Obrolan di
sebuah warung burjo melindap begitu saja ke telinga saya, “Apa sih pentingnya
politik kalau ujungnya hanya untuk jadi anggota dewan lalu korupsi?”
Sederhana,
tapi sangat jujur.
Logika umum
memperlihatkan bahwa setiap kita mengeluarkan sejumlah barang atau uang,
niscaya kita mengharapkan return yang
lebih besar dari pengeluaran tersebut. Etos pedagang. Diakui atau tidak, bahkan
dalam cara kita beragama pun demikian adanya, berdagang. Misal, saya ingin
menyedekahkan 1 juta, sebab saya berharap Tuhan akan membalas 10 kali lipatnya,
yakni 10 juta!
Demikian pula
yang melibas tujuan utama politik. Dari era Plato sampai Anthony Giddens,
politik tetap disebut sebagai “cara” yang dibutuhkan oleh menciptakan
keteraturan komunal. Dari rahim politik itulah, lahir negara, yang kemudian
memproduksi beragam macam peraturan, undang-undang, lembaga, dan sebagainya.
Dalam posisi ini, jelas bahwa politik itu sangat penting. Namun dalam ranah
selanjutnya, semakin lama semakin terang fakta menunjukkan bahwa politik itu
menjadi sangat menyebalkan.
Apa pasal?
Tidak lain
karena politik telah mengkhianati ruhnya sendiri sebagai alat “cara menciptakan
ketaturan” menjadi alat memuluskan “kepentingan”. Kepentingan diri atau
kelompoknya.
Maka mudah
dilihat dengan begitu vulgar, betapa kini transaksi atau deal-deal politik sedemikian parahnya mengusung kiblat kepentingan
itu. Bukan lagi kiblat ketetraturan yang pasti poinnya adalah negara, bangsa,
dan rakyat.
Lihatlah,
misal, bagaimana badainya suara Fahri Hamzah dari PKS menderu-derukan banyak
hal yang malah menjadi blunder of knowledge ketika KPK menangkap Lutfi
Hasan Ishaq dan Fatanah. Sejuta sanggahan diderumkan ke publik luas, yang
poinnya adalah untuk melindungi kepentingannya dan partainya.
Apakah
politisi yang lain tidak?
Sama saja!
Lihatlah, buktinya, bagaimana carut-marut kasus Hambalang yang penuh drama bak
sinetron menghadirkan aktor-aktor macam Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh,
Nazaruddin, Andi Mallarangeng, yang kita tahu semula mereka adalah kawan dalam
sebuah partai, lalu begitu fontal saling serang. Semua itu poinnya adalah
tentang kepentingan masing-masing.
Semua partai
telah menjelma begitu perilakunya. Bahwa partai politik merupakan saluran legal
berpolitik, yang karenanya direpresentasikan sebagai “suara rakyat”, rasanya
idealisme itu telah lama mati. Ini bukan lagi tentang rakyat, tetapi murni
tentang kepentingan sang politisi dan partainya di hadapan konstelasi kekuasaan
yang ada.
Wajah cantik politik
yang ada dalam buku-buku sejarah filsafat telah lama bopeng-bopeng sedemikian
buruknya di hadapan kita kini. Khutbah manis Abraham Lincoln bahwa demokrasi
adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sungguh telah lama meninggal
dunia. Ia telah digantikan oleh topeng-topeng kepentingan politik, yang
diperjuangkan sedemikian heroiknya, termasuk dengan cara-cara amoral
manipulatif yang memalukan.
Kasus tokoh
parpol A diulik ke permukaan oleh aktivis parpol B, misal, bukan lagi dalam
semangat menegakkan kebenaran hukum, menyelamatkan aset bangsa, atau kemakmuran
rakyat, tapi semata sebagai alat bargaining
position-nya, yang diproyeksikan untuk melindungi kepentingan politiknya
sendiri. Saling sandera kasus adalah modus politik yang sangat menjijikkan kita
tonton sehari-hari. Kasus pajak Bumi Resources, Lapindo, Hambalang, Century,
dan masih sederet banyak lagi, mencerminkan dengan bugil kegiatan-kegiatan
barter politik semacam itu.
Lalu,
dimanakah moralitas?
Andai, ya kini
ini hanya menjadi andaian belaka, para politisi itu memiliki modal moralitas,
yang berdenyut dalam jiwanya dan mempengaruhi perilakunya, niscaya masih akan
ada rem kepentingan politik. Tetapi, saat semua hanya untuk kepentingan politiknya,
yang terjadi lantaran telah dibunuhnya moralitas dalam jiwa, maka jadilah
politik itu hanya sebagai mesin pengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Dimana rakyat
berada?
Rakyat ada di
warung burjo, kurus dan kusam, yang sebagiannya saya dengar tengah memuntahkan keresahan
dan kemuakan sekaligus: untuk apa lagi politik jika faktanya hanya untuk
kepentingan politik seseorang atau sekelompok partai belaka?
Jogja, 2 September 2013
*) Dimuat Harian Jogja (7-9-2013)
Tag :
Pasar Makalah
2 Komentar untuk "SAAT SEMUA HANYA TENTANG KEPENTINGAN POLITIK"
saya ingin wejangan pelik politik langsung dari Pak Edi, tapi tentu bukan di burjo, Pak, melainkan di warung kopi. bisa, ya? :-)
bisa bisa Kiai Hansen