Personal Blog

SEMUA KITA TAKKAN PERNAH ADA TANPA ADANYA IBU… (Catatan Haru dari Pembaca Cerpen #IAAI)



Seseorang berkirim email ini pada saya pukul 00.32 tanggal 5-12-2013:

Pak Bosssss ….

Sebenarnya ini semacam sharing sih …

Cerpen IAAI  … “Dahsyat” banget.
Cerpen ini yang membuat seorang anak akhirnya kembali pulang, memeluk ibunya. Setelah nyaris lima tahun ia pergi dari rumah dalam kemarahan dan kekesalan.

Waktu pertama kali membaca cerpen ini, hati siapa pun pasti akan “Kena”. Termasuk aku. Dari situ, akhirnya aku bertekad agar **** dan *****, dua orang rekan kerjaku di kantor membaca ini pula. Mereka yang aku tahu, sempat mem”blacklist” ibunya sendiri selama bertahun-tahun. Aku pernah menyodorkan buku-buku tentang ibu yang buat banyak orang sangat inspiratif. Tapi nyatanya? Tidak mempan untuk mereka. Bahkan sebuah novel religi tentang ibu juga tidak pernah mereka sentuh.

Tapi siapa sangka? Hati mereka justru takluk pada Cerpen IAAI ini.

Masalahnya, waktu mereka membaca aragraph awal, sempat bingung dengan pembukaan yang cepat. Aku justru suka dg cara ini. Tapi sebagai pembaca awam yang sangat jarang sekali bergelut dengan tulisan, wajar mungkin. Mereka mengulang lagi membacanya dan baru ngerti.

Aku juga bengong waktu mereka tanya lokasi yang dijelaskan dlm cerita, maklum belum pernah kesana. Cerpen emang nggak bisa sedetil novel, mereka bisa paham juga akhirnya.

Overall … IAAI keren banget!
Lima tahun tanpa komunikasi, bahkan cenderung melupakan ibunya. Ketidaksepahaman yang akhirnya memutuskan silaturahmi antara ibu dan anak, mencair sudah. Jujur sih, aku kaget waktu **** bilang “Aku mau pulang!”
Kalimat itu sudah sangat cukup bagi kami, rekan kerjanya. Entah sudah seperti apa kerinduan si ibu untuk memeluk anak lelaki satu-satunya itu.

Kejadian ini membuatku percaya. Bahwa bukan status bestseller yang membuat sebuah karya itu hidup. Tapi sesederhana apa pun ia, saat bisa membawa pembaca pada arah yang lebih baik dan bermanfaat, maka itu sudah jauh lebih besar maknanya dari plakat bestseller. IAAI punya kekuatan itu.

Pak Boss ….
IAAI harus jadi novel! Harus!!!

****
Saya sudah ijin pada pengirim email itu untuk saya posting, dengan sedikit sensor pada nama dimaksud. Bahwa cerpen “Ini Aku, Anakmu, Ibu…” #IAAI banyak yang suka, menjadikan mata pembaca bergerimis, alhamdulillah. Namun saya pun berterimakasih pada seseorang yang memberikan kritik pada cerpen tersebut. Artinya, di satu sisi saya memahami bahwa #IAAI niscaya memiliki keterbatasan, dan untuk itu saya menerima segala macam masukan, kritik, namun di sisi lain saya bersetuju dengan Jorge Luis Borges, penulis, esais, dan penyair Argentina, bahwa saat karya dilempar ke publik, biarkanlah ia menjadi milik publik, diterjemahkan dan dimaknai seluas-luasnya oleh publik.
Di #KampusFiksi saya selalu setia berkata, bahwa menjadi penulis akan meraih setidaknya tiga kelebihan, yakni: (1) Pengetahuan di atas rata-rata karena ia tertuntut untuk memberikan sesuatu yang lebih kepada pembacanya,  (2) Kemampuan menafsirkan sesuatu dengan ragam sudut pandang yang berbeda sekalipun, dan (3) Menginspirasi pembacanya, menciptakan internalisasi nilai, dan mempengaruhi kehidupannya.
Terlalu gegabah memang untuk menyatakan bahwa #IAAI sebagai sebuah cerpen yang ditulis “hanya” dalam tempo 3 jam telah menginspirasi dan mengubah hidup orang. Saya tahu ini membutuhkan pembuktian sejarah yang panjang, bahkan mungkin saat saya sudah tak ada lagi. Tapi email tersebut sukses membuat saya menangis semalam, kala dini hari, lalu berkirim Faatihah untuk almarhumam ibu saat itu juga.
Hidayah tentu saja dari Tuhan, namun secara alamiah akan selalu ada perantaranya. Jika #IAAI tampil sebagai sebuah perantara bagi seseorang di luar sana, yang tidak saya kenal, saya patut kian semangat dan percaya bahwa menebar “sesuatu” yang bermanfaat tidaklah harus dengan melulu stay cool di rumah-rumah ibadah.
Ada begitu banyak cara bagi setiap kita untuk menebar “sesuatu” itu. Menulis fiksi adalah satu di antaranya. Menjadi ustadz adalah salah satu cara lainnya. Tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan lainnya. Semuanya selalu tergantung pada seberapa banyak “sesuatu” itu menerbitkan kemanfaatan bagi orang lain.
Sebagai anak yang pasti memiliki seorang ibu, seburuk apa pun ibumu, tidaklah pantas engkau menepikannya. Tanpa seorang ibu, engkau takkan pernah menjadi siapa-siapa.
Ah, sudahlah, lama-lama kok saya jadi ustadz gini. Saya sudahi tulisan ini sebelum  sebuah “preeeettt” dilemparkan tanpa ampun oleh seseorang yang paling preett dalam hidup saya. Dia memang preeett saya, saya pun preett-nya, dan kami demen banget ber-prettt-preett-an. We are pretttt! Lol.
Jogja, 5 Desember 2013
1 Komentar untuk "SEMUA KITA TAKKAN PERNAH ADA TANPA ADANYA IBU… (Catatan Haru dari Pembaca Cerpen #IAAI)"

pak boss, aku kirimin cerpennya dong....
dulu aku udah mention pak bos di twitter sama koment di fp divapress tapi belom dikirimi juga.... :(
ini emailku: mszbgz@gmail.com

Back To Top