Personal Blog

PEYERU TOLERAN YANG SEKALIGUS INTOLERAN



Saya selalu pesimis pada segala pekik “toleran, toleran, toleran”. Mau yang berbaju metodologi HAM, dinamika kekinian, hingga penggalian ulang khazanah teks (sebutlah dalil). Apa pasal?
Cuma satu: penyeru toleran di waktu yang sama adalah intoleran.
Coba cek sekarang dengan pikiran tenang usai makan mendoan: setiap penyeru toleran di detik yang sama menciptakan negasi pada paham, faksi, dan komunitas yang diklaim intoleran. Melahirkan under estimate! Mencetak diskriminasi. Pada tataran watak ini saja, apa bedanya mereka dengan yang mereka tuding? Lalu, apanya yang perlu diubah lha wong sama saja ambisi dan kelakuannya?
Jika masih demen onani, jangan menuding orang kelainan jiwa karena beronani. Podho wae, Bro…
Mari sebutlah seseorang atau sebuah komunitas yang mengaku intelektual (padahal ngehek –lha ini pun saya sudah bernegasi, lho) sedang melancarkan kritik tajam soal kesetaraan gender. Mereka boleh saja mengutip Simone de Beaurier hingga Julia Kristeva dan Fatima Mernissi untuk meneguhkan analisisnya segagah mendoan yang baru dientas dari wajan, yang intinya adalah: jangan sebut wanita karena itu diskriminatif, ubahlah jadi perempuan; harus dihilangkan relasi atas-bawah antar suami-istri (hei, kalau kamu udah menikah atau demen berzina pasti tahu bahwa posisi atas-bawah itu sangat ideal dibanding gaya doggy atau women on top, mehee…); dan harus diubah penafsiran “ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’”.
Oke, saya tidak sedang dalam posisi hendak mendiskusikan bagaimana pandangan kekinian Mernissi yang sampai pada kesimpulan bahwa kaum perempuan boleh menjadi imam shalat Jum’at. Tidak. Itu faksyid, lah, buat saya. Wattefak, lah.
Saya hanya sedang ingin menekankan pada betapa abu-abunya, untuk tak disebut high-quality-conthong belaka, pekik toleran yang digaung-gaungkan lantaran di derajat yang sama mereka adalah pelaku intoleran. Sama aja!
Bukankah ketika Anda memekik-mekik bagai mendoan kedinginan bahwa suami yang meminta istrinya menjadi ibu rumah tangga saja, tidak berkarir, mengurus suami dan anak-anak saja, adalah suami pemuja patriarki yang harus dilawan, lelaki subordinatif, diskriminatif, pejoratif, sontak Anda menempatkan mereka sebagai pemandang negatif pada praktik rumah tangga demikian, ya? Seolah suami demikian sangatlah barbar, primitif, dan para wanita harus bersatu untuk mencampakkannya? Inikah HAM yang Anda puja? Inikah langgam toleransi yang Anda sembah –dengan menyampah-nyampahkan orang lain yang persis manusianya dengan Anda?
Ndasmu!
Apa yang kamu ketahui tentang relasi intensif keseharian yang sangat kompleks antara suami dan istri di rumah saya, rumah si A, si B, dan hingga si Z, misal? Ironisnya lagi, jebul kamu nggak pernah tahu asasi pernikahan lantaran kamu belum menikah dan semata memposisikan diri bagai pengamat pernikahan yang sok tahu tentang kompleksitas sebuah rumah tangga.
Sumpah, kamu celaka benar bila berani ngejudge negatif isi rumah orang, lalu mengangkut teori antah berantah yang niscaya tak lahir dari ruang kosong, alias banyak tendensi dan maksud politis historisnya, kemudian menyatakan itu tidak manusiawi, tidak toleran, tidak positif, tidak sesuai dengan watak Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Onanimu sudah terlampau kebangeten! Nikah aja enggak, kok sok tahu tentang jagat pernikahan yang ideal, manusiawi, bahkan Islami: haruslah sejalur dengan pandangan feminisme romantik ala Prancis yang you-know-lah nggak serta merta cocok dengan khazanah kekitaan. Prancis bukanlah Purwokerto, lho; Betty Freidan bukanlah Erin Cipta atau Jamilah al-Kasuri, lho; dan Spagehtti bukanlah mendoan, lho –lha kok hendak dipaksa sama atas nama HAM, keadilan, dan kemanusiaan? Rakyo itu hanya lahir dari pikiran kucluk belaka, mbok….
Kasus sejenis ini sangat bisa ditularkan pada tema-tema lainnya, mulai agama, politik, dan sosial-budaya. Muaranya kemudian akan selalu sama: ngejudge negatif pada tradisi, langgam, divonis ketinggalan, tidak manusia, dan berlawanan dengan HAM.
Jika memang spirit Anda adalah dinamisasi pandangan dan praktik hidup masyarakat, untuk kemajuan dan kebaikan, seyogianya harus dipastikan di dalamnya tak pernah ada upaya penyerahaman dan negasi, tapi simbiosis-mutualis. Muhallah khazanah lama bullshit semua, tetapi juga musykillah ia tak berdinamika adaptif secara kekinian dan kekitaan yang amat kompleks. Mustahillah yang kebaratan dan kekinian adiluhung semua, relevan dengan spirit hidup kita, khazanah leluhur kita, sebab di dalamnya pula berjubel pula faksyid-faksyid yang bila ditelan mentah hanya akan memantik negasi maha intoleran.
Ingat, lho, pada setiap negasi terkandung diskriminasi dan subordinasi, apa pun alasanmu, teorimu, argumenmu. Setiap negasi otomatis adalah melanggar HAM. Dan negasi yang dilancarkan oleh para ahli nyocot sungguhlah jauh lebih banal dibanding negasi yang diusung orang fakir celoteh.
Apa pun definisi dan konstelasi HAM yang Anda dapuk, di detik yang sama Anda harus legawa untuk memaklumi bahwa ada berbanjar-banjar definisi dan konsetelasi HAM lain yang sama-sama based on kemanusiaan. Sesederhana itu aslinya, namun sangatlah sulit realisasinya. Jika untuk sekadar memahami keragaman beginian saja Anda gagal, bagaimana mungkin Anda jemawa menepuk dada sebagai sepenuhnya pembela keadilan dan kemanusiaan?
Lebih baik merenung dulu saja seusai beol, bahwa tugas Anda berikutnya adalah cawik, lalu menyiram jamban, pakai celana, baru keluar. Jangan dibalik. Agar tak nggilani. Lebih baik Anda bertangguh hati dulu untuk mengerti bahwa perbedaan adalah asali kehidupan ini. Jangan dibalik, hendak mengubah keadaan tetapi tidak memaklumi asali perbedaan sejak dari pikiran dan kemudian perilaku.
Akan lebih baik, ketimbang kamu mikir ndakik-ndakik tentang toleransi padahal jadi intoleran sendiri, menikah sajalah segera. Itu afdhal, ahsan, sangat potensil menenteramkan hidupmu, membuatmu mengerti bahwa menjadi istri, hamil, melahirkan, dan mengasuh anak menisbatkan kebahagiaan tak terbahasakan yang akan membuatmu tak nyinyiran lagi.
Eman-eman lho bila tenagamu terus dihambur-hamburkan begitu rupa sampai lalai mafhum bahwa berdandan merupakan salah satu cara efektif untuk mendapatkan jodoh. Tidak dandan, berat jodoh. Berat jodoh, a lot lah segala yang ada padamu.
Salam mendoan….
Purwokerto, 2 September 2016
1 Komentar untuk "PEYERU TOLERAN YANG SEKALIGUS INTOLERAN "

tulisan bos Edi memang selalu mantap!!! joss

Back To Top