Personal Blog

PELAJARAN BAHASA UNTUK PEJABAT DAN JOMBLO




 “Aku akan memberinya sebuah penawaran yang takkan sanggup ditolak,” kata Don Carleone dengan gesture yang sangat meyakinkan. Melalui The Godfather yang bukan sekadar novel dan film tentang sepak-terjang keluarga mafia Italia di New York, Carleone mewariskan pelajaran berharga seputar berorganisasi, bersosial, berpolitik, berbisnis, dan juga berkeluarga.
Bila kalimat jleb Don Carleone itu disodorkan kepada anak SMP setelah diminta nonton film The Godfather, ia pasti akan mengerti maksud dari kalimat “penawaran yang takkan sanggup ditolaknya” itu. Anak SMP bisa menjawabnya begini: “Itu maksudnya tawaran berupa harta, tahta, dan wanita.” Itu tanda anak SMP mengerti “konteks”.
Tapi, bila kalimat itu disodorkan kepada elit politikus dan pejabat, kita bisa dipolisikan. Lho? Ini serius, Dab! Sebagian elit politikus dan pejabat kita nggak punya pemahaman bahasa Indonesia yang baik lho. Anak-anak SMP jelas lebih jago memahami “konteks” sebuah bahasa.
Tanya aja begini sama Menteri Tedjo: “Mengapa rakyat rela begadang nongkrongin kantor KPK? Mengapa pula para staf KPK mengancam akan mengembalikan mandat kepada presiden bila semua pimpinan KPK dipidanakan?”
Jawaban Menteri Tedjo begini ternyata: Pertama, itu rakyat yang nggak jelas. Kedua, kayak buruh aja mogok-mogokan.
Bandingkan bila kita meminta jawabannya pada anak-anak SMP. Jawabannya akan begini: Pertama, itu aksi protes rakyat pada penangkapan Pak Bambang. Kedua, itu sindiran tajam kepada presiden agar segera bertindak mengatasi kemelut KPK-Polri.
Beda jauh, kan, jawaban orang yang pintar bahasa Indonesia dengan orang yang pintar bersilat lidah dengan menggunakan bahasa Indonesia?
Lalu, tanyakan kalimat ini kepada Budi Gunawan yang tekun disponsori tim pengacara dan organisasi entah yang tiba-tiba muncul ke permukaan bak sebuah mukjizat: “Gugatan praperadilan BG atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK tidak memiliki landasan legalnya, seperti orang yang menggunakan jurus mabuk.
Jawabannya jadi begini: “Itu pencemaran nama baik. Bila BG yang dicalonkan jadi Kapolri dikatakan menggunakan jurus mabuk, artinya tak sadar, maka bagaimana lebih mabuknya lagi orang yang mencalonkannya?” Maka kalimat itu pun dipolisikan, serupa dipolisikannya Saut sang penyair itu oleh kubu sastrawan kontemporer yang dibukukan itu.
Ya, ya, ya, banyak sekali memang orang Indonesia yang mungkin pernah mendapat nilai tinggi dalam pelajaran bahasa Indonesia tetapi tidak piawai menggunakannya dalam kehidupan. Mereka yang mengalami anomali beginian sangat urgen untuk ngaji kitab Philosophical Investigations karya Ludwig Wittgenstein, filsuf Filsafat Bahasa yang mengaku berfilsafat sekadar untuk mengurangi gangguan depresinya.
Wittgenstein yang mempopulerkan “language game” (permainan  bahasa) berkata, Makna setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.
Maksud Wittgenstein ini aslinya sangat sederhana, yakni “konteks”. Mau kata apa pun, konteks pengucapannya jangan dicerabut begitu saja agar penyimpulan maknanya tidak melenceng. Orang nyabut singkong saja, bila dlakukan dengan asal cerabut, pasti banyak yang patah, lepas. Apalagi bahasa, to.
Orang tua kita pasti kelimpungan untuk menggunakan dan memaknai kata sejenis keles, jomblo, gebetan, PHP, malming syndrome, galau, sakitnya tuh di sini bukan karena kurang cerdasnya mereka dibanding anak-anak muda kini. Orang tua kita hanya tidak memahami konteks penggunaan bahasa itu dan penggunaannya dalam kehidupan kini.
Maka agar kita bisa berbahasa dengan baik, wajib hukumnya untuk memahami konteks sebagai latar yang melandasi lahirnya sebuah tulisan/ucapan. Ia adalah tujuan makna yang dimaksudkan penulis/pengucap.
Di sisi lain, pendengar/pembaca yang mengail makna yang dituliskan/dikatakan penulis/pengucap harus selalu tunduk pada konteks umum penulis/pengucap (state of affairs, begitu kerennya). Bukan kok membangun konteks sendiri, latar sendiri, lalu diperkosakan dengan penuh berahi ke tubuh tulisan/ucapan. Hasilnya ya pasti meleset, jauh berbeda.
Inilah gaya akrobatik language sliding, yang kerap diperagakan oleh mereka yang memiliki keterbatasan pengetahuan berbahasa Indonesia.
Orang yang pintar pasti akan terkekeh setiap menyaksikan gaya akrobatik berbahasa ini. Lha iya jelas ndagel jew; mengandaikan semua orang Indonesia ini bodoh-bodoh. Lalu dilebaykan biar terkesan lebih melodrama kayak Jodha Akbar dengan maksud mengais-ngais simpati publik, dengan cara menyeret orang-orang lain seolah terlibat dalam masalahnya. Mulai dari presiden hingga DPR “diseolahkan” terlibat. “….maka bagaimana lebih mabuknya lagi orang yang mencalonkannya?
Ya itu memang cara paling murah sekaligus lugu untuk diamalkan oleh orang-orang yang sedang didera masalah demi meraih simpati publik. Meski jelas itu cara yang sangat telo, wagu, dan ora payu.
Sampai di sini, pesan moral berbagai contoh itu ialah: “ANAK SMP LEBIH PINTAR BERBAHASA INDONESIA”.
Namun sejujurnya sih, ya bagian ini juga harus fair dicontohkan agar adil, nilai buruk berbahasa Indonesia ini nggak hanya diidap sebagian politikus dan pejabat kita, tetapi juga kerap menerjang generasi muda kita lho, utamanya kaum jomblo.
Ini serius, suer, nggak ada maksud membulli kok, hanya mendedahkan realitas empiris. Semoga menginspirasi ya….
Orang jomblo paling rajin melakukan penggelinciran bahasa lho. Bahkan, kendati akal sehatnya telah berkali-kali menasihati pemiliknya bahwa kalimat yang didengarnya atau dichatin seseorang di luar sana itu belum tentu begitu maksudnya, konteksnya. Namanya jomblo yang sunnatullah-nya memang para pejuang tangguh, ya terus saja menerjang meradang dan ingin hidup seribu tahun lagi.


Betapa banyak to di antara Panjenengan, Duhai Jomblowan dan Jomblowati yang sangat nasionalis karena teguh memperjuangkan sila “Persatuan Indonesia” dan sangat religius sebab aktif mengamalkan nasihat tombo atisemua akan akan indah pada waktunya”, yang seketika melambung-lambung perasaannya ke langit ketujuh kala:
Pertama, ada SMS masuk ke gadget yang senyap bertahun-tahun ini, yang lebih keburu habis masa berlakunya dibanding habisnya pulsa. Sontak terbayang ada orang ngajak kenalan, lalu ketemuan, lalu jadian deh.  Dengan tangan gemetar, dibukalah gadget-nya, lalu diammpuutttt….! Ternyata SMS dari operator seluler dan “mama minta pulsa”.
FYI: belakangan ini, Simpati rajin mengirimi SMS setelah kita mengirim SMS. Menggunakan Simpati akan membuat gadget-mu lebih sering menerima SMS lho.
Kedua, ada chat Facebook dari seseorang bertampang rupawan yang ngajak kenalan. Tentu, sebagai insan yang sejak kecil dididik ramah, ia menerimanya tanpa ragu, bahkan lalu dengan ikhlas mengetik panjang lebar sampai 2 halaman tentang vitae-nya. Mulai dari agama, pendidikan, ukuran sepatu, sampai berapa tahun “bersatu”.
Dalam hati, ia mengumam, “Semoga ini imam yang akan membawaku ke kursi sakinah mawaddah wa rahmah, amiinn…” Tokoh rupawan itu kemudian mengutarakan maksudnya betapa ia ingin sekali minta kritik atas cerpennya yang nggak kunjung dimuat di koran tak berbayar. Dyeerr!
Ketiga, ada sejoli bergandengan tangan yang melintas di depannya, sontak ia berbisik pada kawan sejenis sejalannya yang jelas se-kufu alias seperjuangan, betapa hidup ini sangat tidak adil. Ke mana keadilan-Mu? Lelaki itu unyu banget, perempuannya mlunyu banget, lha kok bisa jadian, kenapa nggak sama aku saja yang lebih patut agar hidup ini tampil lebih adil?
Ia pun cemburu pada lelaki tak dikenal yang menggandeng tangan pacarnya sendiri, yang baru pertama kali ini dilihatnya sekilas saja di keramaian. Benar-benar sikap peduli yang mengharukan, bukan?
Begitulah contoh-contoh kronis kegagalan berbahasa Indonesia yang baik; setiap kali konteks bahasa dicerabut, maka penyimpulan maknanya pasti tersesat.  Maka bila Panjenengan termasuk orang yang sering mengalami gagal konteks beginian, saya kok optimis Panjenengan ini aslinya menyimpan sebuah potensi besar: menjadi politikus dan pejabat di negeri ini.
CATAT: menjadi jomblo berpeluang besar menjadi politikus dan pejabat.
Jogja, 7 Pebruari 2015

1 Komentar untuk "PELAJARAN BAHASA UNTUK PEJABAT DAN JOMBLO"

Back To Top