Personal Blog

KIMI, CEPAT SEHAT, NAK….







Benar memang, tahu lebih baik daripada tidak tahu, meski ia tidaklah lebih baik daripada mengalami. Di dasar sekali, yang paling buruk, ialah pura-pura tak tahu. Sekadar berbicara atau menatap mata orang yang berpura-pura tak tahu jelas lebih sulit daripada terjebak di sebuah toilet umum yang tak ada airnya yang dari dalamnya baru saja seorang gadis cantik keluar dengan wajah setengah merunduk melintasi kita yang berdiri menahan mulas di depan pintu.
Aku sungguh-sungguh kerap berdoa agar Tuhan berkenan menyelamatkan hidupku dari manusia-manusia yang ahli berpura-pura tak tahu. Maksudku, bila Tuhan tak mengabulkan doa itu, aku sama sekali tak memiliki literatur yang bisa dijadikan alasan untuk tidak menonjoknya. Pikiranku sederhana sekali, tonjokan di muka barangkali lebih ia butuhkan untuk menolong saraf-saraf otaknya tersambung kembali daripada sederet khutbah tentang betapa buruknya menjadi munafik.
Baiklah, sebenarnya aku hendak berkisah tentang kucing. Bukan seekor, tapi sesosok. Bagiku, tanpa bermaksud meniru George Orwell, kucing lebih sering lebih manusiawi dibanding manusia. Kucing adalah makhluk religius, spiritualis.
Kau terbahak? Aku tidak. Bagaimana mungkin aku bisa mentertawakan sesosok makhluk Tuhan yang tak pernah berdusta, menuding, memaki, memaksa, menghujat, dan mengkafirkan sesama atas nama Tuhan?
Pikirkan, Kau!
Kucing adalah makhluk-Nya, manusia adalah makhluk-Nya. Kau boleh girang karena Tuhan pilih kasih dengan memberi Kau akal dan tidak pada kucing. Tapi, akal macam apakah gerangan yang bercokol di batok kepala bila isinya hanyalah serapah dan nistaan?
Kucing tak memiliki akal, tetapi Tuhan memberinya hati. Mana lebih unggul akal dan hati?
Jelas hati. Banyak betul manusia cerdik pandai dengan gelar berderet dan koleksi buku berbanjar, tapi maling juga. Abah yang telah berjumpa ibu di surga, dulu, pernah berkata di telepon dengan suara keras, “Jika hanya ingin jadi pedagang ayam, kau tak perlu kuliah jauh-jauh ke Jogja!” Aku gagal untuk tak menggubah amarah abah jadi: “Jika hanya ingin jadi maling, kau tak perlu punya akal yang cerdik pandai!”
Matinya mata air hati di hadapan akal yang cerdik pandai merupakan bencana yang lebih mengerikan dibanding prahara apa pun. Kucing tak pernah bermasalah dengan bencana akal. Perkara jernih hati, kucing selalu merawatnya. Manusia tak selalu, bukan?
Jika kucing sampai mencuri makananmu, itu bukan karena ia jahat, melainkan akibat kejahatanmu menyiksanya dengan lapar tak tertanggungkan. Kucing tak pernah jahat, sebab kucing memiliki hati dan selalu menggunakannya; menusia kerap jahat, meski memiliki hati tetapi jarang menggunakannya. Memiliki hati dan menggunakannya, memang tidaklah sama, kata Jostein Gaarder.
Sayang kucing tak sebesar singa, sehingga kau gampang sekali menendangnya. Kuingatkan, tak peduli lelaki dan perempuan, para penendang kucing adalah penjahat yang pura-pura tak tahu ia telah melakukan kejahatan. Bukankah itu sangat bedebah?
Belum setahun aku mencintai kucing-kucing. Jelang Ramadhan 2015, kucing kecil itu masuk ke dalam rumah, meliut-liut di betisku. Kukeluarkan ia dari dalam rumah, kulepas di depan pagar. Ia meratap!
Apa hatimu mendengar ratapannya? Merasakan rintihannya? Ratapan dan rintihan anak kecil yang kelaparan karena ditinggal mati ayah dan ibunya yang dipukuli penjahat yang pura-pura tak tahu bahwa ia penjahat.
Oh, God! Aku tiba-tiba malu pada kekejamanku mengusirnya. Kujamah ia, kubawa kembali ke dalam rumah, lalu kukatakan pada semua penghuni rumah, mulai sekarang ia adalah anakku. Anak kita. Saudara semua kita. Semua penghuni rumah mendengarkanku, bukan karena gentar pada diktator, tetapi sebab aku seorang imam.
Kunamai ia Kumon. Ia tumbuh sehat, segar, bahagia –semoga kenangan getir masa kecilnya tentang pelukan hangat ayah dan ibunya tak lagi mengusik bilik-bilik ingatan dan lelap-lelapnya. Sesekali, kubawa ia ke dokter. Sesekali lain, kubawa ia salon untuk memanjakan diri.
Jika kujumpai ia menangis, kuseka air matanya dengan jemariku. Kuersihkan bekas air mata di pojok matanya. Dengan jemariku. Kuelus kepalanya. Dengan jemariku. Bukan kakiku –lelaki atau perempuan yang mengelus kucing dengan kakinya sama busuknya dengan seorang penipu yang gemar melafalkan subhanallah di hadapan calon korbannya.
Jika aku pergi sampai dini hari, dialah yang pertama kali menyambutku begitu pintu garasi kukuak dari luar. Ia minggir merapat ke tembok garasi, memperhatikanku memarkir mobil, menungguku, dan begitu aku turun, ia menguntiti langkahku. Ke manapun!
Sampai kuberi ia makanan yang kusimpan hanya untuknya di kulkas. Lalu ia beranjak tidur. Di dekatku. Berbulan-bulan.
Jika aku bepergian ke luar kota, di kala longgar, kuperhatikan foto-fotonya yang berderet di HP-ku. Aku merindukanmu, Nak.
Sekira tiga bulan lalu, kucing kecil lain masuk ke dalam rumah. Warnanya putih, berkelir sedikit hitam. Matanya besar. Mirip kukang. Tubuhnya ringkih. Selalu saja, selalu saja, kucing-kucing tak bertuan hidup serba kelaparan. Agamaku mengajarkan bahwa memberi makan orang lapar merupakan perbuatan mulia. Kepada pemberi makan kucing yang lapar, Tuhan niscaya menghadiahkan kemuliaan yang sama. Tidaklah mungkin Tuhan menciptakan makhluk apa pun untuk dianiaya-Nya, kan?
Kuberi nama ia Kimi. Entah, tak begitu jelas alasannya mengapa saya gemar sekali menggunakan huruf “k” dalam hidup saya. Kumon. Kimi. Kampret. Krecek. Dan sebagainya. “K” bukan hal penting memang, tetapi aku menyenanginya begitu saja, tanpa alasan. Mungkin, meniru Albert Camus, inilah caraku memberontaki sesuatu dengan berlandaskan perasaan –toh, alasan tak pernah dibutuhkan untuk dipaksa menjelaskan hal-hal yang akan tetap mempesona bila tak dideraikan. Dalam hidup, hal-hal demikian teramat banyak sekali –cuma kita saja yang pongah sekali berberahi menarasikan segalanya, termasuk Tuhan yang seyogianya cukup dipercayai.
Kimi yang lapar terlihat selalu bersemangat makan. Porsinya besar. Untung, Kumon selalu mengalah. Jika makanan tak dipisah, Kumon membiarkan Kimi makan duluan dengan lahap, lalu ia menghabiskan sisanya. Jika tak ada sisa, Kumon hanya memandang Kimi dengan mata datar. Tidak ada sedikit pun percik Ketika Api Bekerja. Kumon benar-benar merawat hatinya. Adakah manusia yang pengalah macam Kumon?
Suatu pagi, aku terhenyak menyaksikan Kimi buang air di atas sajadah. Amarah meledak. Tanpa ampun, kucengkeram Kimi, kumasukkan keranjang. Ia mengerang-erang, seperti isyarat minta maaf. Tapi tiada maaf untuk Kimi. Pikiranku cuma satu: betapa sia-sianya shalatku jika ternyata sajadahku najis oleh ulah Kimi.
Kuminta seseorang membawa Kimi ke pasar yang tak begitu jauh dari rumah, melepaskannya di sana. Kata seseorang itu di sore harinya saat kujumpai, “Kimi mengeong-ngeong, menatap saya, membelit-belitkan tubuhnya ke kaki saya. Saat saya naik ke motor, matanya menatap saya sambil terus mengeong. Kimi berlari-lari mengejar saya sampai hilang di kelokan....”
Malamnya aku menangis! Semalaman aku tak bisa tidur. Kimi datang dalam mimpiku. Kejamnya aku! Dini hari, kupergi ke pasar untuk mencarinya. Sepi, pasar ini seperti Misteri Kota Ningi.
Kimi, Kimi, ke mana kamu, Nak? Kimi, Kimi....
Ke sana-sini kuaduk pasar kecil itu. Ke bawah meja, kursi, sudut gerobak, dan sebagainya. Kimi tak ada. Matanya yang besar begitu terang menyala di batinku. Tubuhnya yang kecil terbayang kedinginan menggigil di kelopak mataku. Entah ia meringkuk di sudut mana. Aku pun pulang dengan sesal mencabik-cabik jiwa. Beberapa pasang mata menatapku dengan penuh ganjil. Mencemaskan keberadaan kucing rupanya dianggap keganjilan tak waras bagi kebanyakan manusia.
Besoknya, kuminta seseorang yang kemarin melepaskan Kimi di pasar untuk mencarinya lagi. Kisahnya kemudian, berjam-jam ia mengelilingi pasar itu. Ke semua sisi dan sudutnya. Kimi tak ada!
Aku mengutuki kekejamanku. Amarah ternyata benar-benar berhasil membuatku kehilangan akal sehat dan hati nurani. Anugerah terbaik Tuhan ternyata gampang sekali dihempaskan oleh sekadar kotoran yang bisa dibersihkan. Sumir benar memang batas manusia dan binatang bila murka mendera.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi selain mendoakan Kimi dirawat seseorang yang berhati baik. Hingga pada saat saya sedang di Jakarta, di waktu sekelompok orang mengacaukan Jakarta dengan bom atas nama Tuhan –see, are they human or devil?—sebuah pesan singkat masuk ke HP-ku.
Foto Kimi!
“Ya Allah, itu beneran Kimi?” pekikku di telepon.
“Iya. Dia balik sendiri....”
“Ya Allah!”
“Dia kurus sekali....”
“Ya Allah!”
“Dia masuk sendiri ke dalam rumah, lalu ke dapur, tempat biasa Ayah memberinya makan.”
“Ya Allah!”
Aku benar-benar ingin segera pulang untuk memeluk Kimi dan meminta maaf padanya. Begitu aku kembali ke rumah, kutatap Kimi dalam-dalam. Ia sedikit berubah. Agak besar. Tapi kurus sekali. Makannya benar-benar lahap. Sangat lahap. Isyarat ia mengarungi kepalang kelaparan selama ini.
Siang malam Kimi dan Kumon jadi penghuni rumah ini –bersama penghuni-penghuni lainnya. Bila makan malam tiba, sering sekali Kimi dan Kumon kubagi makanan yang kami makan. Pakai piring. Tidak di lantai, apalagi tanah. Memperlalukan anggota keluarga dengan pembedaan-pembedaan, sekecil apa pun, sama sekali bukanlah perilaku yang bisa disahihkan akal sehat dan hati nurani.
Sejak tiga hari lalu, Kimi sakit. Mula-mula, mata kirinya kelilipan. Lalu memerah, membengkak. Kubelikan ia Visine, lalu kuteteskan pelan ke matanya. Ia mengerjap-ngerjap, menahan perih. Hari berikutnya badannya demam. Tak mau makan sama sekali. Seharian hanya meringkuk di kasur, di kamar. Kadang pindah ke sofa di depan tivi.
Ada apa denganmu, Nak?
Pagi tadi, kubelikan ia dua butir telor ayam kampung. Kuambil kuningnya, kucampur madu, lalu kusuapkan ke mulutnya yang kecil mengerang. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin terasa pahit di lidah.
Kamu harus makan, Kimi, agar segera sehat.
Dari pagi, siang, dan malam, kusuapi Kimi dengan hati-hati. Sudah dua kali aku berganti sarung karena kecipratan racikan telor madu yang disembur-semburkan Kimi dari mulutnya. Tak apalah, sarung bisa dicuci, kesehatan Kimi tak bisa diganti.
Beberapa kali kuintip Kimi yang lelap meringkuk. Tulang-tulang rusuknya kentara mencuat. Ia benar-benar sakit. Badannya kurus kembali. Kusentuh perutnya yang panas. Bergerak-gerak ritmis menguntit tarikan napasnya. Sungguh cemas hatiku setiap melihatnya tak bergerak. Tak boleh terjadi hal-hal lebih buruk pada Kimi.
Kamu harus kuat, Kimi, harus segera sehat. Jangan buat aku ketar-ketir, deg-degan, dengan berkali-kali mengecek ritmis napasmu. Kamu harus segera sehat, Kimi, seplastik Whiskas kesukaanmu sudah kusiapkan sejak tadi siang.
Jogja, 5 Pebruari 2016



Tag : Kucing
5 Komentar untuk "KIMI, CEPAT SEHAT, NAK…."

Pak... aku nangis ini bacanya... Kimi... cepat sembuh yaa... segera bawa ke dokter pak.
Mungkin ketika dia menuju rumah Pak Edi dia tertabrak luka dalam.atau gimanaaa...
Kurasa... Kimi pasti sudah memaafkan Pak Edi. Kalau tidak, dia tidak akan kembali ke rumah kan? Dan kurasa dia paham, dia pernah salah...
Cepat sembuh Kimi...

Terharu bacanya, Pak. Kucing seringkali "kepalang tanggung" sayang sama orang yang "menyelamatkannya". Jadi dibuang juga, dia berusaha untuk pulang.

Cepet sembuh, Kimi.

Dari awal saya udah curiga; jangan-jangan Pak Edi satu spesies sama saya. Dan bener..... kucing itu bikin hati lemah, Pak. Liat mereka menatap sambil kriyep-kriyep berpotensi bikin hati trenyuh dan pingin ngusel-ngusel😔

Kimi, cepat sembuh. Kamu pasti kuat

Sedih sekali bacanya,,,
kimi,,, cepat sembuh yaaa,,

Back To Top