Personal Blog

RISIKO TIDAK LUCU



Saya percaya bahwa cara Tuhan menarik ilmu dari muka bumi ini ialah dengan “memanggil” para ulama, filosof, sanitis, dan ilmuwan. Tetapi saya juga percaya bahwa kematian orang-orang lucu menjadi bagian dari kemunduran peradaban dunia.
Bayangkan, apa jadinya bila segala sesuatu dipandang, diamati, dinilai, dan ditanggapi dengan selalu serius gara-gara kita gagal melihat sisi lucu dan nyelenehnya?
Spaneng. Tegang. Saklek. Njengat. Ngaceng!
Hidup kita jadi tegang, perspektif kita jadi saklek, dan perilaku kita jadi ngaceng!
Ya, tanya aja sama mereka yang bisaaaa ngatain orang lain salah, sesat, lalu kafir, dan ahlu al-nar. Lalu rumangsa paling benar, lurus, ahlu al-jannah.
Padahal itu rak ming perspektif to, alias wacana, alias menurut. Namanya menurut, yang tergantung landasanmu saja: bila tujuan keretamu Bandung, ya menurutmu Bandunglah yang terindah; bila tujuanmu ngejomblo, ya menurutmu Nyai Ontosorohlah yang the best.
Menurut-menurut itu ndak salah, manusiawi, hanya saja menjadi wagu tur ra mutu bila dilandasakan pada ketegangan, kesaklekan, kespanengan, kenjengatan, dan kengacengan. Yang kudu tegang, spaneng, itu ya security saja. Kalau security kok ledha-lehde ya susah menegakkan aturan to.

“Maaf, Sampeyan melanggar marka, jadi ditilang njeh, haaa..haaa….”

Ya ndak bisa Sampeyan berlagak begitu sebagai seorang petugas. Dalam posisi bertugas.
Namun sebagai manusia, ya sante saja. Ndak usah spanengan, kakuan, njengatan, ngacengan. Manusia kok berlagak Gusti itu rak yo asem tenan to. Sebuah pelanggaran kodrat yang benar-benar menyebalkan.
Dan, sikap begituan ya karena Sampeyan ndak lucu hidupnya. Risiko Sampeyan ndak lucu ya begitu. Begitu sama dengan Sampeyan ndak lucu.
Tur ya, jangan salah, orang yang ndak lucu hidupnya pati disebabkan kurang dolan kurang baca. Sebab orang yang banyak dolan banyak baca selalu tahu cara melihat sebuah hal dari sisi yang beragam.
Kalau ngikuti pandangan Cak Lontong bagaimana, Wittgenstein gimana, Quraish Shihab bagaimana, Sujiwo Tedjo gimana, dan Poniman mbah kaum itu gimana.
Anda ndak lucu, berarti Anda njengatan, ngacengan. Padahal Anda tahu dua diksi terakhir yang saya italic itu ada sawahnya sendiri, yang bila Anda jorkan tidak di sawahnya sendiri ya pasti jadi masalah.
Ya to?
Jogja, 10 Maret 2015
0 Komentar untuk "RISIKO TIDAK LUCU"

Back To Top