Tahu kemlinthi?
Kemlinthi adalah sejenis tahu yang telah
nginep semalam di tempat terbuka sehingga begitu disentuh terasa kaku, beku,
dan nggak nantang banget untuk dilemparkan ke mulut.
Hahhh…
Nggaklah
berooooo…
Kemlinthi itu bahasa Jawa, sepadan
dengan kata “congkak bin songong”. Something
like that-lah. Tahu dong terus gimana rasanya berhadapan dengan orang
kemlinthi?
Masih kata
eyang kakung dari pelosok Soka Kebumen itu, yang untuk menjangkau rumahnya
kira-kira harus naik mobil 3 jam dari jalan raya utama, terus naik andong 1
jam, lalu pindah ke perahu kayu selama 45 menit, lantas berakhir dengan jalan
kaki setapak selama 7 hari 7 malam (bhuahhhh…lebih jauh dari Jogja ke Medan
naik bus tuh saking pelosoknya rumah eyang kakung… :D), kemlinthi membuahkan rasa kemaki,
kemethak, kemidak, dan kementhung!
Komplit dah!
Mulai dari
pengen rasanya memaki, mengethak (mukul), menginjak, hingga mementunginnya!
Nah, sekarang
pasti udah dapat gambaran kan
kira-kira kayak mana tuh tampilan sosok si kemlinthi
itu?
Tentu, kalau
ditanya kepada sang tertuduh, apa ya gunanya hidup dengan penuh kekemlinthian
begitu, maka ia bisa saja kan
menjawab, “Ya saya selaku insan berpendidikan tinggi, ini saya lakukan demi
kemajuan nusa dan bangsa agar para koruptor yang sungguh menyebalkan itu bisa
ditangkap, diadili, dimiskinkan….”
Bhuahhhaaa…tetap
saja kemlinthi banget kan jawabannya!
Sok iyes banget kan, mau ngubah wajah bangsa ini dari
belitan para koruptor itu seorang diri?
Gitu deh.
Atau, bisa
pula ia akan memberikan penjelasan, “Maklumlah, Mas, saya ini kan
orang pinter, cumlaude, lulus kuliah cuma 3,7 tahun lho, begitu hebatnya kan saya?!” sampil
pura-pura menepuk baju kantorannya yang nggak banget itu kayak ibu-ibu rumah
tangga. LOL…
Heleehhh,
siapa tahu dia lulus cepet gitu karena pake cara praktis tiap bikin tugas
makalah hanya copas-copas, main kliping dari mbah Geoogle, dan sejenis gitu
deh. Asal rajin aja ngisi absent, nyodorin tampang culunnya di depan
dosen-dosen, sesekali speak-speak bak tukang becak merayu calon penumpangnya. Cape deh…deh
capeknya!
Ahhh, hari
ini, cumluade sungguh bukan jaminan sama sekali dengan level pengetahuannya.
Sama persis dengan nggak selalu sejajarnya antara orang yang kemana-mana pake
peci dan sarung dengan keluhuran budinya. Siapa tahu peci selalu dipake untuk
jaga-jaga ini lagi musim ujan, biar nggak pusing kena rintik? Siapa tahu pake
sarung mulu biar lebih mudah mlontrokinya karena di dalamnya nggak lagi pake
daleman?!
Hahhhhh…halaahhhhh…prĂȘt
dah dengan segala atribut simbolis formal-fisik, yang sungguh nggak selalu
relevan dengan isinya.
So what?
Nggak baguskah
menjadi kemlinthi?
Hemmm, saya
kira bukan tentang bagus-buruknya sih, sebab bila segala sesuatu hari ini
didekati dengan kacamata out of the box alias postmodernisme, maka semuanya
serentak menjadi relatif. Ya, bisa baik, bisa pula buruk. Bisa saja berharga,
bisa pula sebah.
Namun satu hal
yang sangat berharga untuk selalu dijadikan tolak-ukur, yakni attitude! Sikap bin perilaku.
Betul, bahwa
yang namanya perilaku pasti memiliki parameter yang beda-beda antar orang dan
lingkungan. Orang Madura akan memandang negatif pada seorang cewek yang
merokok. Sebaliknya, orang metro yang hobinya nongkrong di kafe akan bilang
kolot pada orang yang memandang miring sang wanita perokok.
Orang Kebumen
akan merasa biasa saja mendengar kata “kencot”,
tapi bagi orang Jogja kata itu terasa kurang nyaman karena identik dengan
celana dalam. Orang Jogja akan no problem
dengan istilah “poke”, tapi jangan
pernah coba jawilkan itu pada orang Madura, bisa berabeehhhhh…
Gitulah
sekadar gambaran tentang relativitas parameter moral perilaku. Tapi, tentu
dong, nggak lantas tidak ada “nilai universal” lho di antara semua umat
manusia, yang lintas bahasa, ras, bangsa, dan bahkan agama. Tetap ada “nilai
universal” itu, yang oleh almarhum Nurcholis Madjid disebut sebagai “fitrah”, oleh Fritchof Schuon disebut “perennialisme”, dan oleh Immanuel Kant
disebut “hukum universal”.
Meludah di
depan orang lain memiliki satu makna universal: “tabu”. Maka, pelakunya, di
manapun, akan dilirik miring sebagai pelanggar tabu. Hemmm, demikian juga kemlinthi dong!
Maka balik
lagi ke bab kemlinthi, ia jelas akan bermakna tidak positif bila
mendorong pemaknaan di kepala orang lain akan sosok yang sombong alias belagu
alias minta penthung itu. Dalam
varian perilaku searah itu, kemlinthi bukanlah hal positif, bahkan kendati pun
diungkapkan dalam istilah dan definisi apa pun!
Bukankah tak
pernah ada setangkup manusia pun di muka bumi ini yang berkenan dibelaguin,
disongongin, dikemlinthiin? Nggak
ada! Keengganan itu merupakan parameter paling dasar akan berlakunya nilai
universal yang menolak sikap kemlinthi.
So what?
Life is just my choice and your choice and
his/her choice.Catat, choice, bukan caos, apalagi sosis… :D. Apa yang aku
pilih sebagai sikap, kamu pilih sebagai perilaku, dan dia pilih sebagai
perbuatan merupakan “parameter” seperti apakah gerangan nilai kemanusiaan itu.
Kita yang
memilih, maka kita pulalah yang akan menerima hasilnya.
Sampai di
sini, masihkah kau kekeuh memilih sikap kemlinthi? Masihkah kau akan berkata:
“Yes, I’am! Gue orang hebrattt, gue orang
genius seabrat-ambrat…! Masalah buat loe?”
Busyet dah!
Sia-sia gue
wejangin panjang-lebar kayak gini, hasilnya tetap aja kemlinthi. Kayaknya, kemlinthi udah jadi soul-nya, power of life-nya.
Beda banget ma
gue kan?
Nggak percaya? Liat aja gue di bawah ini:
Bhuahhahhaaa...haaaaaa.....preettt!!!
Jogja, 30 November 2012
Tag :
Yang Serba Nakal
0 Komentar untuk "KEMLINTHI"