Personal Blog

IRONI DARI KIAI HANSEN



“Siapa kamu? Kenapa aku nelpon kamu?”
“Bukannya kebalik? Kan situ yang nelpon saya…”
“Apa semua harus berurutan sesuai lazimnya?”
“Ya nggak sih…”
“Jadi saya nggak salah dong tanya kayak tadi?”
“Ya nggak salah, cuma ganjil.”
“Apa semua harus genap? Kalau nggak ada ganjil kan nggak ada genap.”
“Betul, situ pintar ya…”
”Bukan tentang pintar tapi semata tentang mendobrak kelaziman.”
“Gunanya?”
“Menciptakan ironi baru.”
“Orang kok suka berironi.”
“Lha itu karena situ termasuk kelompok orang stag.”
“Bentar. Hemm, anti ironi = stag, gitu ya?”
“Situ sih membiarkan diri terbekap definisi terus.”
“Definisi itu kan pengertian. Mana bisa kita mengerti sesuatu tanpa definisi?”
“Tapi hidup dengan satu definisi pasti miskin warna.”
“Bukankah hidup memang memerlukan kestabilan agar tenang?”
“Stabilitas tidak sama dengan ketenangan.”
“Bedanya?”
“Apa-apa yang tenang identik dengan stag. Apa-apa yang stag identik dengan kematian.”
“Anti ironi = stag = kematian?”
“Iya.”
“Hidup yang tidak diwarnai ironi pasti membosankan. Tak beda dengan kematian.”
“Hidup yang sejatinya telah mati, begitu?”
“Iya.”
“Biar hidup lebih hidup maka harus berironi gitu?”
“Iya.”
“Ironi itu kesedihan, bukan?”
“Itu versi definisimu.”
“Definisimu?”
“Ironi adalah dinamika, bisa kesedihan, kesenangan, tantangan, pesona, kehilangan, dll.”
“Hidup tanpa dinamika itu yang membosankan, bukan?”
“Betul!”
“Biar dinamis jadi harus berironi?”
“Betul.”
“Ngomong-ngomong, situ Mas Roni, bukan?”
“Bukanlah.”
“Siapa?”
“Tak penting kan untuk bisa berironi harus dari orang yang sudah kenal dulu? O ya, kenapa aku menelponmu?”
“Bercerita tentang ironi.”
Daebak!”
Ganbatte!”

Begitulah ironi: sebuah kata sakti yang dimailkan Kiai Hansen kemarin sore dan berhasil membuat saya terus berpikir, betapa benar ya bahwa hidup yang datar-datar saja, biasa-biasa saja, sangatlah tidak berirama, tidak dinamis, tidak merangsang kecerdasan dan pencarian.
Apa yang saya yakini benar, bahkan, baru akan menemukan pencarian dan pendalamannya di saat saya bersinggungan dengan sebuah ironi baru.
Apa yang saya percaya sebagai prestasi, baru akan mengalami kegelisahan pematangannya saat saya bertabrakan dengan ironi baru.
Apa yang saya pikirkan sebagai keluarbiasaan, baru akan terpantik nilainya saat saya bersentuhan dengan sebuah ironi baru.
Ya, ya, Kiai Hansen benar sekali, setidaknya menurut nalar logisku, betapa hidup ini sejatinya merupakan tumpukan-tumpukan ironi, yang bila saya berhasil mengais sebanyak-banyaknya dari tumpukan-tumpukan ironi tersebut, niscaya saya akan lebih bisa memiliki hidup yang berwarna-warni.
Ironi, duh, selama ini saya begitu takut padanya lantaran semata saya ternyata juga bagian dari korban definisi ya…
Jogja, 17 Oktober 2013
2 Komentar untuk "IRONI DARI KIAI HANSEN"

dan tulisan ini kereeeeeeeeeennnnnnnnnnn pakkkkkk.
*prokkk prokk prokk...
jempol buat ironi vs definisi nya :D

Back To Top