Cerpen ini dimuat Majalah Sastra HORISON (edisi Januari 2015). Saya
mengirimkannya ke redaksi Horison tanggal 14-11-2014. Anggap saja beginilah
salah satu contoh cerpen sastra. Selamat membaca….
****
Di kota kami yang selalu terlihat suram ini, setidaknya di mata kami
yang lebih suka berkeliaran di malam hari daripada siang hari, hanya ada dua
cara untuk bisa merasa hidup bahagia: berbuat baik pada orang lain atau berbuat
baik pada diri sendiri. Dan, tentu saja, aku memilih cara kedua.
Inilah cara termudah dan termurah untuk bisa merasa hidup bahagia,
Erdem! Cukup berpikir! Ya, berpikir bahagia, maka aku akan bisa merasa bahagia.
Erdem Bora, si lelaki pemurung yang jarang berbincang dengan lawan
jenis kecuali Aysila Dilara yang berdagu lancip itu, mereguk kembali coffee latte-nya sambil mengerutkan
kening di hadapan kata-kataku. Pesanannya selalu sama dengan pesanan Aysila.
Juga untuk malam ini. Matanya adalah elang, kendati aku sendiri lebih suka
menyebutnya mata burung camar yang mudah dijumpai di tepian selat Bosphorus
ini, semata karena aku ingin berpikir bahwa mataku jauh lebih bagus dari
matanya.
Ah, ternyata pikiran benar-benar sanggup mengubah kenyataan, bukan?
Boozcada Café: sebuah coffee
shop dengan space sempit ini, milik seorang pemuda berusia 35-an
asal kota Bursa,
hanya menyediakan beberapa meja kecil yang dikitari kursi-kursi kecil. Jika
sudah lewat pukul 11 malam, diiringi hempasan angin laut yang kencang dari
selat Bosphorus, hanya akan terlihat beberapa orang yang setia menikmati kopi
di bangunan berlantai dua ini. Ya, termasuk kami bertiga ini: aku, Erdem, dan
Aysila. Dan, biasanya, ada dua pasang kekasih pula yang mengisi kursi-kursi di
sekitaran kami; satu pasang duduk di dekat meja bartender dan satu pasang lainnya duduk di dekat jendela kaca yang
sengaja dikuak setengah.
Dari kaca lebar bening yang menjadi dinding pembatas antara kafe ini
dengan selat itu, kami bisa begitu leluasa menyaksikan kerlip-kerlip lampu dari
daratan Eropa. Juga geliat lampu-lampu mobil dan bus pariwisata yang tengah
melintas di atas jembatan Bosphorus yang tak seberapa panjang itu, yang
menyatukan tanah Eropa dan Asia. Jika kau melintasi jembatan itu dari arah
Istanbul ini, tepat pada aspal yang agak menurun di tengah jembatan itu,
tolehkan kepalamu ke kanan, maka kau akan menemukan plang dengan tulisan “Welcome
to Europe”. Sebaliknya, jika kau berangkat dari arah sana, di bagian kirimu
akan terlihat sebuah plang bertuliskan “Welcome to Asia”.
Di arah tenggara dari kafe ini, kami bisa pula menatap lepas wajah
Sulaiman Mosque yang menjulang dengan
anggunnya. Dan, tentu saja, di bawah sana, di tepian dermaga yang menyimpan
jejak-jejak tentara terbaik Al-Fatih saat menaklukkan Konstantinopel, di antara
perahu dan kapal yang sandar untuk sejenak istirahat itu, kami bisa dengan
mudah menemukan para sejoli yang tengah menikmati angin laut sambil berpelukan
dengan hangatnya.
“Kau terlalu Cartesian, Pamuk,” suara Erdem yang khas memaksaku
menoleh ke arahnya. “Kau pewaris logosentrisme Asristotelian. Apa-apa
disandarkan pada kaidah logika rasional tunggal, sehingga cara pandangmu
tentang hidup ini hanya bermata tunggal pula….”
“Kan
tidak salah untuk memutuskan pilihan, Erdem?” sahutku sekenanya sambil mencomot
french fries yang kian beku diguyur
angin malam.
“Tidak salah, tapi kau seharusnya mengerti pula bahwa hidup yang
selalu memuja rasio hanya akan membuatmu kehilangan makna sakralitas.”
“Wow!” seruku, kaget. Oh my
God! Sumpah, baru kali ini aku mendapati sosok Erdem yang mengaku ganjil
dengan segala ritual ini bicara tentang sakralitas.
“Sejak kapan kau termakan bujuk rayu sakralitas, Erdem?” Aysila
terkekeh sampai bahunya yang terlindungi jaket tebal terguncang-guncang. Kalung
monel dengan bandul Menara Eiffel yang selalu dikenakannya, yang kuhadiahkan
padanya tahun lalu tanpa sepengetahuan Erdem, ikut bergoyang mengikuti
guncangan bahunya. Saat terbahak begitu, Aysila sungguh terlihat lebih memikat.
Lebih seksi! Makanya dulu, sambil memasangkan kalung itu ke lehernya di sebuah
bangku taman di seberang Hagia Sophia yang menggigil dicumbui musim dingin yang
tak bersalju, aku berbisik di dekat lehernya, “Sering-seringlah terbahak,
Aysila, sebab itu membuatmu tampak lebih seksi….”
Aysila menarik lehernya dengan cepat dari dekat bibirku dan mengeluh
geli oleh hempasan napasku yang berkabut. “Di mana-mana, lelaki selalu ingin
melihat wanita tidak terbahak, Pamuk. Katanya, terbahak bukanlah simbol
keanggunan. Terbahak hanya milik kaum bitchy!”
Ia terbahak. Lihatlah! Ia memang terlihat sangat sensual dengan bahakannya,
bukan?
“Ah, itu mitos!” sahutku, nyengir.
“Mitos yang diamini para lelaki, kan?”
“Tidak termasuk aku. Tidak termasuk manusia rasional Cartesian macam
aku kok, Cantik….”
Aysila kian ngekeh. Ah, ia makin membuatku mabuk kepayang, meski
tentu saja aku takkan pernah berani menganggapnya sebagai kekasihku.
Erdem mendengus, menjejalkan ujung rokoknya ke mulut asbak sampai
mati. Sepertinya, ia tak begitu suka melihat kami tertawa gara-gara kata
“sakralitas” tadi.
“Orang Cartesian hanya akan hidup dengan kaca mata kuda. Seperti kau
ini, Pamuk….” sergahnya kemudian.
Ah, Erdem, si kawan filsuf kami ini! Ia benar-benar kelihatan
tersinggung dengan bahakan kami, rupanya.
“Kalem, Kawan, nikmati coffee latte-mu lagi,” kata Aysila
sambil menyorongkan cangkir kopi Erdem ke dekatnya.
“Aku tidak marah kalian tertawa begitu, tapi aku hanya perlu
menunjukkan pada Pamuk, bahwa otaknya adalah otak Cartesian. Cogito ergo sum,
aku berpikir maka aku ada! Betapa konyolnya prasangka itu jika selalu dijadikan
pegangan tunggal dalam mengarungi kehidupan ini, Pamuk.” Ia berdiri,
melemparkan matanya ke arah jendela. “Lihatlah laut di selat Bosphorus itu….”
Kuikuti arah telunjuk Erdem. Mengalihkan mata ke kaca bening yang
membanjar di seberang kursi kami. Sebuah selat yang tak begitu luas, yang
permukaan airnya nyaris sejajar dengan tinggi talud yang berderet di tepian
selat sepanjang kota ini, tampak temaram memantulkan siluet ombak dan tubuh
beberapa kekasih yang saling memeluk di beberapa tepiannya.
“Ada apa dengan Bosphorus? Dari dulu, sekarang, dan juga nanti tetap
akan begitu adanya,” gumam Aysila.
Erdem tersenyum kecil, terkesan bernada agak melecehkan memang. “Kau
tahu apa warna air laut Bosphorus di malam hari?”
“Biru!” sergah Aysila.
“Selalu biru,” sambungku. “Bahkan, Laut Merah dan Laut Hitam pun
airnya berwarna biru, Erdem. Aku telah membuktikannya saat bertandang ke Jeddah
dua tahun lalu.”
“Itulah kalian si Cartesin, si Logosentris! Aku bisa bilang warna
air di selat Bosphorus itu hitam, bukan? Lihatlah! Hitam, bukan?” Erdem
mengekeh. Biasalah, jika obrolan kami sudah mulai serius begini, hentakan kecil
akan sedikit meletup dari mulut Erdem.
Aku pernah berbisik pada Aysila di suatu hari bahwa gaya meletup
Erdem mungkin saja menjadi pipa pelariannya untuk memuntahkan segala roman
kemurungannya. Dan Aysila hanya terbahak saat itu. Tentu, ia tampak begitu
cantik saat membahak.
“Differance, Kawan, buatlah penangguhan diri dari hukum-hukum
sumir rasionalitas! Berhentilah terus-menerus membiarkan diri kalian berada
dalam posisi berpikir yang benar adalah begini dan begitu saja. Hidup ini harus
ditolong oleh keluasan imajinasi, agar menjadi lebih kreatif dan berwarna!”
“Derrida!” seru Aysila sambil membahak.
“Barthes? Sartre? Kierkegaard? Kant? Ataukah Foucault yang ingin kau
ceritakan pada kami malam ini, Erdem?” timpalku dengan mulut menyeringai.
Erdem tersenyum kali ini; sebentang garis datar saja di antara dua
bibirnya. Selalu begitu. Tak pernah lebih. Dasar si pemurung!
“Sampai kapan pun, aku akan tetap Cartesian!” tegasku.
“Aku juga!” timpal Aysila.
Erdem menyeret senyumannya perlahan. Lalu menyimpannya rapat-rapat.
Matanya menelan wajah kami, satu-persatu. “Dan sampai mati pun, kalian akan
terus hidup dalam satu warna begitu. Ya, sampai mati! Menyedihkan….”
“Kami menyedihkan, Erdem, tapi kami bisa terbahak lepas. Sebab kami
bisa merasa bahagia berkat pikiran kami. Kau tidak menyedihkan, Erdem, tapi kau
selalu murung. Sebab kau menganggap kemurungan dan kebahagiaan adalah soal
imajinasi belaka.”
Aysila terbahak mendengar kata-kataku. Begitu keras. Sampai-sampai, sepasang
kekasih yang masih bertahan di meja dekat jendela yang setengah terkuak itu,
yang kedua tangannya saling bergenggaman sedari tadi, menoleh ke meja kami.
Aku tersenyum pada mereka, dan mereka pun tersenyum pada kami: para
kelelawar kota yang membalik siang menjadi malam dan malam menjadi siang.
“Ingat, Erdem, kata-katamu tentang Sartre kemarin malam, bahwa
imajinasi yang kau puja itu tetaplah hanya sebuah bayangan tentang sebuah
kenyataan dari ketiadaan. Bayangan, Erdem! Bagaimana pun, bayangan akan
tetaplah maya….”
“Tidak akan selalu maya jika aku yang berimajinasi berhasil
mewujudkannya menjadi kenyataan, bukan?” sergah Erdem. “Kalian bacalah sejarah
Newton yang menciptakan teori gravitasi hanya sebab melihat apel jatuh! Ia
berimajinasi dengan sangat luas, bukan? Lalu ia berhasil mengubah sejarah
dunia!” Erdem kembali meneguk coffee latte-nya. Berdehem-dehem kecil
beberapa kali, mungkin untuk mempertontonkan kecongkakannya pada kami, lalu
berkata, “Albert Einstein juga berhasil menciptakan rumus E=mc2 berkat
imajinasinya. Thomas Alfa Edisson yang disebut bodoh oleh guru-gurunya yang
Cartesian berhasil mengubah wajah dunia berkat imajinasinya pula! Marx Zuckerberg
menciptakan Facebook juga dengan imajinasinya. Semua bersumber pada
imajinasi, kalian tahu itu, kan?”
“Lantas, kau sendiri berimajinasi apa, Erdem?” Mataku dan mata
Aysila saling bertumbuk saat melontarkan kalimat yang nyaris serentak itu.
Erdem kehilangan kata-katanya. Beberapa jenak saja, tentunya.
Sebagai orang pintar yang berbaur arogan, manalah mungkin ia akan
memperlihatkan geragapnya.
“Sebuah hiper-realitas, dan itu adalah bagian dari proses imajinasi
yang akan mengubah wajah dunia, setidaknya wajah hidupku,” ucapnya kemudian.
Nadanya agak lirih. Bahkan, nyaris tak terdengar diringkus oleh suara kursi
yang berderit diseret sang waitress yang murah senyum itu.
“Baudrillard!” sergah Aysila.
Aku terkekeh.
“Benar, bukan?” timpal Erdem.
“Erdem, mending kau alihkan energi imajinasimu yang sanggup
menciptakan hiper-realitas itu untuk berpikir kapan kau akan memiliki kekasih,
seperti pemuda di sebelah itu,” bisik Aysila dengan kepala sedikit ditekuk
mendekati wajah Erdem. “Ada tangan yang bisa kau pegang, ada wajah yang bisa
kau pandang, ada canda yang bisa menghapus muka murungmu, pasti hidupmu akan
bahagia.”
“Setuju! Kau boleh saja memuja Foucault kok, tapi tidak perlulah kau
turut meniru wajah murungnya saat berimajinasi tentang arkeologi pengetahuan
sampai tak ada waktu untuk mencintai wanita,” timpalku sambil terbahak. Ngikik.
“Lalu kau ujungnya akan mencintai Pamuk, Erdem….?” Aysila kembali
memperdengarkan bahakannya yang tak lamat.
Dengusan Erdem merobek bahakan kami. “Sudahlah, sekarang silakan
terbahak puas begitu, mentertawakan aku. Kelak, kalian akan membenarkan
kata-kataku, bahwa dunia ini akan kian berantakan sebab adanya orang-orang
macam kalian yang hanya melihat bahagia dengan cara usang cogito ergo sum!”
Erdem kembali memamerkan muka murungnya yang ditingkahi ucapan bernada sinis
itu. “Asal kalian tahu, orang Cartesian takkan pernah sanggup membahagiakan
orang lain. Tahu kenapa? Sebab Cartesian hanya berpikir tentang dirinya,
dirinya, dan dirinya! Tentang aku, aku, dan aku belaka. Orang lain? Masa
bodohlah! Dan hukum semesta telah mengatakan bahwa hanya orang yang bisa
membuat orang lain tertawalah yang akan bisa tertawa pula dalam hidupnya.
Titik!”
Aku terhenyak, kali ini. Deg! Ia menembak jitu prinsipku
bahwa dengan berpikir bahagia maka aku akan bahagia. Sialan!
Kulihat Erdem bangkit dan melangkah gontai ke toilet yang nyempil
di lorong kecil yang bersisian dengan posisi duduk sang waitress di
dekat galon air itu. Tampak ia berbicara sekilas pada sang waitress itu,
lalu menyelinap ke dalam toilet.
“Hei….” desisku pada Aysila.
“Ya?” sahutnya pelan.
“Jadi?”
Aysila menjawab dengan senyumannya saja.
“Hei, terbahaklah, aku suka lihat kau terbahak.”
“Kau gila!”
Aku terkekeh, tetapi buru-buru kutelan kembali kekehan itu saat
Erdem muncul dan mendekat ke arah meja kami. Ia kembali duduk di kursinya,
meneguk minumannya, lalu melemparkan mata elangnya ke arah kaca lebar yang
menjadi dinding kafe ini.
Malam kian beranjak tua dihajar dentang waktu. Sekitar lima belas
menit lagi, Boozcada Café ini akan tutup. Angin laut yang melindap melalui
jendela yang setengah terkuak di lantai dua ini terasa lebih dingin dari
biasanya. Di ujung langit Eropa sana, bulan yang suram terkulai begitu
kelelahan. Kulihat Aysila mulai sering menguap. Matanya agak merah.
Kupanggil waitress yang tampak mulai diserang kantuk itu,
yang terduduk terantuk-antuk di dekat galon air, di sebelah meja bartender.
Tak lama, ia datang sambil menyodorkan sehelai kertas billing. Cukup 30
Lira untuk malam panjang yang dijejali suara Derrida hingga Sartre! Kali ini
giliranku yang membayar billing.
Lalu kami menuruni tangga besi sempit yang melingkar-lingkar bak
ular ini. Tak lupa, sebelumnya, kulambaikan tangan kepada sepasang kekasih yang
masih menghabiskan tegukan terakhirnya di meja dekat jendela yang terkuak
setengah itu.
Kami berjalan dengan langkah pendek-pendek menyusuri pedestrian yang
kian senyap ini. Angin laut begitu setia berkejaran. Beberapa kapal dan perahu
yang ditinggalkan pemiliknya yang pastilah tengah mendengkur tampak
terayun-ayun dijilati ombak-ombak Bosphorus. Seorang penjual roti bulat-bulat
mirip donat tanpa misis terduduk di
kursi plastiknya dengan kepala kulai dan mata pejam. Dengkurannya berkelindan
ke telinga kami.
Di langit Eropa, di seberang selat yang pernah ratusan tahun
dikuasai orang Romawi ini, bulan yang muram kian terlihat kusam dengan warna
kekuningannya yang kian pikun.
Nyaris pukul tiga dini hari, kami sampai di gerbang apartemen
Aysila. Sambil melingkarkan lengan kanannya ke pundakku, Aysila menatap Erdem.
“ Erdem, pagi ini kupinjam Pamuk ya untuk membantuku membenahi kabel-kabel yang
bermasalah di kamarku.”
Tak ada suara dari bibir Erdem. Matanya beralih ke wajahku. Tentu,
dengan tatapan elangnya.
“Ayo, Pamuk, masuk…” kata Aysila sambil menarik pundakku.
Kupegang lengan Aysila, kutatap wajah Erdem, lalu berkata, “Sorry,
Aysila, pagi ini aku sudah janjian akan tidur di apartemen Erdem. Soal
kabel-kabelmu, nanti kubereskan ya.”
Mata Aysila sontak melompat. Tajam. Ribuan anak panah melesat dari
baliknya dan menghunjami wajahku.
“Masuklah, Aysila, sudah sepi begini,” kataku sambil melepas
lengannya, dan beralih menggandeng lengan Erdem. Tanpa menoleh lagi, kuayunkan
kaki beriringan dengan gontai kaki Erdem. Lantas kami menghilang di sebuah
tikungan, mengarah ke kiri, lalu membelah beberapa rumah yang terkapar diterkam
lelap, lalu masuk ke sebuah gang kecil di distrik Besiktas yang di ujungnya ada
sebuah apartemen dengan dominasi cat merah menyala.
Erdem berdiri di depan apartemennya, menyantap sekujur tubuhku
dengan mata elangnya yang kelihatan lebih mengkilat. “Pamuk, kau serius mau
menginap di sini bersamaku?”
Aku terbahak. Mengekeh. “Erdem, Erdem, kau pikir aku akan
benar-benar membantumu menjadi Foucault?”
Erdem tersenyum. Ya, senyum kecil saja, sebagaimana biasa, diiringi
mata elangnya yang meredup.
“Baiklah, Erdem, aku pulang…” kataku sambil membalikkan badan,
mengayun gontai membelah beberapa gang yang kusam, berbelok beberapa kali.
Lalu, dengan ayunan terbaik yang bisa kulakukan, kuarahkan badanku ke apartemen
Aysila.
Semoga Aysila belum tidur, gumamku sambil memencet nomer telponnya. Yes!
Terdengar suaranya di gagang telponku.
“Buka pintu, Aysila….”
“Kau serius, Pamuk?! Bukankah tadi kau begitu kejam mempermalukanku
dan memilih tidur bersama Erdem?!”
“Oh, no! Sejak kapan aku menjadi si homoseks, hah?”
“Haaaaaa…” Asysila memperdengarkan kekehannya yang membuatku semakin
tak sabar menunggu pintu apartemennya terkuak. “Kau memang cerdik, Pamuk!
Tepatnya licik! Melebihi siapa pun. Bahkan, kawan filsuf kita si Erdem itu pun
berhasil kau kecoh….”
“Cogito ergo sum!” kekehku sambil mematikan telpon.
Sesungguhnya, dalam hati, aku ingin mengatakan bahwa sejuta taktik pun akan
kupikirkan demi membuatku bahagia, Aysila….
Jogja, 8 Oktober 2014
Tag :
Kumpulan Cerpenku
2 Komentar untuk "CARA MUDAH UNTUK BAHAGIA Cerpen Edi AH Iyubenu"
cerpen bulan sebelumnya, juga di Horison, dipenuhi nama-nama tokoh. Apa lagi tren, ya? Cuma, yang ini lebih terasa pikniknya :D
Bang, saya izin copas cerpen-cerpennya untuk belajar. Terima kasih.