Personal Blog

MENGENAL MAZHAB PLAGIASI DAN PARAFRASE Oleh Edi AH Iyubenu



Dalam kerja kreatif, seperti menulis, plagiarisme atau plagiasi begitu dinista. Ia selevel dengan dosa syirik yang tak terampuni lantaran mengingkari fitrahnya sebagai Realitas Kreatif. Plagiator dengan sendirinya adalah “ateis-kreativitas”. Mengaku kreatif tapi mengingkarinya sekaligus.
Celakanya, pengertian “kreatif” sendiri bercabang-cabang. Bila dikerucutkan, ada dua mazhab besar saja:
Pertama, kreatif ialah berkarya secara orisinil. Makpling. Bagaikan jatuh dari langit begitu saja, tanpa dipengaruhi atau diwarnai oleh apa pun dan siapa pun.
Kedua, kreatif ialah memberikan sentuhan-sentuhan segar (fresh) pada hal yang sudah ada sehingga menjadi “baru”. Ini jelas tidak jatuh dari langit, tapi jatuh dari bacaan dan pergaulan.
Bila kedua mazhab ini digatukkan dengan percaturan global kini, di mana interaksi geopolitik teks begitu terbuka dan cepat layaknya isu-isu Rini Fatimah Jaelani alias Syahrini, mazhab pertama menjadi terperam ke sudut-sudut pekat idealisme. Mazhab kedua mengambil peran sangat besar kemudian.
Bagi orang yang berkubang di sudut-sudut pekat idealisme mazhab pertama, cara kerja mazhab kedua disebut bagian dari plagiarisme, hanya disamarkan. Pseudo-plagiarisme, kira-kira begitu istilahnya. “Pura-pura kreatif padahal plagiat juga”.
Bagi mazhab kedua, berkarya dengan cara kerja mazhab pertama disebut musykil. Bagaimana mungkin seseorang berhasil menuliskan sesuatu dengan baik tanpa melalui proses membaca karya orang lain yang mendahuluinya, yang boleh jadi memberikan efek samping berupa “keterpengaruhan” (intertekstualitas)? Begitulah bantahan mazhab kedua terhadap klaim Syahrini ini. Eh, idealisme ini.
Sejatinya, saya pribadi memandang kedua mazhab ini sama baiknya dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ya, persis saya memandang kedudukan Sunni dan Syiah.
Mazhab pertama begitu digdaya kreativitasnya tetapi rentan tumpul produktivitasnya. Mazhab kedua begitu digdaya produktivitasnya tetapi rentan mengekor capaian karya yang sudah ada.
Nah, bagaimana kalau saya berusaha mendamaikan keduanya saja, ya? Soal yang mana yang lebih cool, biarkan pembaca yang menilainya kemudian, setakar dengan bebaskanlah Gusti Allah yang memutuskan apakah kelak yang diridhai-Nya itu orang Sunni, Syiah, atau malah Jepang yang kebak tepa selira to, nggak kayak kamu yang berlagak Yang Maha Security.
Mari kita ciptakan ukuran saja yang tentu lebih teknis dan logis untuk dijadikan sandaran:

Plagiasi Garis Keras
Praktik plagiasi ini ialah mencopas karya orang secara mentah-mentah dengan tanpa mencantumkan sumber kutipannya, baik banyak atau sedikit. Misal mengutip lagu, syair, puisi, frase, quote, narasi, atau apa pun yang notabene ditulis oleh orang lain, sehingga pembaca kemudian mengasumsikan bahwa karya yang dibacanya adalah karya penulis yang dibacanya.
Praktik ini membuat saya sangat terharu, sebagaimana saya terharu pada Syahrini.

Plagiasi Moderat
Kelompok plagiasi ini statusnya tetap mengharukan. Hanya saja, cara kerjanya lebih “malu-malu” dibanding plagiasi garis keras yang “malu-maluin”. Biasanya, modus yang dilakukannya ialah dengan cara mencomot tulisan dari negeri antah berantah dengan harapan tidak ketahuan orang sendiri atau mencampur-adukkan tulisan banyak orang bagai puzzle lalu ditatanya sedemikian rupa plus imbuhan parafrase.

Parafrase Garis Keras
Ada lagi praktik mencomot tulisan orang dengan tanpa mencantumkan sumber kutipannya namun kata-katanya telah diubah sedemikian rupa secara keseluruhan. Esensinya sama, tapi kemasannya telah dimodifikasi.
Bila praktik ini dilakukan sampai pada level “plek intinya”, tanpa sentuhan sudut pandang terhadap kandungannya, ini juga patut dinyatakan mengharukan. Namun biasanya jarang sekali kejadian mengharukan begini. Seringnya ialah parafrase terhadap sebagian kandungannya dengan tambahan sudut pandang penulis barunya. Saya kira ini tak masalah.
Hanya saja memang Tuhan sungguh Maha Adil. Pelaku parafrase akan selalu menjadi “follower” bin anak bawang to, sehingga tak pernah melesat ke depan.

Parafrase Moderat
Praktik ini paling banyak dilakukan oleh kita. Dalam bahasa kerennya disebut intertekstualitas alias keterpengaruhan. Disajikan dengan gaya bahasa sendiri, namun “karakternya” sejalur dengan tulisan yang telah mendahuluinya. Secara hukum, hal begini sah-sah saja.
Hanya saja, penting untuk dimengerti bahwa kendati intertekstualitas di satu sisi amatlah sulit dihindari oleh penulis (terutama pemula), namun di sisi lain berjuanglah terus-menerus untuk menyelamatkan dirimu dari faksi “parafrase garis keras” dengan sebanyak mungkin memasukkan perspektif-perspektif sendiri. Dari soal gaya tulis, karakter strukturnya, hingga sudut pandangnya. Dengan cara ini, ia akan semakin tipis didekap taste keterpengaruhan itu.
Dalam mazhab ini, parafrase sah dilakukan. Namun, sebagai sebuah karya kreatif, Anda harus selalu memahami ukuran prinsipil ini: semakin taste tulisanmu menjauh dari tulisan-tulisan yang mempengaruhimu, maka tulisanmu berarti semakin mendekati orisinil. Nah, ngomong soal taste, saya kira nuranilah yang paling sanggup menjelaskannya pada Syahrini.

Akar masalah dari plagiarisme aslinya sungguh sederhana, yakni semata emoh mencantumkan sumber comotannya. Emoh itu mencerminkan karakter penulisnya yang dekat dengan angkuh, sombong, dan egois. Watak-watak personal yang seharusnya sudah lebih dari cukup untuk dinyatakan tidak yangable.
Secara Syahrini, eh hukum, tidak ada toleransi buat plagiator. Kalau buku saya yang diplagiasi, maka akan saya tuntut secara hukum dan akan saya buatkan report ke seluruh toko buku untuk menarik buku plagiasi itu dari pasaran.
Namun saya memandang bukanlah suatu masalah bila plagiasi itu sekadar dijadikan status, twet, dan sejenisnya. Meski tentu tetap lebih afdhal mencantumkan sumbernya.
Meminjam ulasan Arman Dhani di Mojok.co, plagiasi itu bukan kerjaan mudah, tapi membutuhkan ketangguhan mental yang luar biasa; tangguh menahan malu, tangguh menyebar fitnah sebagai apologi, dan juga tangguh membunuh karir kepenulisannya sendiri.
Dosa plagiator bukan hanya merugikan secara material kepada penulis aslinya, tetapi juga sangat berpotensi merugikan nama baiknya. Misal, berkat ketangguhannya berapologi fitnah, para fans atau followernya akan ngejudge penulis aslinya sebagai plagiator. Kata Arman Dhani lagi, “Ini adalah asu seasu-asunya.”
Jika sudah siap diasukan seasu-asunya, ya monggo khianti saja nuranimu sendiri; pura-pura saja Tuhan nggak tahu bahwa kamu sedang mencuri tulisan orang lain, yang sedihnya kamu lakukan setelah shalat Isya’. Setipikal dengan kaum jomblo yang demen nyetatus “Emang kenapa kalau jomblo, aku bahagia aja nih….” padahal hatinya berdarah dan berdoa turun hujan di musim kemarau setiap malam Minggu.
Namun jika kamu sejalur sama Pramudya Ananta Toer bahwa menulis akan membuatmu abadi, maka menulislah dengan jujur.
Tanya Syahrini.
Sumenep, 2 Maret 2015
1 Komentar untuk "MENGENAL MAZHAB PLAGIASI DAN PARAFRASE Oleh Edi AH Iyubenu"

Tulisannya nendang banget nih Encik Bos. Semoga para plagiator membaca tulisan ini. Dan segera insyaf dari perbuatan menjiplak karya orang lain.

Back To Top