Betapa
kesalnya Lik Gadamer dengan ucapan terakhir tetangganya yang dari Madura itu,
yang lalu melindap begitu saja ke dalam rumahnya.
“Itu warnanya
biru, Lik, bukan hijau…”
Gagal pikir
benar Lik Gadamer. Disentuhnya lagi daun rambutan di pekarangan rumahnya, yang
ini mungkin sudah ke-50 kalinya, dicermatinya lekat-lekat. “Lha wong jelas ini warna daunnya hijau
kok dia ngotot benar bilangnya warna biru. Gimana sih tuh orang?”
Geleng-geleng.
Istri Lik
Gadamer yang sedari tadi memperhatikan kelakuan suaminya dari ruang tamu kembali
meneriakinya.
“Ngapain to dari tadi kok ngobrol sama daun
rambutan? Mbokya kalau niat edannya sudah
nggak ketahan lagi, bilang to, biar
kuantar ke Pakem…”
Halah, gedek benar batin Lik Gadamer.
Sambil memetik beberapa helai daun rambutan, ia masuk. Menghempaskan bokong
yang tak bersalah itu sedemikian kerasnya di atas sofa yang telah babak-belur
dihajar pantat-pantat dan kentut-kentut selama bertahun-tahun.
“Ini lho, Bune, coba deh, masak kata tetangga depan
itu, daun ini warnanya bukan hijau coba…”
Istri Lik
Gadamer ngikik.
“Lha kok orang
ngeyelan kayak gitu masih sampeyan ladenin, sampeyan berarti sama ngeyelannya…”
“Bukan gitu to, tapi kan ya nggak benar to kalau daun rambutan dibilang warnanya biru…”
“Kata Pak’e apa coba?”
“Ya hijau to, kamu ini kok malah ngeledek aku
lagi…”
“Hijau to?”
Dijamahnya
petikan daun rambutan itu dari tangan Lik Gadamer, lalu ditimang-timang,
didekatkan ke matanya.
“Hijau to?” tukas Lik Gadamer, tak sabar
menunggu jawaban pembenaran.
“Nggak terlalu
juga sih, Pak…”
Seperti
blingsatan seketika pantat Lik Gadamer.
“Apa? Kamu mau
bilang daun rambutan ini warnanya biru juga to? Rakyo sama edannya kamu dengan orang depan itu…”
“Bukan, Pak,
ini sih memang hijau, tapi tidak hijau muda banget, sudah dekat ke coklat juga
sih hijaunya…”
“Hijau to, Bune,
kok hijau coklat gimana to kamu ini?”
“Iya, hijau
kecoklatan…”
“Hijau…”
“Kecoklatan,
Pak, ada hijaunya juga sih…”
Rengkah
rasanya kepala Lik Gadamer. Kayak batu yang terkena panas bertahun-tahun lalu
kejatuhan salju semalaman yang menyebabkannya rengkah alias retak.
“Heran deh,
nggak tetangga, nggak istri sendiri, penglihatannya pada kurang waras…” gumam
Lik Gadamer sambil masuk ke kamar.
Jelang
Maghrib, Lik Gadamer keluar rumah untuk menuju mushalla di timur rumah. Matanya
menangkap sekelebat tetangga Madura di seberang rumahnya itu sedang menenteng
botol Sprite.
Meski masih
gemes dengan ucapan tetangganya tadi, Lik Gadamer tetap menyapanya.
“Itu buat
apa…”
“Air biru?” Tetangganya
menukas dengan cepat.
Air biru?!
Rekahan kepala Lik Gadamer kian melebar. Mati aja saya, sergah batin Lik
Gadamer, sambil terus berlalu.
Lik Gadamer
lupa bahwa sebenarnya si tetangga dan istrinya itu sedang menjadi “penerima” (informasi
warna) dari daun rambutan yang dilihatnya, bukan “pemberi” (informasi warna) terhadap
daun rambutan itu. Juga tentang botol Sprite itu.
Andai Lik
Gadamer paham bahwa sejatinya setiap kita ini sesungguhnya berpoisisi sebagai
“penerima” yang menangkap “pesan” dari “pemberi”, dengan ragam
latar-belakangnya yang super variatif, maka
perbedaan-perbedaan yang terjadi semacam itu takkan pernah menjadi masalah apa
pun baginya, batinnya, dan hubungan sosialnya.
Sorry lho, Lik Gadamer, bukan maksud
saya menggurui panjenengan sebagai tokoh
utama Harmeneutika Filosofis, tapi tipe orang beginian memang seabrek lho di
sekitar kita, atau bahkan termasuk diri kita sendiri.
I love Hans-Georg Gadamer…
Jogja, 24 September 2013
0 Komentar untuk "LIK GADAMER DAN TETANGGANYA "