Personal Blog

UMRAH (2): RAUDHAH DAN EGOISME PAHALA



“Di antara rumahku dan mimbarku adalah sebuah taman dari taman-taman surga….”

Inilah yang disebut Raudhah. Yang disebut-sebut sebagai salah satu tempat mustajab. Luasnya kira-kira hanya 70 meter x 8 meter. Ya kecil begitu, diperebutkan oleh seluruh jamaah umrah yang ribuan. 





Hari ini mudah banget untuk mengenali mana area Raudhah. Banyak lampu gantung di atasnya. Di sebelah kirinya ada dinding penuh kaligrafi berwarna emas dengan kombinasi warna hijau (di balik dinding itulah ada kuburan Kanjeng Nabi, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab). Dijubeli orang setiap saat. Karpetnya berwarna hijau. Selain area Raudhah, karpetnya berwarna merah.
Waktu “paling sepi” di Raudhah ialah di masa shalat Dhuha. Juga tengah malam. Juga kira-kira dua jam sebelum shalat Subuh. Tapi ya sesepi-sepinya Raudhah, jangan bayangkan bisa klombang-klombong bagai dedek-dedek gemes di IG-nya.
Memasuki kompleks Raudhah selalu harus penuh kesabaran. Menyisir dari belakang atau samping (dari pintu Bab al-Salam atau Bab al-Rahmah). Sendalmu simpan saja jauh-jauh di rak-rak sandal yang bernomor, nggak usah ditenteng. Bikin ribet.
Ikuti sajalah arus orang yang hendak memasuki Raudhah. Melangkahi shaf demi shaf. Gitu terus. Lalu bila sudah macet di kisaran Raudhah, berdirilah di belakang orang-orang yang shalat di Raudhah sembari mencari sela-sela yang ada. Masuk selangkah demi selangkah. Banyakin baca shalawat dan la haula wa la quwwata illa billah.
Byuh, macak muthawwif saya.
Sekian kali ke sini, saya selalu merasa gundah menyaksikan banyaknya orang yang begitu egois mengeruk pahala. Maksud saya, di area Raudhah yang segini cupetnya, banyak sekali orang yang duduk-duduk dzikiran atau ngaji atau mainan gejet sembari santai bagai di pantai. Padahal di sekitarnya, bejibun orang lain yang ingin dapat sekadar tempat shalat.
Saya selalu membatin, lha mbok kalau sudah shalat dan doa di Raudhah, segeralah keluar gitu. Minggir, menepi, ke areal lain di dalam Masjid Nabawi yang luasnya ribuan meter ini. Biar dia sendiri leluasa dengan aktivitasnya, dan sekaligus memberi ruang bagi orang lain yang belum shalat dan berdoa di areal Raudhah.
Kan ya sip kalau gitu.
Tapi ya memang selalu begitu kenyataannya. Hanya bisa buat kepala geleng-geleng.
Saya juga selalu menyaksikan wajah-wajah penuh terima kasih dan bahagia dan haru dari orang-orang yang berasal dari antah-berantah yang saya berikan ruang untuk shalat, yang pastinya telah antri berdiri sekian lama di belakang. Mereka begitu senang!
Ya iyalah, siapa sih orangnya yang nggak ingin shalat beberapa salam saja di kompleks Raudhah gini? Semua. Rasa bahagia diberi ruang untuk shalat itu saya kira udah setara dengan rasa bahagia orang jomblo disapa orang cakep. Bayangkan sendiri, gimana sumringahnya mereka. Hatinya berbunga-bunga, penuh imajinasi yang memang sih lebay.
Lha jomblo, maklumin saja; lha udah antri lama berharap bisa shalat dan berdoa di Raudhah, tiba-tiba diberi mukjizat begitu.
Nggak ngerti saya, benarkah pahala duduk-duduk selama-lamanya di Raudhah itu lebih baik daripada shalat beberapa salam lalu dzikir dan doa sebentar lalu memberikan tempat shalat kita pada orang-orang lain?
Saya nggak nemu dalilnya. Tapi saya yakin bahwa menyenangkan hati orang lain merupakan salah satu akhlak karimah Kanjeng Nabi yang beristirahat di sebelah sana, di dekat-dekat sini saja.
Madinah, 25 Mei 2015

Tag : Traveling
2 Komentar untuk "UMRAH (2): RAUDHAH DAN EGOISME PAHALA"

Kemampuan dan juga kemauan "berbagi" hanya dimiliki hati yang telah "menerima".
Semoga saya segera bisa shalat di Raudhah dengan spirit yg Pak Edi sampaikan :)
Terima masih karena telah berbagi " perjalanan".
Insya Allah perjalanannya lancar dan berkah. Aamiin.

ada perspektif baru, keren.
"Maksud saya, di area Raudhah yang segini cupetnya, banyak sekali orang yang duduk-duduk dzikiran atau ngaji atau mainan gejet sembari santai bagai di pantai. Padahal di sekitarnya, bejibun orang lain yang ingin dapat sekadar tempat shalat."

Back To Top