*) Esai ini dimuat Jawa Pos, tanggal 20 Maret 2016.
Sifat apakah gerangan yang tak melekat pada Tuhan?
Segalanya ada, dari yang masuk akal macam Al-Fattah (Sang
Pembuka) dan Al-Razzaq (Sang Pemberi Rezeki) hingga yang tak mampu kita
cerna macam “Yang Maha Semau Gue”.
Tanggal 11 Maret 2016, saya mengundang Mbah Gus Mus (K.H. A. Mustofa
Bisri) mengisi pengajian di kampung Tegalsari Banguntapan. Di antara dera musim
penghujan yang selalu menerkam bumi Jogja setiap jelang sore, hari Jum’at itu
pun basah sejak siang hari. Sekira pukul 16.00, cuaca serentak terang, sangat
benderang, sampai dini hari seusai pengajian, lalu kembali hujan. Cuaca ajaib
ini sungguh tak masuk di akal, tetapi begitulah bila Tuhan menghendaki sesuatu
terjadi, kun fayakun, terjadilah, sebab Dia benar-benar adalah Dzat Yang
Maha Semau Gue.
Istilah ini saya adopsi dari guyonan Gus Mus yang disambut gerr
tiga ribuan hadirin. Tentu saja, pangkat “Yang Maha Semau Gue” ini benar secara
substansial, karena Tuhan memang selalu Yang Maha Kuasa. Apa yang musykil bagi
kita sangatlah mudah bagi-Nya.
Sifat prerogatif ini semestinya memang hanya selalu menjadi milik-Nya. Privat
dan absolut. Sifat ini akan tiba-tiba menjelma sangat problematis dan
destruktif bila dirampas oleh manusia, siapa pun, atas nama apa pun, termasuk pekik
atau caption membela Tuhan. Dan, ironisnya, situasi demikianlah kini
yang sangat runyak dipanggungkan oleh mayoritas kita.
Lepas dari keragaman dogmatis yang diyakini Benar oleh setiap umatnya, kita
tahu, semua agama dan keyakinan hanya sepenuhnya manashihkan kebaikan dan
kemanusiaan. Segala bentuk praktik kekerasan dan keburukan adalah musuh semua
agama dan keyakinan. Budha, misal, mengajarkan meditasi “kesunyian laut di
dalam batin” sebagai jalan menuju Puncak Pencerahan; Kristen mengenalkan pangkat
santo untuk menunjuk sosok suci; Taoisme mengajarkan jen-i –setamsil
wahdlatul wujud dalam mistisisme Ibn ‘Arabi dan Cinta dalam
sufisme Maulana Rumi.
Cara kita beragama kini, khususnya berislam, dengan memanggulkan sifat
asali Tuhan –Yang Maha Semau Gue tadi—ke pundak kita dalam tingkatan sosial
yang plural macam bangsa ini telah melesatkan berbagai masalah disharmoni yang mutlak
menabrak risalah kebaikan dan kemanusiaan itu sendiri. Akhlak karimah
terjungkalkan. Tawadhu’ terkuburkan. Ukhuwah terinjak-injak.
Atas nama klaim kebenaran (truth claim) yang disponsori berahi
klaim keselamatan (salvation claim), lalu ditashih dengan nalar ugal-ugalan
pada, misal, ayat dakwah, tertampillah postur Islam kekinian yang keras, galak,
pemaksa, dan semau gue. Penggerudukan, penyerangan, razia, pemaksaan, ditingkahi
pentungan dan bahkan penumpahan darah, begitu enteng dirayakan sebagai “jalan
membela agama Allah”. “Anda yang berbeda adalah sesat dan harus kami luruskan
agar kembali ke jalan yang benar,” begitu bendera yang dikibarkan penuh bangga
layaknya pejuang yang siap syahid dan dirindukan surga beserta 70
bidadarinya yang selalu perawan.
Jika Alqur’an saja dengan benderang menyatakan: “Bagimu agamamu dan
bagiku agamaku”, “Jika Allah menghendaki maka seluruh manusia akan
dijadikanNya satu umat”, dan “Ajaklah mereka kepada jalan Allah dengan
cinta”, lantas bagaimana mungkin kita sanggup hati memanggungkan kekerasan
atas nama-Nya?
Inilah perkara terbesar prilaku beragama kita hari ini. Kita kian kehilangan
watak muru’ah, tawadhu’, dan tarahum dalam memaknai perbedaan
akibat terlalu lahapnya mengasup risalah-risalah agama pada link-link
antah berantah belaka yang tidak jelas sanad ilmunya. Jadilah kita
individu-individu dangkal yang merasa dalam, selokan yang merasa lautan. Jadilah
kita para si pongah. Dampak mengerikan dari arogansi manusia yang tega merampas
sifat “Yang Maha Semau Gue” Tuhan itu ialah keberaniannya mengobarkan perpecahan,
permusuhan, tirani mayoritas, dan seabrek luluh-lantak kemanusiaan.
Seyogianya kita senantiasa mafhum benar bahwa membela Tuhan tidaklah
sama dengan memaksa orang lain sepaham dengan pandangan dan keyakinan kita. Apa
yang kita yakini sebagai “jalan kebenaran Tuhan” semestinya selalu kita
tempatkan hanya sebagai “satu jalan di antara ribuan jalan lainnya”.
Kita selayaknya pula selalu andap asor bahwa perihal hidayah sepenuhnya
mutlak hak prerogatif Tuhan, bukan manusia. Nabi Muhammad saw. bahkan tak
pernah berhasil mengislamkan Abu Lahab yang notabene adalah paman dan
tetangga bersebelah tembok. Nabi Nuh as. pula tak berhasil menjadikan anaknya
beriman kepada ajarannya. Nabi Ibrahim as. pun gagal menjadikan ayahnya sendiri
menjadi pengikut ajarannya.
Hindun yang amat membenci Islam sampai tega membelah dada Hamzah, paman
Nabi, dan memakan jantungnya dengan buas, siapa nyana kemudian memeluk Islam
dan mengatakan, “Dulu aku membencimu, Nabi, seluas langit dan bumi; kini aku
mencintaimu seluas langit dan bumi.” Demikian pula sosok Umar bin Khattab dan
Abu Sufyan yang keras melawan Nabi lalu memeluk dan membela Islam dengan
sepenuh jiwanya.
Adakah yang perlu kita ragukan dari gigihnya dakwah para nabi agung itu dan
kedalaman doa-doanya sampai gagal menjadikan beriman orang-orang dekat di
sekitarnya? Masih kurangkah keperkasaan tentara Nabi kala Fathul Makkah yang
tak pernah ia jadikan kesempatan memaksa semua orang Quraisy Makkah memeluk
Islam seketika? Lantas, apakah gerangan sebenarnya pangkat dan hak kita untuk
memaksa, mengancam, menyerang, dan mementungi orang-orang yang tidak seiman
atau berbeda paham?
Serentak saya teringat puisi Maulana Rumi: “Kemarin aku pintar, maka aku berupaya mengubah
dunia. Hari ini aku bijaksana, maka aku berupaya mengubah diriku sendiri.” Saya juga teringat narasi Tao
Te Ching tentang “Kebajikan Tinggi” dan “Kebajikan Rendah”, “Seorang
manusia yang memiliki Kebajikan Tinggi tidak menyadari Kebajikannya. Itulah
mengapa dia memiliki Kebajikan. Seorang manusia yang memiliki Kebajikan Rendah
berusaha keras untuk tidak kehilangan Kebajikannya. Itulah mengapa dia tidak
memiliki Kebajikan.”
Kebijaksanaan, inilah kata kuncinya; bahwa kita
hanyalah manusia nisbi, bukan Tuhan Yang Serba Maha, yang sama sekali tak
pernah pantas untuk memanggul sifat “Yang Maha Semau Gue” Tuhan atas nama apa
pun. Tuhan saja begitu santai atas keragaman perilaku manusia, dari yang alim
bagai nabi sampai durja bagai jelaga, lalu kenapa kita sebegitu repotnya?
Jogja, 19 Maret 2016
Tag :
Artikel,
Kajian Agama
0 Komentar untuk "YANG MAHA SEMAU GUE Oleh Edi AH Iyubenu"