Personal Blog

SI PINTAR YANG BODOH BUKANLAH MENDOAN





Sekemplut apa pun Marc Marquez memanggungkan aksi-aksi super berbahaya di lintasan MotoGP dan semembosankan apa pun style ngibritan Jorge Lorenzo dan Dani Pedrosa, langka sekali manusia yang sudi menahbiskan dirinya “si bodoh”.
Anda tahu mendoan? Sebuah gorengan bergenre tempe dengan subkon setengah matang, yang tentu saja derajatnya tidaklah lebih luhur ketimbang losyen dan tissue basah yang amat setia menemanimu meregang berahi. Bila label “mendoan” disematkan pada seorang pengarang, jomblo pula, misal, dengan kelakar, “Novelmu bergenre baru, lho, genre mendoan.”, saking bosannya kita sama ide-ide ceritanya yang wesngunukuilah,  ia amat potensial marah.
Pada satu titik, kemarahannya bisa dimafhumi. Ia sebagai manusia tentu tak pernah sudi (sebagaimana semua manusia, termasuk saya dan Anda) dimendoankan, apalagi dipejretkan. Itu sebuah pelecehan, pembodohan. Lalu fatwa-fatwa airf bahwa manusia bukanlah mendoan, bukanlah pejret, tergenderangkan sebagai pembelaan dan argumentasi. Tetapi, jika dibalik sudut pandangnya, justru pada mendoan lah tersemat kecerdasan dan sederet lambang tinggi pencapaian hidup manusia. Pada kebodohan terjunjung kecerdasan.
Ternyata, batas ari antara marah dan nerimanya ia, pertamanya, tergantung hanya pada kepalang tipisnya batas cerdas dan bodoh. Berikutnya, kemampuannya merayakan kebodohan sebagai kecerdasan dan kecerdasan sebagai kebodohan sekaligus.
Mumet?
Oh maaf, saya lupa, Anda kan mendoan, ya, pejret!
Baiklah, mari berpikir secara mendoan saja. Anggap saja Anda sedang pedekate pada seorang gadis. Entah perawan atau tidak, sebab hari ini nilai keperawanan kepalang tegak sambung sama nilai memenuhi janji yang tak lebih berharga dari kentut. Tentu, Anda sedang jatuh cinta. Anda ingin selalu bertemu, berkirim WA. Pada suatu malam yang anyep, WA Anda tak berbalas sekian jam. Anda hanya dikawani losyen dan tissue basah yang berantakan. Di detik-detik menyebalkan itu, Anda telah melesatkan pikiran ke sana-sana: WA saja nggak dibalas, bagaimana mungkin ia nantinya bisa perhatian sepenuh-penuhnya padaku? Jangan-jangan dia sedang chat sama lelaki lain? Jangan-jangan cerpenis Solo yang terkenal dengan julukan Pangeran Bersempak Ungu itu, yang kerap komen-komenan di Fesbuk itu, sedang mentraktirnya makan nasi liwet di tepian Slamet Riyadi, ya? Afu!
Isi sana-sana di kepala Anda memanggungkan kecewa, sebal, dan benci. Di waktu yang sama, Anda mencintainya, mengejarnya –persis kegigihan Trijoko menjalin kasih dengan kekasih gelapnya yang bernama Sundari lantaran selalu ingat pada ketekunan Sundari membelikan sempak-sempak idolanya yang pada setiap bungkusnya berhadiah foto Selly Marcelina dan Cok Simbara. Namun di detik yang sama pula, Anda sebal dan benci padanya. Tengok, betapa sumirnya jeda cinta dan benci, bukan? Begitulah khittah kita sebagai manusia. Yang tidak demikian, pastilah hanya malaikat atau setan. Manusia justru menjadi sempurna kemanusiaannya berkat lekatnya ia dengan kesumiran-kesumiran.
Begitu pulalah sejatinya relasi cerdas dan bodoh pada diri kita, Mendoan. Tidak ada hikayatnya orang yang cerdas tanpa bodoh, sebab cerdas hanya akan dikenal berkat jasa kebodohan. Kebodohan sungguh selalu berjasa besar pada pencapaian kecerdasan apa pun.
Jika kini Anda sedang membaca sebuah buku, sebutlah Jazz, Sempak, dan Ngeloco karya duet Gunawan Tri Atmodjo dan Afthonul Afif, lalu Anda tak berhasil mengail secuil pun kecerdasan di dalamnya, itu tanda bahwa asalinya Anda mutlak kepalang mendoan. Amatlah muhal Anda tak tahu bahwa Anda tak tahu segalanya. Pada singgungan ini, jika Anda menuai kebalikannya, Anda adalah si bodoh yang pintar. Keduanya sungguhlah selalu intim berpelukan, bukan?
Tentu akan menggelakkan situasinya bila Anda absen mengerti betapa Anda asalinya bodoh, lantaran Anda selalu menahbiskan diri pintar, cerdas, serba tahu, bagai Wikipedia. Pada tipikal manusia mendoan beginilah kebutaan untuk melihat kebodohan menjadi pemicu radikalisme dan ekstremisme. Di fesbuk, Anda bisa menengok wajah-wajah satire mereka. Posturnya, bisa diterka, kebodohan dirayakan sedemikian bangga, sampai pada level yang tak lagi sanggup membedakan seksinya sapi yang telanjang dengan Bella Sophie yang menelanjangi keterbatasan moralnya.
Maka bersyukurlah menjadi orang bodoh. Itu adalah isyarat teralamiah dari semesta bahwa Anda bukanlah mendoan, bukanlah pejret.
Jogja, 7 September 2016
0 Komentar untuk "SI PINTAR YANG BODOH BUKANLAH MENDOAN"

Back To Top