Kebenaran dalam pandanganku
mengandung satu kesalahan dalam pandangan orang
lain.
Kebenaran dalam pandangan orang lain
mengandung satu kesalahan dalam pandanganku.
Imam Syafi’i
Andai dalam tradisi sepakbola Eropa mengenal sumpah pocong, boleh jadi
dulu akan digelar ritual hidup-mati itu antara Patrice Evra dan Luis
Suarez untuk membuktikan siapa yang
benar dalam perkara rasisme yang kian menyalakan tensi rivalitas Manchester
United dan Liverpool. Tapi, orang Eropa tak kenal tradisi itu, Suarez pun dihukum
larangan tampil delapan pertandingan plus denda 40.000 Poundsterling. Setara
Rp. 559.000.000., duit semua tentu.
Pun umpama Eropa mengenal tradisi mubahalah, boleh jadi salah
satu antara Evra atau Suarez akan terkena azab Allah. Tapi, lagi-lagi karena
tradisi sumpah hidup-mati ala Arab itu tak dikenal orang Eropa, mubahalah
tak pernah digelar.
Secara substantif, makna ritual sumpah pocong dan mubahalah
sejajar saja. Semata karena mubahalah bersumber dari jagat Arab, lantas ia
teridentikkan sebagai budaya Islam. Bahkan gampangnya disebut-sebut sebagai sumpah
Islami. Sebaliknya, sumpah pocong tidak, kendati dalam praktiknya juga
melibatkan narasi-narasi yang bernuansa Islami. Yang pasti, keduanya, bagi
sebagian kalangan, disakralkan sebagai “solusi akhir” bagi suatu perselisihan,
ontran-ontran. Memulangkan penyelesaian suatu masalah pada Kekuasaan Allah: biarlah
si benar selamat, biarlah si salah celaka.
Maka mafhumilah bila di dalam al-Qur’an tak ada satu pun ayat yang
mengajarkan mubahalah. Kalaupun “dipaksakan” mencari rujukannya, paling
relevan secara analogis (qiyashi) ialah surat an-Nuur ayat 6-10.
Lima ayat tersebut pada intinya menuturkan tentang hak setara antara
suami dan istri untuk mendapatkan perlindungan atas marwahnya sebagai manusia
bersih. Jika seorang suami menuduh istrinya berzina, wajib baginya untuk mendatangkan
empat orang saksi lelaki yang melihat langsung peristiwa itu dengan jelas. Menyaksikan
dengan mata kepala sendiri proses “masuknya benang ke lubang jarum” atau
“masuknya jari telunjuk ke lubang hidung”. Jika tidak bisa menghadirkan empat
saksi, wajib baginya untuk bersumpah atas nama Allah sebanyak empat kali, lalu
dipungkasi dengan sumpah atas nama Allah lagi (sumpah kelima) bahwa azab Allah
akan rela diterimanya bila ia berdusta. Jika lima sumpah itu telah dilakukan,
maka (diandaikan) suami itu benar dan istri itu salah.
Namun, istri juga punya hak yang sama untuk bersumpah empat kali atas
nama Allah, dan diakhiri dengan satu sumpah atas nama Allah bahwa ia tidak
melakukan tudingan tersebut. Bila lima sumpah atas nama Allah itu telah
dilakukan pula, maka ia bersih. Perkara siapa yang aslinya jujur atau dusta,
biarkan Allah yang menghukumnya, mengazabnya, entah di dunia atau akhirat.
Jika ayat-ayat tersebut “dianggap” mubahalah, sangat penting untuk buru-buru dimengerti batas
ruang cakupannya. Sebab, rentetan ayat tersebut merupakan kelanjutan dari
ayat-ayat sebelumnya (ayat 4 dan 5) yang bertutur tentang tuduhan berzina oleh
orang lain (bukan suami). Jika penudingnya bukan suami/istri, wajib baginya
mendatangkan empat saksi lelaki yang menyaksikan langsung prosesi zina itu.
Jika tidak, ia harus didera. Dicambuk sebanyak 80 kali.
Ada dua hal prinsipil (maqashid al-syar’i) dari rangkaian ayat
ini yang harus dimengerti demi menemukan ketegasan batasan ruang cakupnya.
Pertama, betapa sangat
prinsipilnya memelihara marwah umat Islam. Anda bisa membayangkan, sungguh
tidak mudah mendatangkan empat orang saksi yang melihat langsung prosesi
terjadinya zina itu, dengan jaminan kebenaran kesaksiannya atas nama Allah.
Sangat tidak mudah –untuk tidak disebut mustahil. Syarat pelik ini
memperlihatkan betapa sangat dilindunginya nama baik seorang muslim.
Sepanjang sejarah, hanya satu kali Rasulullah Saw. melakukan hukuman
rajam kepada seorang perempuan pezina. Itu pun atas pengakuan dan permintaannya
sendiri untuk dirajam. Rasul telah berkali-kali menolak permintaan rajam itu,
sejak ia mengaku hamil karena zina, kemudian usai melahirkan, dan akhirnya
sampai bayinya berumur dua tahun.
Perempuan itu dirajam bukan karena tuduhan orang lain yang menghadirkan
empat orang saksi yang amanah. Tidak.
Kedua, cakupan hukum (wilayat
al-hukmi) ayat 6-10 surat an-Nuur itu bukanlah untuk wilayah publik, tetapi
privat. Ia mencakup hanya perkara suami-istri dalam tuduhan zina, bukan perkara-perkara
kemasyarakatan. Apalagi politik.
Dalam metode ilmu Ushul Fiqh, menurut
Abdul Wahab Khallaf, itsbat al-hukmi (ketetapan hukum) tidak bisa
dipisahkan dari waqi’ al-hukmi (peristiwa yang menyebabkan lahirnya
suatu hukum) dan atsar al-hukmi (dampak hukum). Mari kita pakai
metodologi Ushul Fiqh ini pada kasus tersebut.
Ketetapan hukum salah atau benar pada seorang suami atau istri (dalam
ayat 6-10 surat an-Nuur) dalam tuduhan berzina terkait erat dengan peristiwa
yang disaksikan langsung oleh empat orang saksi lelaki. Jika itu terpenuhi,
maka ketetapan hukum salah divoniskan kepada istri. Istri sah dirajam sebagai atsar
al-hukmi-nya. Tanpa adanya empat penyaksi langsung atas peristiwa itu, waqi’
al-hukmi-nya bisa diganti dengan lima kali sumpah atas nama Allah. Namun, atsar
al-hukmi-nya tidak tidak bisa ditimpakan. Bila istri membalas
dengan lima kali sumpah atan nama Allah pula, konteks hukumnya dianggap selesai
dan buahnya dikembalikan kepada Allah.
Penerapan metodologi ini tidak berlaku pada tuduhan berzina oleh orang
luar (publik, masyarakat). Waqi’ al-hukmi-nya mutlak hanya satu:
menghadirkan empat orang saksi laki-laki. Tak bisa digantikan apa pun. Jika
syarat hukum ini tak dipenuhi, justru penuduhnyalah yang harus dihukum sebagai atsar
al-hukmi-nya.
Dari tamsil tersebut, jika kita hendak menyebutnya prinsip mubahalah
–karena memang memiliki watak mekanisme yang sama—terang bahwa ia tak bisa
diterapkan pada suatu perkara berskala publik, masyarakat. Mubahalah
hanya berlaku untuk perkara-perkara yang bersifat privat, domestik, bahkan tidak
termasuk perselisihan personal versus personal dalam skala non-domestik,
sebutlah tetangga dengan tetangga.
Sampai di sini, sangat tidak relevan sama sekali tantangan Ade Armando
untuk menggelar mubahalah akbar antara dirinya dengan siapa pun dari
umat Islam yang berselisih pendapat dengannya seputar tafsir surat al-Maidah
ayat 51 (apakah boleh atau tidak mengangkat pemimpin non muslim?). Waqi’
al-hukmi-nya sama sekali tidak memenuhi “syarat” mubahalah itu. Satu,
itu bukan perkara privat, tetapi publik. Dua, itu bukan perkara marwah
personal, tetapi keragaman tafsir belaka terhadap sebuah ayat yang –jika
mengikuti Mohammed Arkoun—niscaya adalah selalu “korpus terbuka”.
Sangatlah tak masuk akal Ade tak kenal pandangan-pandangan cendekiawan
muslim kontemporer terhadap hakikat tafsir itu. Sebutlah misal sosok Abdullah
Ahmed an-Naim, Fazlur Rahman, Abdullah Saeed, Jasser Auda, Mohammed Arkoun,
Muhammad Syahrur, Ziaul Haque, Ali Harb, hingga Nasr Hamed Abu Zayd. Kapasitas akademis
Ade terlalu seronok untuk tidak mengenal tokoh-tokoh Islamic Studies
kontemporer tersebut.
Tetapi ganjilnya, mengapa Ade ngotot mengambil langkah mubahalah
demi memaksakan kebenaran pandangan tafsirnya terhadap al-Maidah ayat 51 itu?
Di kemanakan gerangan kesadaran literernya selama ini bahwa tafsir al-Qur’an
itu niscaya beragam, terkait-erat dengan dinamika sosio-historis yang
melingkupi setiap umat dalam ruang dan waktunya masing-masing? Bagaimana
hikayatnya ia yang dikenal luas sebagai pembela tafsir-inklusif tiba-tiba
menyurukkan dirinya pada tafsir-eksklusif? Apakah ia sedang getir dihempaskan
rasa putus asa? Ataukah, di baliknya, ada suatu kekuatan maha dahasyat yang
tengah menguasainya sampai membuat cakrawala pemikirannya jungkal sedemikian buramnya?
Entahlah.
Yang pasti, dengan tantangan terbuka melalui akun Facebook untuk
ber-mubahalah, yang itu mengandung konsekuensi serius antara dirinya dan
orang lain untuk rela diazab oleh Allah, yang berarti itu setara dengan
membenarkan suatu derita dan nestapa menimpa dirinya atau orang lain –oh ya,
bukankah ini berseberangan dengan prinsip HAM yang diagungkannya selama ini?—ia
telah menempatkan dirinya sebagai sang konservatis-tradisionalis-mistis yang ia
sergah bertubi-tubi selama ini. Ia bagai tengah menusuki dirinya sendiri. Ade
yang liberalis kini sekaligus Ade yang konservatis. Liberalis-konservatis.
Ganjil sekali bagi saya untuk mewedarkan definisi liberalis-konservatis
itu seperti apa. Setahu saya, umumnya, liberalisme senantiasa mutlak
berpunggungan dengan konservatisme. Bagai senja dan fajar. Itulah yang lazim
dalam buku-buku teori ideologi. Lantas apakah definisi yang pas untuk istilah
liberalis-konservatis itu serupa dengan sebutan pizza tapi martabak; steak
tapi jengkol; french-fries tapi telo; atau, Mini Cooper tapi
Swift—ataukah Anda memiliki definisi lain yang lebih yahud?
Memahami bahwa dunia ini niscaya selalu beragam, termasuk perihal
pandangan dan tafsir apa pun terhadap suatu ayat, jelas semudah mengenali
perbedaan bersin dan batuk bagi Ade. Ia akademisi, manalah mungkin tak kenal
Ushul Fiqh dan hermeneutika. Bila seorang akademisi saja terseret pada
perilaku-perilaku suprarasional macam mubahalah, demi merezimkan
pandangannya pada suatu korpus terbuka, sudah pasti bersin pun menjadi rancu
perbedaannya dengan batuk.
Andai saja Ade sudi membaca puisi Gunawan Tri Atmodjo yang berjudul
“Sampai” ini, saya yakin tantangan mubahalah takkan pernah dipekikkannya.
Sebab mubahalah menjadi tak penting sama sekali.
Ketika aku menyebut jalan
kau mengucap jembatan
kita berhadapan
dan hanya sedang saling mengumpamakan
perihal sampai ke tujuan
tapi senyatanyalah kita masih punya badan
dengan sepasang tangan
yang tak begitu berjarak untuk sebuah pelukan.
Semarang, 12 November 2016
Tag :
Kajian Agama
1 Komentar untuk "MUBAHALAH, KEPUTUSASAAN YANG MENGGETIRKAN (KRITIK UNTUK ADE ARMANDO)"
Meski cerita soal Mubahalah ini telah usai, tulisan ini selalu menarik untuk dibaca. Saya baru temukan blog ini dan baru menyadari ada tulisan-tulisan keren ini di dalamnya. Barakallah kepada penulis yang selalu setia membagi menuang ilmunya kepada pembaca. Kiranya menjadi amal jariyah yang senantiasa membawa berkah.