Personal Blog

IA MATI DENGAN BAHAGIA





Kematian Boxer telah membuat kawan-kawannya duka lagi resah. Dengan cakap, Squealer menenangkan mereka dan berkata, “…ia telah mendapatkan perawatan terbaik dan obat-obat mahal yang sudah dibayarkan Napoleon tanpa berpikir itu mahal…” Keraguan mereka pun lenyap dan kesedihan yang mereka rasakan semenit sebelumnya terlunakkan oleh gagasan bahwa ia mati dengan bahagia.
Adakah mati yang sungguh membahagiakan?
Jika memang betul-betul ada, mengapa semua kita berusaha keras untuk menyangkal dan menghindarinya?
George Orwell tak memberikan isyarat apa pun atas pertanyaan itu di dalam novelnya, Animal Farm, yang saya kutip sebagian kecilnya di atas.
****
Setiap kematian adalah hikayat kepergian yang takkan pernah pulang ke pelukan lagi sampai kapan pun juga. Apakah kita akan berjumpa kembali dengan orang yang paling kita sayangi di kehidupan setelah kematian?
Entahlah.
Kita hanya sanggup menyunggi gemetar setiap muncul kabar tentang sebuah kematian dari orang-orang yang kita kenal. Namun sejenak belaka. Sepintas saja. Berikutlah alpa –seolah tak pernah terjadi apa-apa, seolah kematian tak pernah merampasnya dari pelukan keluarga dan sahabatnya.
Kita akan memekik dan menjerit dengan lebih nyalang bila sayap-sayap kematian itu merengkuh orang yang kita cintai –keluarga atau sahabat. Kita menangis, amat luka lagi duka. Air mata pun ruah bagai bah. Dihajar nestapa kehilangan yang maha durja melumat sekujur perasaan di relung jiwa.
Senyumnya. Tawanya. Cara bicaranya. Candanya. Merengutnya. Suaranya. Langkah kakinya. Celoteh-celotehnya. Semua tentangnya, seutuhnya.
Tapi, bisa apa kita?
Larilah ke manapun kau mampu, lawanlah sekuat apa pun kau kuasa, kematian akan meringkusmu.
Peluklah kekasihmu sedalam apa pun kau sanggup melindapi sekujur tubuhnya, kematian tetap akan merenggutnya tanpa sepeser pun iba pada rengekan dan ratapanmu yang menyayat setiap helai hati yang mengitarimu.
Umpama kita diberi kehidupan selama seribu tahun, niscaya dermaganya tetap akan kita labuhi pada suatu hari meski tak ingin sama sekali kita menemuinya.
Apalagi kita hanya diberi bentang waktu sependek 60-70 tahun belaka. Bagaimana mungkin kita amat alpa untuk sekadar mengingatnya yang niscaya akan tiba?
****
Ihwal kematiannya yang kita sebut-sebut “Ia mati dengan bahagia” sejatinya tidaklah lebih dari sekadar drama penghiburan yang sengaja kita ciptakan untuk diri kita sendiri agar rasa nyeri kehilangan itu, rasa sesal kepalang mendalam akibat sering mengabaikannya selama ini, tak terlampau sesak di dada. Sesugguhnya itu hanyalah narasi klise yang kita ciptakan bukan untuk selain diri kita sendiri, bukan?
Pada titik di mana kita insaf benar bahwa kita tak punya daya lagi untuk menyangkalnya, sudah pasti berdamai dengannya merupakan pilihan sikap terbaik yang bisa kita rayakan. Itulah yang pula dilakukan  Squealer untuk mendamaikan luka hati para sahabat Boxer, dengan menyebutnya “mati dalam bahagia”.
Kita pun demikian adanya. Selalu demikian. Kita sesungguhnya adalah para Squealer!
Ingatkah telah berapa lama gerangan kita tak terus menunda peluang untuk menengok ibu di kampung terpencil sana?
Tak menyentuh kulit wajahnya yang makin menyerupai jeruk-jeruk yang terlalu matang dan kita tahu sejenak lagi bakal tanggal dari ranting yang menyangganya.
Tak membiarkan matanya memandangi wajah dan tubuh anak yang amat dicintainya sepanjang masa dalam beberapa hari saja.
Tak memberinya kesempatan untuk memeluk kita, sembari berkata-kata perihal menjadi manusia yang baik dengan suara paraunya yang dilumuti batuk-batuk yang semakin mengaribi setiap tarikan nafasnya –tak membuatnya bisa mewujudkan posisi dan maknanya sebagai seorang ibu kepada kita yang anak-anaknya.
Begitupun kepada ayah. Kakak. Adik. Para sahabat. Para kerabat. Para manusia yang mengenal kita, menyayangi kita, dan mengharapkan perjumpaan-perjumpaan yang sungguh berharga untuk membuat semuanya bisa mengulang kenangan-kenangan sembari tersenyum, tertawa, berpelukan, dan berbahagia layaknya manusia yang memiliki nurani.
Betapa sangat sulitnya mewujudkan semua itu.
Lantas, pada suatu malam yang jelaga, tahu-tahu kita tumbang berkalang tanah ketika kabar kematian itu merangsak dengan sangat tega ke telinga kita –tentang orang yang kita kenal, kita sayangi, kita tak ingin ia pergi dari kehidupan kita.
Kita merasa sungguh kehilangan atas kematiannya sebab kita tak secuil pun menghendaki kepergiannya–tetapi, apa gerangan yang telah kita lakukan dengan setia selama ia ada dalam kehidupan kita untuk membuktikan betapa sangat takutnya kita untuk kehilangannya?
Kita semua sungguh semutlak-mutlaknya sesumbar omong kosong! Kita semua sungguh hanyalah puing-puing para pendusta yang paling biadab!
Dalam sesal yang mendera, kenangan-kenangan tentangnya yang amat kental bertautkelindan melumuri sekujur pikiran dan hati, pelan demi pelan kita merayakan drama perdamaian atas kepergiannya. Kita menyebutnya “Ia mati dengan bahagia”.
Kita memang pernah menangis deminya. Pernah meratap demi cinta mendalam padanya. Pernah menyesalkan segala abai yang keterlaluan selama ini padanya.
Itu semua hanya sejenak, bukan?
Berikutnya, kita kembali segera menjadi batu-batu yang keras kepala dan debu-debu yang rapuh dihempaskan angin-angin perkotaan yang tiada henti mengalirkan hikayat kematian demi kematian –hikayat kebiadaban-kebiadaban.
Pada malam yang senyap dan dingin, bahkan tak sempat sedikit saja kita untuk melayangkan puja dan doa kepadanya. Kita terlalu batu, terlalu debu!
Apalagi pada pagi yang tumpah ruah, bertarung di jalanan bagai hantu-hantu yang takut ketinggalan santapan besar berupa harta dan kejayaan, apalagi pada siang yang terik dan melelahkan, apalagi pada senja yang menggiring kita pulang ke sarang masing-masing bagai arak-arakan arwah gentayangan yang mengatupkan mata sepenuhnya capai. Kita benar-benar terlalu batu, terlalu debu!
Sampai kapan?
Sampai para kerabat dan sahabat menangisi kita pada suatu masa, meratapi kita pada suatu hari, lalu tanpa lama serempak menggumam, “Kau mati dengan bahagia, Sayang….”
Jogja, 2016

5 Komentar untuk "IA MATI DENGAN BAHAGIA"

Berprasangka baik ayahanda telah pergi dengan damai dan bahagia adalah bukan hanya sebagai bentuk penghiburan buat diriku,bunda dan keluarga tapi sebagai doa kepada yang Maha Kuasa tempatkanlah ayahanda di tempat yang terbaik di alam baqo. Ruang sepi dan kosong di hati ini atas kepergian ayahanda adalah bentuk penyadaranku bahwa Dia bukanlah hasil kreasi manusia tapi Dia benar-benar ADA..

Dan air mata yang tertumpah itu sebagai bukti cinta ini benar-benar hidup bukan hanya sekedar meratapi..Allahummaghfirlahu, wa'afihi wafuanhu..

Berprasangka baik ayahanda telah pergi dengan damai dan bahagia adalah bukan hanya sebagai bentuk penghiburan buat diriku,bunda dan keluarga tapi sebagai doa kepada yang Maha Kuasa tempatkanlah ayahanda di tempat yang terbaik di alam baqo. Ruang sepi dan kosong di hati ini atas kepergian ayahanda adalah bentuk penyadaranku bahwa Dia bukanlah hasil kreasi manusia tapi Dia benar-benar ADA..

Demikian kematian menyapa yang alpa, mengetuk yang lupa. Semoga kita semua mati dengan bahagia, walau yang ditinggalkan sejenak sedih nyeri--toh kesedihan yang nyeri itu adalah demi kelak bahagia. Bahwa hidup senantiasa adalah musim yang bergantian.

Suka catatan ini, Maz Edi ��

Back To Top