Setiap muslim,
tentu tahu Makkah dan Madinah: dua kota
suci bagi umat Islam. Haramain,
demikian istilah Arabnya. Masjid Nabawi di Madinah yang menyimpan jasad
Rasulullah dan Masjidil Haram di Makkah yang menyimpan ka’bah merupakan dua
simbol tersucinya.
Merindukan
bisa ziarah ke dua kota
suci itu tentu menjadi passion utama
sebagian besar umat Islam. Meski memang tak semua umat Islam bisa
mewujudkannya, yang salah satu pemicunya ialah masalah biaya yang tidak kecil.
Dari sekian
kali kunjungan saya ke Haramain, ada
beberapa hal yang menggelitik “rasa unik” di hati saya, yang bukan melulu
berkutat tentang manasik (rukun
ritual), tetapi lebih tentang perilaku. Ya, perilaku para jamaah umrah (haji)
yang ganjil, unik, nyeleneh, bahkan aneh!
Sudahlah, saya
tidak bermaksud untuk menjadi ustadz di sini. Yang saya tahu dan yakini ialah
bahwa substansi umrah/haji ialah “asfsyus
salam wa ith’amut tha’am” (menebar kedamaian dan membagikan
makanan/sedekah). Hadistnya sangat terang tentang ini. Tentu 2 poin utama yang
harusnya diraih para jamaah usai umrah/haji itu tidaklah perlu dipahami secara
tekstual: misal di mana-mana mengucap assalamu
‘alaikum tanpa jeda dan menabur makanan di mana-mana tanpa arah yang jelas.
Tidak! Ia lebih tentang bagaimana diri kita mampu menjadi bagian dari pembangun
kedamaian dan keharmonisan dalam hidup ini dan ringan tangan berderma pada
orang-orang yang layak menerimanya.
Jelas kan, untuk meraih ini
dibutuhkan satu falsafah hidup: kerendahan hati.
Sudahlah,
berustadznya cukup sampai di sini! Sialll, terserat juga saya berlagak ustadz!
Apa yang saya
pikir ganjil bahkan aneh dari perilaku para jamaah umrah/haji jika disehadapkan
dengan tujuan utama berumrah/berhaji itu ialah:
Pertama, betapa egoisnya kita untuk
merengkuh pahala sebanyak-banyaknya di Haramain
itu sampai pada level masa bodoh sama orang lain. Sesesak apa pun di Raudhah,
misal, enak aja kita duduk berdzikir, ngaji, atau sekadar diam. Padahal, ya
Tuhan, seabrek orang berkeinginan bisa shalat sekadar dua salam, butuh tempat
untuk numpang dikit aja di tempat yang mereka duduki itu. Tapi, ya gitulah,
cuek aja, yang penting gue udah stay tune
di Raudhah, so pahala gue bakal
segudang banget nih!
Aksi egois ini
terjadi terus-menerus di manapun di beberapa tempat yang disebut mustajab. Di
area Multazam iya, area Shafa dan Marwah iya, area Hijir Ismail iya, dan
sebagainya.
Kedua, sok benar! Sikap sok paling benar
ini suka muncrat dalam celoteh besar atau kecil, yang menyatakan diri ini yang
benar cara ibadahnya, sementara yang lain, yang beda, adalah salah.
Seseorang di
sebelah sambil thawaf berkata pada sahabatnya, “Itu orang-orang yang thawaf
sambil menyentuh ka’bah dan Hijir Ismail, thawafnya batal…”
“Kenapa?”
“Karena thawaf
itu mengelilingi ka’bah, bukan menyentuhnya…”
Omigat! Saya speechless. Semoga menatap ka’bah pun
tidak dianggapnya membatalkan thawaf, dengan argument yang sama bahwa thawaf
adalah mengelilingi ka’bah, bukan menatapnya!
Ketiga, riya’ bin songong! Ini penyakit hati yang benar-benar menyebalkan.
Gara-gara bisa menyentuh Multazam, lalu menangis haru-biru di pelukannya,
sejurus kemudian diri berasa sudah suci banget, kayak bayi yang baru
dilahirkan. Kemana-mana memandang, seolah diri inilah yang telah paling suci.
Orang-orang yang hanya duduk di sekitar ka’bah, apalagi yang jalan-jalan di
halaman masjid, dianggap gitu deh…
Keempat, syirik. Batas antara memuji dan
syirik memang sangat tipis, letaknya hanya di hati. Menangis-nangis sambil
menciumi ka’bah jelas baik, tapi jika hati bergeser dengan menganggap kiswah (kain penutup ka’bah) sebagai
sesembahan, pujian, walah jelas itu syirik atuh.
Apalagi sambil mengambil benang kiswah dan sejenisnya untuk dibawa pulang,
dijadiin jimat. Air Zamzam diusapkan sedemikian rupa ke tubuh dengan tujuan supaya
gagah, kebal, dan kaya, halah…
Kelima, nentengin sandal. Shalat sambil
bersujud ke sandal. Thawaf dan sa’i sambil nenteng-nenteng sandal yang belum
tentu terjamin kesuciannya, walah…bukankah itu sama saja dengan meletakkan
sebuah najis ke dalam bagian tubuh untuk beribadah?
Keenam, saling bercerita membanggakan
“capaian”.
“Alhamdulillah,
saya berhasil mencium Hajar Aswad 4 kali dengan mudah…”
“Subhanallah! Saya berhasil thawaf sampai
50 kali!”
“Masya Allah, pas saya shalat di Hijir
Isma’il, seperti ada malaikat yang mengelus pundak saya, subhanallah…”
“Kalau Bapak
berapa kali umrah? Oo, saya alhamdulillah sudah berangkat 7 kali, Pak…”
Boommm!
Di balik semua
untaian alhamdulillah, subhanallah, masya Allah, terselip ke-aku-an,
kesombongan, kelebihmuliaanku, dan sejenisnya!
Boommm!
Ya, ya, masih
banyak hal lain yang bisa dicatatkan dengan penuh kegundahan di sini.
Celakanya, saya pun kalau mau saya pikir-pikir merupakan bagian dari jamaah
umrah sialan itu!
Ya, sialan
dong!
Gimana nggak
sialan coba? Jelas sekali bahwa tujuan substansial umrah/haji ya itu tadi to,
lantas gimana mau berhasil mencapai spirit itu tadi jika perilaku saya pun
selama umrah nggak lepas dari kisi-kisi keegoisan, kesombongan, dan pemuliaan
diri macam itu tadi?!
Booommm! Mati
deh saya!
Madinah-Makkah, 28 Juni 2013
2 Komentar untuk "BOOMMMM….! CATATAN UMRAH PENUH GUNDAH"
Renungan yang dalam, Pak.
Etapi mau ngikik bentar. Bapak rajin ih fotoin sandal :D
Wow...keren,eh Subhanallah,tulisannya :)
Terkadang dalam hati juga suka "kritik" jamaah lain, tetapi baru2 ini "terpaksa" saya berbagi ke salah 1 majalah ttg pengalaman umrah berulangkali. Mudah2an hal tsb gak menimbulkan riya dan justru bermanfaat bagi pembaca, seperti hal-nya artikel ini :)