Personal Blog

MUNYUK! Cerpen @edi_akhiles


“Munyuk aja kalau dilipstiki masih lebih cantik dan membuatku bergairah timbang kamu!!”
Wajahnya lebam dihajar tubian serapah yang menghunjam deras dari mulut lelaki yang amat dicintainya itu.
“Nggak becus kamu! Nggak beres! Sampah kamu!! Kecewa berat aku punya istri macam kamu!!!”
Suara debum amuk itu terus menghajarnya tanpa ampun. Pagi yang benar-benar belah oleh caci yang tak pernah diimpikannya mencabik ruang keluarga ini sejak pertama kali ia menangis oleh suara qabiltu itu, lima tahun lalu.
Lelaki itu telah hilang, hilang bukan hanya membawa badan gempalnya dan amarahnya, tetapi juga hilang menyeret hempas seluruh kehormatannya sebagai suami dan ayah.
Dipeluknya bocah yang sedari tadi diam khusyuk menatap layar game iPad-nya. Meski sesekali ia mendongakkan kepalanya tadi, menatap silih berganti ke wajah ayah dan mamanya. Entahlah, apa yang sedang ayah dan mama cakapkan tadi, gumam hati kecilnya.
“Kamu jangan seperti ayahmu ya, Le…” bisik wanita bermata sembab itu sambil menciumi rambut bocah lelaki kecil itu.
****
Nyaris pukul dua dini hari begini, lelaki itu belum juga menampakkan tanda pulang. BBM yang dikirimkan sejak pukul 11-an tadi sudah berubah status jadi r, tanda dibaca. Tapi tak ada balasan apa pun. Tak apalah, toh itu sudah cukup baginya untuk jadi isyarat bahwa lelaki yang amat dicintainya itu dalam keadaan sehat walafiat.
Sambil menyeka airmatanya yang mulai kering, ia beranjak ke kamar mandi. Mengambil wudhu, lalu shalat tahajjud. Dalam setiap helai bacaan shalatnya, ia tak pernah sanggup menangkis hujan airmata hangatnya sendiri. Dari takbir sampai salam. Sampai berdiri lagi untuk takbir lagi hingga salam lagi. Demikian terus-menerus sampai rakaat kesepuluh dipungkasinya dengan salam.
Apa sebenarnya yang sedang kau cari, ayah?
Jika kau berpikir bahwa kebahagiaan itu adalah penjelajahan duniawi tanpa batas, bukankah kau sendiri pernah berkata beberapa tahun lalu tentang kesia-siaan itu?
Jika kau berhasrat memuaskan semua ambisimu tentang kesempurnaan, bukankah kau pun telah berujar sejak kau memberiku cincin emas di belakang kampus, di parkiran, bahwa kau ingin mengisi kekuranganku dengan kelebihanmu dan kekuranganmu dengan kelebihanku?
Jika kau tak lagi mampu mengerem kata-katamu di antara gelegak didih kawah emosimu, bukankah bertahun-tahun lampau kau sendiri pernah menasihatkan bahwa kata-kata apa pun yang dilontarkan dalam keadaan emosi pastilah jauh dari nalar akal sehat?
Ya Allah, berilah hidayah-Mu pada ayah agar dia segera pulang dengan sehat dan selamat dan kembali menjadi lelaki yang sangat kubanggakan selama ini. Lelaki yang selalu memiliki waktu untuk bermain cekikikan bersama anakku semata wayang itu, yang senang bergulingan dan menggelitikinya, yang selalu mampu membuatku tersenyum lebar sampai terbawa dalam tidurku yang lelap.
Doanya sobek seketika oleh derum mesin mobil di halaman depan. Plus, debum bass lagu Tak Tunggu Balimu. Dan, seperti biasa, disusul denyit pagar diseret, lalu suara klik di pintu depan.
Ia sengaja diam, merekahkan cuping telinganya untuk mendeteksi kegiatan apa lagi yang akan dilakukan suaminya di malam buta begini. Selintas, tertangkap olehnya suara kaki diseret-seret, lalu suara tivi. Tapi sejurus kemudian, tak ada suaranya lagi, termasuk dehem batuknya yang sangat dia hapal. Hanya suara tivi yang begitu hangar di antara senyap.
Tanpa melepas mukenahnya, ia keluar kamar, menuju ruang tengah. Di depan tivi yang masih menyala, dilihatnya lelaki yang dulu amat dikaguminya itu tengkurap lelap. Dengkurnya bak auman singa jantan.
Ia mendekatinya, lalu duduk di bibir kasur berseprei Manchester United itu. Matanya menyapu rata dari ujung rambut hingga ujung kaki itu. Air hangat kembali membuncahi kelopak matanya.
Ya Allah, inikah lelaki yang tadi pagi menyerapahiku habis-habisan bak aku bukan lagi manusia yang punya perasaan?
Inikah mulut yang tadi mengataiku munyuk: bahkan munyuk lebih cantik dan menggairahkannya daripada aku, ya Allah?
Inikah wujud lelaki yang sejak lima tahun silam kuabdikan hidupku sepenuh jiwa untuknya, yang selalu kudengarkan kata-katanya lantaran dia adalah imam hidupku, yang telah memberiku buah hati yang lucu, yang selalu kubanggakan pada saudara-saudara dan sahabat-sahabatku bahwa aku sama sekali tidak salah pilih sebagaimana yang dulunya pernah mereka cemaskan?
Ayah, kamu sudah bukan lelakiku yang dulu itu, yang tak banyak bicara jika merasa tak perlu bicara, tetapi selalu berbuat nyata untuk memberikan segala yang terbaik buatku dan anakmu.
Dengkuran itu tak terpengaruhi sama sekali oleh lelerah air hangat itu. Ia begitu lelap dalam mimpi gelapnya, yang tak pernah ada seorang pun yang tahu kecuali dia dan Tuhan belaka.
****
“Aku minta maaf jika ada sikap dan kata-kataku yang berlebihan padamu, yang menyinggung perasaanmu, kemarin…”
Tak ada tolehan apa pun darinya. Mulutnya tetap sibuk mengunyah sarapan kesukaannya yang sengaja disiapkan sejak habis shalat Subuh tadi.
“Yah, tolong maafkan aku ya…”
Kali ini lelaki itu menoleh, hanya sekilas, lalu kembali mengunyah.
Ah, kamu memang sudah sangat berubah, Yah… Ia menelan ludahnya sendiri. Pahit.
Tak lama kemudian, dia bangkit setelah meneguk air, lalu melangkah gontai tanpa meninggalkan sehelai kalimat pun. Bocah lelaki yang berpapasan dengannya di tangga dekat kamar dilewatinya begitu saja. Seolah tak terlihat olehnya.
Derum mobil terdengar kemudian, tentu diiringi dentum bass Tak Tunggu Balimu.
Mata lelahnya hanya kuasa mengitip laju mobil itu dari balik kamarnya sambil menggendong bocah lelakinya yang berkali-kali menciumi pipinya hingga basah. Ya, basah oleh ludah anaknya, bercampur air hangat yang kembali tetas dari sumur matanya.
Sampai malam kembali membusuk dibekap waktu yang tak pernah berhenti melumat segalanya, lelaki yang amat dicintainya itu tak kunjung pulang. BBM-nya pun tak terkirim lagi. Hanya centang. Dua kali ia menelponnya, tapi tak pernah bisa masuk.
Kembali, di antara pukul dua yang sepi, ia pecahkan tangisnya di atas sajadah. Di kamar yang sangat ia hapal lekuknya, yang menyimpan semua senyum dan tawa bahagianya bersama lelaki tercinta itu sejak bertahun silam.
“Ya Allah, selamatkanlah dia, selamatkanlah dia ya Allah….”
Selanjutnya, tak ada suara yang terdengar lagi. Tak ada seutas bisik pun yang sanggup disematkannya lagi pada tubuh malam. Kecuali isak tangis yang naik turun mengiringi gemuruh dadanya yang terluka.
Hingga subuh menjelang, derum mobil dan suara bass Tak Tunggu Balimu yang sangat dikenalnya itu, yang sangat diharapnya itu, tak kunjung terdengar. Halaman depan tetap sepi dan kosong. Tapi ia masih tetap menunggu, di atas sajadahnya, di atas tangisnya, di atas doanya untuk keselamatan lelakinya itu. Lelaki yang telah mengatainya munyuk, bahkan lebih buruk dari munyuk.
Jogja, 16 April 2013
1 Komentar untuk "MUNYUK! Cerpen @edi_akhiles"

saat yg paling menyakitkan adalah saat kita tidak dimanusiakan oleh org yg paling kita cintai..

Back To Top