Personal Blog

ADA APA (LAGI) DENGAN ISLAM NUSANTARA?



Oleh Edi AH Iyubenu (kandidat doktor Islamis Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, CEO DIVA Press Group, penjaga gawang Kampus Fiksi dan Basabasi.co)


...studi agama (termasuk di dalamnya studi Islam) akan mengalami kesulitan berat –untuk tidak menyebutnya menderita—jika pandangan-pandangannya tidak menyadari dan tidak mempertimbangkan bagaimana wacana yang berkembang dalam politik, ekonomi, dan budaya berpengaruh terhadap penampilan dan perilaku keagamaan dan begitu juga sebaliknya.
Fazlur Rahman

Saya menerka bahwa merunyaknya sinisme di media sosial belakangan ini terhadap wacana Islam Nusantara (IN), bahkan sampai diakronimkan sebagai JIN (Jemaat Islam Nusantara) yang bernuansa inferior, dipantik oleh riuhnya debat remeh-temeh “langgam Jawa dalam qira’ah Alqur’an” tempo hari itu. Debat-debat wacana keislaman yang pilunya selalu saja berakhir di kanvas haram-mengharamkan dan sesat-menyesatkan. Sebuah pola debat yang sungguh tidak sehat dan produktif, lantaran selalu menyeret hal-hal klaim-eskatologis atas hal-hal yang seyogyanya beranah dinamis-keilmuan.
Sesungguhnya istilah IN yang dinahkodai kawan-kawan Nahdliyyin sama sekali bukan barang baru dalam sejarah panjang studi keislaman kita, apalagi dunia. Kendati istilahnya tidak sama, tetapi spiritnya sama.
Di dunia internasional, kaum akademisi Islam pasti familiar sekali dengan nama Fazlur Rahman, misal. Melalui metodologi “double movement” dan “tematik”-nya, ia mengusung spirit penafsiran hukum Islam yang berbasis pada realitas masa kini, lalu masuk ke masa diturunkannya teks-teks itu guna meraih spirit asbabun nuzul dan asbabul wurud-nya. Hadist tentang “bila kepemimpinan diserahkan kepada kaum perempuan, maka pasti hancur”, misal, asbabul wurud-nya adalah ketika raja Persia meninggal dan digantikan oleh putrinya yang tak cakap. Penafian konteks historis ini tentu saja akan sangat mempengaruhi simpul-simpul penafsiran yang dikail kemudian.
Lalu kita pun karib dengan Mohamed Arkoun yang dikenal luas dengan slogan “korpus terbuka”-nya; bahwa Alqur’an dan hadits merupakan teks terbuka yang harus ditimba terus-menerus penafsirannya tiada henti. Bagai sumur, ia adalah mata air yang akan kian jernih bila terus ditimba.
Jangan lupakan pula sosok Mohammed Abeb al-Jabiri (cendekiawan Maroko) hingga Mohammad Syahrur (cendekiawan Syiria). Al-Jabiri mencetuskan pentingnya ”kritik nalar arab” melalui tiga metodologinya: burhani, bayani, ‘irfani. Sementara Syahrur dikenal dengan metodologi “Teori Batas” sebagai “lapangan sepak bola” penafsiran hukum Islam.
Anda juga bisa menengok Abdullah Saeed yang dikenal luas sebagai penyempurna metodologi Fazlur Rahman dan Jasser Auda yang begitu kritis dengan terma “maqashid al-syar’i”-nya.
Di dalam negeri, kita dikenalkan pada istilah “Fiqh Indonesia” oleh TM hasbi Ash-Shiddiqy. Spiritnya adalah membumikan hukum Islam dengan berdasar pada sumber-sumber primernya (Alqur’an dan hadits) dan fatwa-fatwa ulama salaf dalam kaidah mashlahah mursalah (hal-hal kelokalan/kekinian yang membawa kebaikan). Pendekatan keilmuannya ialah sosio-kultural-historis. Dengan metodologi demikian, maka reinterpretasi yang terus-menerus menjadi keniscayaan sesuai dengan dinamika umat Islam sendiri. Tidak ada istilah stagnasi, jumud, atau taklid buta. Fiqh Indonesia tidaklah harus sama dengan fiqh imporan Madinah, Syiria, Irak, Mesir, dan lain-lainnya, sebab khazanah mursalah keindonesiaan memiliki kekhasannya sendiri, kendati dalam proses interpretasinya tentu saja tidak akan menafikan khazanah fiqh salaf yang telah ada.
Kita pun mengenal sosok Mukti Ali dan Harun Nasution. “Islam Rasional”, misal, menjadi istilah yang dipilih Harun Nasution untuk mengusung spirit yang sama. Bahwa rasionalisasi atas teks-teks primer Islam dan warisan kitab salaf harus selalu ditempuh demi mendinamisasikan hukum Islam  itu sendiri.
Tentu, jangan abaikan pula kiprah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengusung istilah “Pribumisasi Islam”. Anda juga bisa membaca Munawir Sjadzali hingga Kuntowijoyo dengan Islam Profetik-nya.
Di luar mereka, mari sebut pula nama Quraish Shihab dengan karyanya yang monumental, Membumikan Alqur’an. Lalu ada Nurcholish Madjid yang sangat progresif dengan gebrakan “sekularisasinya” (bedakan sekularisasi dengan sekularisme) dan “Islam Kontekstual”-nya.
Terakhir, tanpa bermaksud menafikan sosok-sosok cendekiawan terkemuka lainnya macam Azyumardi Azra, Faisal Ismail, hingga Komaruddin Hidayat), sebutlah nama Amien Abdullah yang dikenal luas dengan gagasan “Integrasi-Interkoneksi”-nya alias “Jaring Laba-laba”.
Secara spirit keilmuan, dapat disimpulkan bahwa semua ilmuwan muslim terkemuka itu (dalam dan luar negeri) mengusung wacana dinamisasi hukum Islam. Fiqh harus bergerak sedinamis gerakan realitas umat Islam sendiri, sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian yang melingkupi kehidupannya, agar Islam selalu shalih likulli zaman wa makan, yang dengannya akan memancarkan karakter rahmatan lil-‘alamin.
Terma-terma beginian sungguh telah amat sangat populer sejak dulu kala. Maka, jika kini cetusan IN lalu dicurigai dengan sangat tendensius, bahkan inferior, tentu saja ini cukup menghentak batin dan mengerutkan kening.
Muncullah pertanyaan cemas di kepala: Segegabah itukah kita mendahulukan curiga atas segala wacana yang mengatasnamakan Islam? Seawam itukah kita untuk sekadar memahami bahwa teks-teks Alqur’an dan hadits yang mabny, tak pernah bertambah, sementara di sisi lain realitas umat Islam terus bergerak cepat, secara alamiah meniscayakan tafsir-tafsir baru secara terus-menerus? Sefanatik itukah kita untuk selalu mengkopi wajah Islam Indonesia pada bangsa Arab dan Timur Tengah? Seserius itukah kita merendahkan diri dengan selalu memberhalakan khazanah Arab sebagai “Kebenaran Islam”, sehingga seluruh wilayah muslim yang non-Arab harus menyesuaikan diri dengannya agar bisa dinyatakan benar pula?
Saya sodorkan beberapa sampel kasuistik atas dilemanya fiqh bila harus dikopikan mutlak kepada wajah Arab.
Hukum potong tangan bagi pencuri. Di Saudi Arabia, hukum sesuai teks Alqur’an itu diberlakukan hingga kini. Di kita, yang hukum positifnya hanya mengenal penjara sebagai eksekusi pidana pencurian, apakah lantas akan disebut tidak Islami?
Mari tengok pendapat Abdullah Saeed. Beliau menafsirkan ayat potong tangan itu secara analogis dengan penjara yang “memotong” jangkauan tangan pencuri untuk mengulangi perbuatannya. Kekangan penjara secara fungsional setara dengan potong tangan itu sendiri, yang orientasi syar’i-nya adalah untuk mencapai hifdzul mal. Sampai di sini, hukuman penjara kepada pencuri sudah cukup Islaminya. Bahwa ada pencuri yang begitu keluar penjara mencuri lagi, di Arab pun banyak pencuri yang telah dipotong tangannya tetapi kembali mencuri.
Memukul istri yang nusyus. Di kita, hukum positifnya masuk ke ranah KDRT bila ada suami yang menggebuki istrinya dengan alasan apa pun. Esensi hukum dari ayat nusyus itu sama sekali bukanlah pada superioritas suami untuk sah memukuli istri, tetapi memberi pembelajaran agar tidak kembali nusyus. Pada puncaknya, bila pembelajaran-pembelajaran yang hierarkis itu tidak juga berhasil (Anda bisa lihat sendiri urutan pembelajarannya), suami diberi pilihan rasional untuk menceraikannya, bukan menyakiti tubuhnya.
Berjabat tangan dengan non muhrim. Di Arab, dengan berdasar teks hadist musafahah, hal demikian diharamkan. Di kita, yang karakter kulturalnya seringkali tidak memungkinkan menghindarinya, nilai maqashid syar’i-nya bukan terletak pada praktik fisik musafahah atau tidak, pakai sarung tangan atau tidak, tetapi perinmtah memampukan diri memelihara syahwat dalam musafahah yang tak terhindarkan.
Khilafah. Di kita, yang plural, jelas tidak memungkinkan memformat sistem politik khilafah. Ayat-ayat tentang politik Islam pun sama sekali tidak secara tekstual meletakkan kewajiban menegakkan khilafah itu, melainkan sebatas memberikan tekanan pada praktik syura, ‘adalah, musawah, dan ukhuwah. Sepanjang prinsip-prinsip egaliter itu tercapai, maka ia sudah sesuai dengan prinsip politik Islam.
Mudharabah. Di sini, amatlah musykil untuk menerapkan prinsip ini ke dalam dunia ekonomi yang bergerak cepat. Perbankan, misal, bahkan sebutlah yang menggunakan label Islam macam BMT dan Bank Syari’ah, bagaimana mungkin mereka menerapkan sejarah teknis mudharabah di masa silam?
Teramat banyak contoh kasusistik fiqh yang bisa didedahkan di sini untuk memperpanjang tulisan ini. Tetapi, pada prinsipnya, saya hendak mengulangi saja argumen alamiah, ilmiah, dan rasional para cendekiawan muslim pendahulu kita, bahwa Alqur’an dan hadits justru akan kehilangan relevansinya, aktualitasnya, kontekstualitasnya, dan watak rahmatan lil-‘alamin-nya, bila terus dikekang untuk taklid pada khazanah fiqh Arab dan Timur Tengah, serta warisan masa lalu, atas nama apa pun. Persoalan religius dan sosial akan meruah begitu rebaknya bila Islam gagal menampilkan wajah-wajah aktualitasnya sebagai buah tafsir yang mengakomodasinya.
Akhirnya, saya kutip Amin Abdullah sebagai penutup tulisan ini, bahwa relasi dialogis-integratif antara dimensi normativitas (Alqur’an dan hadits) dan historisitas (khazanah fiqh salaf dan hal-hal baru) Islam itu layaknya sebuah mata uang, yang satu sisi dengan sisi lainnya berbeda, tetapi tidak bisa dipisahkan. Memisahkan keduanya hanya akan menjadikan kita ahistoris dan bagai hidup di Abad Pertengahan.
Di sinilah posisi Islam Nusantara berada. Tidak ada yang perlu diisaukan, apalagi dituding berbahaya darinya, sebab ia adalah keniscayaan ruang dan waktu belaka, yang akan menghantar Islam selalu menjadi rahmatan lil-‘alamin.
Jogja, 26 Juni 2015
1 Komentar untuk "ADA APA (LAGI) DENGAN ISLAM NUSANTARA?"

Back To Top