Personal Blog

SERI KAJIAN SYIAH 1: NIKAH MUT’AH Oleh Edi AH Iyubenu



Saya terketuk untuk menuliskan tentang “selayang pandang Syiah” hanya dengan satu tujuan: mendedahkan informasi berimbang tentang kelompok Islam yang paling dihujat di negeri ini, dari sejarahnya, landasan teologisnya, hingga ajarannya. Kesimpulan yang ingin saya sampaikan di awal ialah  Syiah itu bagian dari Islam. Bahwa ada pengecualiaan di dalamnya, ya tentu saja. Serupa bahwa tidak semua Sunni itu orang-orang baik, bukan?
Baiklah, sengaja saya mengambil bagian “Nikah Mut’ah” sebagai tulisan pertama, lantaran ajaran Syiah inilah yang paling mudah diingat oleh orang, paling gampang divonis, lalu dijadikan landasan sepihak dengan gebyah-uyah untuk menyesatkan dan bahkan mengkafirkan kaum Syiah. Na’udzubillah min dzalik.
Perlu Anda ketahui terlebih dahulu supaya Anda tahu latar saya sebagai penulis kajian ini, saya ini nahdliyyin (kultural), alumnus pesantren Manbaul Ma’arif Denanyar Jombang dan pernah hapal Alfiyah Ibnu Malik, pernah pula hapal sebagian besar juz al-Qur’an, kini studi doctoral Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Insya Allah saya Sunni. Saya tidak ideologis pada faksi apa pun, apalagi politik, hanya seorang pedagang, tidak pula berhasrat meminta Anda mengikuti pandangan saya.
Saya semata bermaksud mengajak Anda untuk membiasakan diri melihat dulu setiap persoalan apa pun, terutama masalah keagamaan yang sensitif, dengan teliti, ilmiah, dan bertanggungjawab, agar apa pun pilihan pandangan kita kemudian benar-benar memiliki landasan pengetahuan yang memadai. Bukan sekadar ikut-ikutan buta, ngeshare tanpa membaca dulu, yang ujung-ujungnya hanya akan menjadikan kita sosok muslim berkarakter “minyak babi cap onta”. Bukankah menyedihkan bila kita membiarkan diri terus-menerus menjadi bagian dari kaum pencaci, penyesat, dan pentakfir?
Lanjut.
Nikah Mut’ah merupakan salah satu ajaran (fiqh) yang membedakan antara kaum Sunni dan Syiah.
Dalam Syiah, pernikahan memiliki dua bentuk: nikah mutlak dan nikah mut’ah. Nikah mutlak ya seperti yang kita kenal di sini selama ini. Nikah mut’ah ialah pernikahan yang disepakati pada masa tertentu, sehingga otomatis pernikahan itu terhenti bila tidak diperpanjang. Catat: nikah mut’ah itu bisa diperpanjang, bahkan sampai mati. Itu berarti tanpa pernah ada perceraian dan perpisahan. Bukankah bila sudah saling mencintai, berpisah menjadi sangat musykil untuk dilakukan? Diaaarrr….
Landasan yang dipakai oleh kaun Syiah ialah bahwa Nabi pernah mengizinkan para sahabat melakukan nikah mut’ah dan banyak sahabat yang melakukannya.  Memang ada situasi khusus kala itu yang sering dijadikan argumen untuk membantah aktualitas ajaran Nabi itu, meskipun pula di sisi lain ya tentu saja selalu ada analogi (qiyas) yang bisa diciptakan sebagai hujjahnya.
Tentang landasan ini, baik Sunni maupun Syiah bersepakat bahwa benar adanya Nabi pernah mengizinkan para sahabat melakukan nikah mut’ah. Anda bisa lihat hal ini dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Juz V, 1967:92).  Anda bisa pula melihatnya dalam buku Perempuan (2005) karangan Quraish Shihab.
Kemudian kaum Sunni mengatakan bahwa ajaran itu telah dibatalkan (mansukh), sehingga tidak boleh dilakukan lagi, dan inilah persimpangan jalan yang kini membedakan pandangan Sunni dan Syiah. Kaum Syiah menolak pandangan Sunni tentang pembatalan hukum nikah mut’ah ini.
Muhammad Husein Kasyif al-Ghitha’, seorang ulama besar Syiah (1874-1933 H), dalam kitabnya Asy-Syi’ah wa Ushuliha (Juz 2, tt:168), mengatakan bahwa, “Ijma’ ulama menyatakan bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan dan telah dilakukan. Namun kemudian ulama berselisih dalam pelaksanannya. Ada yang mengatakan syariat itu telah dibatalkan. Tetapi kami menolak pandangan tersebut, sebab hal itu bertentangan dengan kaidah hukum bahwa suatu ketetapan yang bersifat pasti (ajaran nikah mut’ah) tidak dapat dibatalkan oleh ketetapan yang bersifat tidak pasti (pembatalan ajaran nikah mut’ah).”
Kaum Sunni menolak nikah mut’ah atas dasar kehati-hatian bahwa praktik tersebut rentan dengan zina dan lebih banyak madharatnya. Namun kaum Syiah membantah nikah mut’ah diidentikkan dengan zina, lantaran dalam praktik mut’ah juga diberlakukan syarat-syarat ketat seperti yang dipakai dalam nikah mutlak, seperti keharusan adanya ‘iddah, ‘ijab, qabul, mahar, serta wali. Satu-satunya perbedaan antara nikah mutlak dan mut’ah ialah masalah pembatasan waktu yang sangat terbuka untuk diperpanjang.
Atas dasar hal ini, Murtadhar al-Ridhawi dalam kitab Ma’a Rijal al-Fikri fi al-Qahirah (1974:219) mengatakan bahwa, “Dari segi praktik, saya tidak melihat perbedaan besar antara nikah mut’ah dengan nikah ahlussunnah. Nikah mut’ah memang berbatas waktu tetapi dapat diperpanjang sampai seumur hidupnya. Nikah ahlussunah tidak berbatas waktu, tetapi boleh diputuskan dengan talak. Pernikahan ahlussunah berkesinambungan tetapi dapat diputuskan di tengah jalan dan pernikahan mut’ah terbatas waktunya tetapi dapat dijadikan berkesinambungan.”
Hakdes!
Saya ngungun pas ketemu literatur ini, speechless. Apalagi, ternyata, bagi kaum Syiah, talak baru dibolehkan dengan syarat harus ada dua orang saksi, yang berlandas pada surat al-Thalaq (65): 2, “Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” Mekanisme talak ini berbeda dengan kaum Sunni yang tak mensyaratkan saksi, bahkan ada pula jenis talak muta’allaq (bergantung). Misal, seorang suami berkata pada istrinya, “Jika kamu pergi ke XXI, berarti kita cerai.” Bila istri melakukannya, maka jatuhlah talaknya.
Diakui atau tidak, dalam konteks talak ini, pendapat kaum Syiah ini lebih mampu meredam jumlah perceraian berkat adanya syarat dua orang saksi itu.
Terakhir, saya ingin mengutipkan pandangan Mahmud Syaltut, mantan pemimpin tertinggi Lembaga-Lembaga Al-Azhar Mesir setelah diangkat jadi pemimpin tertinggi itu, “Saya mengeluarkan fatwa tentang bolehnya beribadah dengan mazhab-mazhab yang jelas prinsip-prinsipnya, dikenal sumber-sumbernya, antara lain mazhab Syiah Imamiyah al-Itsna Asyariyah.”
Sekadar informasi, di Al-Azhar, diajarkan aneka mazhab Islam, dari Sunni dan Syiah, yang didasarkan pada inisiatif komparatif atas dasar penelitian dalil, argumen, dan sejarah.
Saya pribadi tidak setuju praktik nikah mut’ah di sini. Alasan saya ora ndakik-ndakik: secara kultural nikah mut’ah tidak relevan dengan kita sehingga rentan memantik clash, plus silakan Anda datang ke Puncak Bogor, di mana praktik mut’ah dilakukan dengan cara reduktif-komersial. Ajaran Syiah bahwa talak hanya sah bila disaksikan oleh dua orang saksi tidak terjamin di dalam praktik mut’ah yang dilakukan itu.
Di atas itu semua, kini kita mengerti bahwa ajaran mut’ah Syiah memiliki landasan yang tidak sederhana, serupa dengan tidak sederhananya pandangan Sunni yang menolak praktik nikah mut’ah, bukan?
Lalu, bila Anda bertanya pada saya kini, bagaimana hukumnya bila seseorang mengambil nikah mut’ah (mengikuti pandangan Syiah) dan meninggalkan istri mut’ahnya tanpa saksi itu (mengikuti Sunni)?
Anda bisa menjawabnya sendiri status hukumnya dari kacamata Sunni dan Syiah sekaligus kini.
Jogja, 21 Pebruari 2015
Tag : Kajian Agama
6 Komentar untuk "SERI KAJIAN SYIAH 1: NIKAH MUT’AH Oleh Edi AH Iyubenu"

Back To Top