Personal Blog

UMRAH (4): KEBIASAAN-KEBIASAAN BURUK DI RESTORAN


Tak ada ceritanya jamaah umrah via travel yang kesulitan urusan makan. Selalu serba muntah-ruah. Mulai nasi, lauk, minuman, salad, buah, hingga roti-rotian. Dijamin, sepulang umrah, berat badan berdansa gemilang.

Saya memang nggak tahu sih ya kalau travelnya yang gimana-gimana lho. Ini semata berdasar pengalaman saya, dalam beberapa tahun ini.

Di Shafwah Tower, misal, begitulah yang terjadi. Limpah-ruang benar makanan-makanan. Begitu tiba jam makan, sehari tiga kali, piring sendok pun berdentingan begitu ritmis memenuhi ruangan restoran yang besar banget ini.

Sayangnya, terdapat beberapa kebiasaan buruk jamaah umrah dalam urusan makan ini. Di antaranya:

Pertama, semua jenis makanan diambil, ditumpuk di mejanya. Padahal nggak dihabisin semua. Mubazir sekali saya lihatnya. Mulai dari nasi, lauk-pauk, belum lagi sayur. Plus roti-roti sepiring, juga salad sepiring. Belum lagi minuman beberapa gelas. Dari air putih sampai juice.

Ujung-ujungnya, nggak dihabisin. Resepsionis akan langsung membuangnya ke tempat sampah saat pemiliknya sudah bangkit dari mejanya. Sayang sekali.

Kedua, colak-colek makanan dengan tangan. Ini menjijikkan! Lauknya disentuh, oh ternyata kambing. Rotinya juga. Oh dari gandum. Lalu buah-buahan digerayangi. Oh ternyata bukan buah-buahan sintetis. Semuanya didemak-demok. Nggak sopan bener.

Ketiga, lelet ngambil makanan. Sebab satu restoran bisa dipakai sekian rombongan travel, wajar saja bila jam makan selalu penuh dan antri. Berderet-deret gitu. Paling sebel kalau antri di belakang orang yang lemot banget ngambil nasi, lalu sayur, lalu lauk, lalu sambal, lalu krupuk, lalu buah, lalu minuman dan seterunya. Timik-timik, tanda nggak bojoable banget. Denger kamu, Dhani… Kata Ayun, kamu mau pergi ya, Dhan, ya udah kusanguin doa aja ya.

Nggak peduli antrean begitu ngular, klemat-kelemit nyantai bagai di pantai.

Keempat, nggak segera menyelesaikan makannya meski banyak orang lain belum kebagian meja makan. Ini juga efek samping dari padatnya jamaah umrah.

Udah tahu banyak yang berdiri bingung nyari meja makan, lha ini ada aja yang ngobrol sambil hahahihi di meja makannya. Kesannya nggak ada empati untuk bersegera bangkit agar yang lain bisa menggunakan meja makannya. Sedih euy lihatnya. Padahal kalau mereka bersegera bangkit, pastilah itu wajah-wajah yang antri meja bakal sangat sumringah. Penuh terima kasih. Pahala dong.

Kelima, ngangkutin makanan ke kamar. Bayangkan, di resto makannya udah segunung, masih nyengkeram juga roti-rotian hingga buah-buahan. Duh, itu mau ditaruh di mana sih ya makanannya?

Yang begini-begini udah kayak memaksimalkan hukum jual beli: jangan sampai rugi sepeser pun!

Mentang-mentang udah membayar ongkos umrah, diembatlah semua jenis makanan sebanyak-banyaknya. Padahal nyampe kamar ya hanya mangkrak gitu juga.

Keenam, sok chef. Segala jenis makanan dikomentarin, diberi caption. Seakan semua orang membutuhkan penjelasannya bahwa nasi kebuli ini sejarahnya dibikin oleh kaum Mongolia kala menyerbu Disnati Abbasiyah *ngawur* teruat dari beras yang dikunyah kambing *ngawur lagi*.

Hambok wes makan ya makan aja, bahkan sekalipun memang tahu risalah sebuah makanan. Nggak ada yang tanya juga lho. Bagaimanapun, begini-beginian ujungnya hanya akan membuhulkan rasa sombong di hati. Ngerasa paling ahli makanan, paling pintar, paling plak!

Ketujuh, pamer pengalaman makan. “Dulu tu ya, saya pas ke Singapura, nginepnya kan di Mandarin Hotel, semalam aja udah 3 jutaan lho, jadi makannya itu sangat….” Hakpret!

Hambok wes, ngapaian juga pamer segala begitu. Ujungnya, jadi songong juga. Celaka lagi, yang dipamerin itu entahlah siapalah, ngerti enggaklah sama kisahnya. Yang penting pamer.

Walah, ujungnya saya jadi serba gedek gini. Dosa nggak sih ya saya nulis beginian? Ya Allah, tolooongggg……

Makkah, 29 Mei 2015
Tag : Traveling
5 Komentar untuk "UMRAH (4): KEBIASAAN-KEBIASAAN BURUK DI RESTORAN"

Beruntunglah saya yang perilaku makannya karena butuh, bukan ingin. Jadi soal makan, ngga akan bikin gedek orang (kecuali ibu yg kuatir saya kurus)
Iya, makan itu enak, tapi saya tidak suka melakukannya.
Dunno ...

Kadang di prasmanan orang kampung juga gitu pak, semua diambilin, tapi gak di makan. Jadi kasian yg punya hajat ngebuang banyak makanan.
:(
Makanya di daerah saya sukanya pada piring terbang kalau hajatan.hehhee

Nggak jauh beda sama kawinan yah. Hehe. Karena udah buwuh ya wajib icip semua. Perkara nggak suka belakangan entar taruh. Kalau aku, sebetulnya sama sih pak kalau mau ya ambil. Porsi makanku juga luar biasa dan selalu bikin bapak sama ibuku ketip-ketip, sejauh ini dalam prasmanan alhamdulillah porsi yang tak ambil nggak pernah sisa. Berani ambil ya berani ngabisin.

Maklum lah, orang gendut permukaannya lebar, input energi juga butuh lebih banyak.

selalu ada ironi dalam hidup. terima kasih sudah berbagi pengalaman

Back To Top