok dimaksud. Orang Arab sangat rentan makter sekadar ketemu jempol kaki wanita. Orang kita ya nggak semudah itu untuk makter.
Lalu, bagaimana tentang memperlihatkan perhiasan?
Esensinya sama dengan “menghindarkan diri dari gangguan” itu. Di sini, lazim saja muslimah mengenakan gelang yang kelihatan. Atau pula, gelang kaki yang kelihatan. Atau pula, beragam asesoris yang dipasang di luar jilbabnya. Semua itu sah-sah saja untuk ukuran kultur kita sebab telah masuk pada kategori “kecuali yang biasa nampak darinya”. Selain soal menghindarkan diri dari “gangguan berahi lawan jenis”, masalah perhiasan ini juga bertujuan untuk memproteksi jiwa kita dari “ujub, riya’, dan takabbur” (minjam istilahmu ya, Kang Felix Siauw, meheeee…). Jadi, bukan hanya selfie yang bisa begituan, hijab dan perhiasan pun juga bisa lho.
Di kita, sulit menemukan fenomena seorang wanita berhasil memantik berahi lawan jenis gara-gara pakai hells, kalau panjenengan normal sih. Kiranya, untuk konteks kultural kita, hal-hal berkait perhiasan ini lebih tepat ke arah “antisipasi kesombongan”. Sebagai sampel, panjenengan bisa tanya Syahrini saja apakah ia merasa sombong atau tidak saat menenteng Hermes ke mana-mana gitu. Tanyain gih, nanti jawabannya boleh dishare ke saya.
Satu fenomena lain yang ingin saya tambahkan di sini ialah tentang muslimah yang tidak berjilbab, tetapi sangat berhasil menjaga diri sehingga tidak memantik gangguan berahi lawan jenis itu.
Apakah panjenengan menjadi berahi melihat penampilan sosok semacam Najwa Shihab dan Desy Anwar? Saya tidak. Kawan-kawan saya semuanya juga tidak. Saya dan kawan-kawan sesama lelaki yang normal justru lebih cenderung “gundah gulana” bila berpapasan dengan muslimah-muslimah berjilbobs lho dibanding memandang Najwa Shihab dan Desy Anwar.
Bila panjenengan menanyakan pendapat saya, apakah ini berarti saya menyetujui muslimah tidak berjilbab, saya akan jawab bahwa saya mengidealkan muslimah berjilbab, dengan jilbab dan hijab yang sukses “menjaga diri dari gangguan berahi lawan jenis di tempatnya hidup”. Tetapi, saya pun ingin menandaskan bahwa saya lebih respect pada muslimah yang belum berjilbab tetapi sukses “menjaga diri dari gangguan berahi lawan jenis di tempatnya hidup” dibanding muslimah berhijab dan berjilbab tetapi gagal memenuhi prinsip “menjaga diri dari gangguan berahi lawan jenis di tempatnya hidup”.
Saya akan lebih menghormati muslimah jenis pertama itu, dengan satu alasan: tujuan pokok ajaran berhijab dan berjilbab ialah “menjaga diri dari gangguan berahi lawan jenis di tempatnya hidup”. Seberapa panjenengan sanggup melaksanakannya, di situlah kadar kemuslimahan panjenengan. Jika saya diminta memilih, maka saya akan memilih hal yang substantif daripada formal, kendati saya jelas lebih demen hal yang substantif itu diikuti oleh hal yang formal.
Kulo nuwun.
Jogja, 28 Januari 2015

Edi AH Iyubenu (@edi_akhiles), pedagang yang calon doktor Islamic Studies yang resah sama “Minyak Babi Cap Onta”.
17 Komentar untuk "AL-QUR’AN BUKAN KITAB “DESAIN KLAMBI” (Bagaimana Ajaran dan Bentuk Hijab yang Syar’ie itu?)"

nah iya pak. akhir2 ini saya sering liat poto di facebook yg menggolong2kan jilbab ini punya orang islam, lalu yg ini punya protestan, konghucu, punyanya pocong, dan lain-lain :v
entah saya yang enggak tau ato trlalu polos ato apalah, setau saya enggak ada tuh aturan bagaimana desain jilbab/hijab yg tertera di alquran dan hadits. hanya saja dijelaskan dengan jelas sejelas2nya bahwa hijab itu haruslah menutupi bagian kepala dan menjulur ke dada (CMIIW)..
saya hanya ketawa sembari kebingungan ngeliat adanya penggolongan desain itu.

nice ^^
tapi di lingkunganku udah terlanjur punya statement bahwa jilbab yang syar'i itu adalah yang guedeeee guedeee gitu kang.. jadi aku kalo kadang pake jilbab langsung yang lebaran terus kadang pake yang sifon atau paris dibilangnya tobatnya labil, kadang tobat kadang engga.. gitu katanya.. lah.. bedanya apa.. sama2 nutup aurat padahal cckck.. ampuuunnn dehhhhhhh..

kadang jadi pertanyaan buat para muslimah yang belum cukup ilmu, kenapa anak seorang ulama besar seperti Najwa Shihab atau putri alm Gusdur, Inayah wahid misalnya, kok nggak pake jilbab. Artikel ini cukup memberikan pencerahan.

Artikel menarik. Tidak menghakimi orang yang tidak berjilbab. Tambah ilmu karena jadi tau substansi berpakaian dari sudut pandang agama. Salut

Salam. Well, "menjaga diri dari gangguan berahi lawan jenis di tempatnya hidup” ini suatu pernyataan yang saya tidak setuju mengenai penggunaan jilbab/hijab/kerudung dari artikel Anda. Sebagai perempuan saya meyakini bahwa menutup aurat adalah untuk menjaga diri kami sendiri. Birahi dan nafsu sebagai laki-laki, LAKI-LAKI itu SENDIRI-LAH YANG HARUS MENGENDALIKANNYA (maaf pakai huruf besar). Karena, pada kenyataannya, perkosaan dan pelecehan tetap terjadi kendati pun kami berhijab apa yang disebut syar'i, dan bahkan dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi kami dan terbebas dari "hukum aurat"

https://aldekalogiyah.wordpress.com/2015/01/14/bercermin-apakah-kaum-beriman-siap-menerima-autokritik/
Saya tidak percaya Islam adalah agama tekstil, tetapi saya percaya bahwa tekstil dapat menjadi salah satu sarana untuk meraih keridhoan-Nya.

https://gayatriwedotami.wordpress.com/2013/03/06/tudungkepala/

Tulisan sesat dan menyesatkan.na'udzubilah,tryat ada org yg mengaku Islam tp isi otaknya mbulet

Ayat yg ini gak diikutkan??
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka MENUTUPKAN KAIN KERUDUNG KE DADANYA, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka dan ….(QS. An-Nur : 31)

Maksudnya, jelas3 disitu tertulis menutupkan kerudung ke dadanya, itu gak termasuk pesan moralnya? Saya setuju bukan desain klambi, tapi hijab sesuai syariat ya harus menutup dada. Kenapa hal ini gak dibahas?

ya karena belum sampai pada pemahaman yang mendalam,

This comment has been removed by the author. - Hapus
This comment has been removed by the author. - Hapus

Rasulullah SAW : “Wahai anakku Fatimah, adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya di dalam neraka adalah mereka yang di dunia tidak mau menutup rambutnya daripada dilihat laki-laki yang bukan mahramnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

HADITS PALSU TENTANG BERBAGAI SIKSAAN BAGI WANITA DI DALAM API NERAKA https://abufawaz.wordpress.com/2012/12/02/hadits-palsu-tentang-berbagai-siksaan-bagi-wanita-di-dalam-api-neraka #cmiiw

berhati-hatilah dalam menyampaikan/menyebarkan sebuah hadits, agar agama ini tetap terjaga kemurniannya

JILBAB MENURUT BUYA HAMKA: berikut kutipan Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA (Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, Hal. 295, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015), selengkapnya lebih jelas dan tegas dapat dibaca pada Al-Ahzab 59 dan An-Nuur 31:

'Nabi kita Muhammad saw. Telah mengatakan kepada Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq demikian,

"Hai Asma! Sesungguhnya Perempuan kalau sudah sampai masanya berhaidh, tidaklah dipandang dari dirinya kecuali ini. (Lalu beliau isyaratkan mukanya dan kedua telapak tangannya)!"

Bagaimana yang lain? Tutuplah baik-baik dan hiduplah terhormat.

Kesopanan Iman

Sekarang timbullah pertanyaan, Tidakkah Al-Qur'an memberi petunjuk bagaimana hendaknya gunting pakaian?

Apakah pakaian yang dipakai di waktu sekarang oleh perempuan Mekah itu telah menuruti petunjuk Al-Qur'an, yaitu yang hanya matanya saja kelihatan?

Al-Qur'an bukan buku mode!

Bentuk pakaian sudah termasuk dalam ruang kebudayaan, dan kebudayaan ditentukan oleh ruang dan waktu ditambahi dengan kecerdasan.

Sehingga kalau misalnya perempuan Indonesia, karena harus gelombang zaman, berangsur atau bercepat menukar kebaya dengan kain batiknya dengan yurk dan gaun secara Barat, sebagaimana yang telah merata sekarang ini, Islam tidaklah hendak mencampurinya.

Tidaklah seluruh pakaian Barat itu ditolak oleh Islam, dan tidak pula seluruh pakaian negeri kita dapat menerimanya.

Baju kurung cara-cara Minang yang guntingnya sengaja disempitkan sehingga jelas segala bentuk badan laksana ular melilit, pun ditolak oleh Islam.'

MENGENAL (KEMBALI) BUYA HAMKA

Ketua Majelis Ulama Indonesia: Buya HAMKA
"... paling konsisten memperjuangkan Syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, HAMKA mengusulkan agar dalam Sila Pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang 'kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya', sebagaimana yang termaktub dalam Piagam Jakarta."

mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

Hujjatul Islam: Buya HAMKA
republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/12/m2clyh-hujjatul-islam-buya-hamka-ulama-besar-dan-penulis-andal-1

Biografi Ulama Besar: HAMKA
muhammadiyah.or.id/id/artikel-biografi-pujangga-ulama-besar-hamka--detail-21.html

Mantan Menteri Agama H. A. Mukti Ali mengatakan, "Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri."

kemenag.go.id/file/dokumen/HAMKA.pdf

"Buya HAMKA adalah tokoh dan sosok yang sangat populer di Malaysia. Buku-buku beliau dicetak ulang di Malaysia. Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA merupakan bacaan wajib."

disdik.agamkab.go.id/berita/34-berita/1545-seminar-internasional-prinsip-buya-hamka-cermin-kekayaan-minangkabau

"Antara Syari'ah dan Fiqh

(a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh)

Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak, adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup aurat.

Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya."

*Nadirsyah Hosen, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/Fiqh.html

Terdapat tiga MUSIBAH BESAR yang melanda umat islam saat ini:
1. Menganggap wajib perkara-perkara sunnah.
2. Menganggap pasti (Qhat'i) perkara-perkara yang masih menjadi perkiraan (Zhann).
3. Mengklaim konsensus (Ijma) dalam hal yang dipertentangkan (Khilafiyah).

*Syeikh Amru Wardani. Majlis Kitab al-Asybah wa al-Nadzair. Hari Senin, 16 September 2013

www.suaraalazhar.com/2015/05/tiga-permasalahan-utama-umat-saat-ini.html

"Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), berpendapat bahwa lengan dan separuh bagian bawah betis perempuan tak menjadi bagian dari aurat yang harus ditutupi." (Islam Nusantara, Hal. 112, Penerbit Mizan, 2015)

"orang puritan sebagai mayoritas di Muhammadiyah, Jilbab bukan sesuatu yang wajib" KOMPAS, Senin 30 November 2009 Oleh AHMAD NAJIB BURHANI, Peneliti LIPI

www.academia.edu/7216467/100_Tahun_Muhammadiyah

"Sebab itu, menjadi pilihan pribadi masing-masing Muslimah mengikuti salah satu pendapat jumhur ulama: memakai, atau tidak memakai jilbab."

nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,48516-lang,id-c,kolom-t,Polwan+Cantik+dengan+Berjilbab-.phpx

"Jika mau jujur dan mau membaca, pada zaman Kalifah Umar Bin Khatab seorang budak perempuan kedapatan mengenakan jilbab. ‘Umar pun marah besar dan melarang seluruh budak perempuan untuk memakai Jilbab. Lebih jauh lagi pelarangan Umar itu diungkapkan lebih eksplisit dalam kitab Al-Mughni Ibnu Qudamah."

mojok.co/2014/12/jilbab-rini-soemarno-dan-khalifah-umar

"KH. Agus Salim, dalam Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) tahun 1925 di Yogyakarta menyampaikan ceramah berjudul Tentang Pemakaian Kerudung dan Pemisahan Perempuan

Tindakan itu mereka anggap sebagai ajaran Islam, padahal, menurut Salim, praktek tersebut adalah tradisi Arab dimana praktek yang sama dilakukan oleh Agama Nasrani maupun Yahudi."

komnasperempuan.or.id/2010/04/gerakan-perempuan-dalam-pembaruan-pemikiran-islam-di-indonesia

'Rasulullah SAW bersabda: "Bacalah Al-Qur'an selama hatimu bersepakat, maka apabila berselisih dalam memahaminya, maka bubarlah kamu!" (jangan sampai memperuncing perselisihannya).' -Imam Bukhari Kitab ke-66 Bab ke-37: Bacalah oleh kalian Al-Qur'an yang dapat menyatukan hati-hati kalian.

*bila kelak ada yang berkata atau menuduh dan fitnah Buya HAMKA: Sesat dan menyesatkan, Syiah, Liberal, JIL, JIN, SEPILIS atau tuduhan serta fitnah keji lainnya (hanya karena ijtihad Beliau mungkin tidak sesuai dengan trend/tradisi saat ini), maka ketahuilah dan ada baiknya cukupkan wawasan terlebih dahulu, bahwa dulu Beliau sudah pernah dituduh sebagai Salafi Wahabi (yang notabene identik dengan Arab Saudi). "Teguran Suci & Jujur Terhadap Mufti Johor: Sebuah Polemik Agama" #HAMKA #MenolakLupa

Info yang sangat bermanfaat, ayo para wanita pake hijab yang benar. Jangan asal gaya,,

cream anisa
frutablend

Back To Top