Personal Blog

MEMBACA SIMBOL KHULDI (Mengapa Khuldi Dilarang untuk Didekati?)



Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya (Adam dan Hawa) untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka….dan setan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, kecuali supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau orang-orang kekal (dalam surga).” (QS. al-A’raf : 20).

Lazim memahami khuldi sebagai buah/pohon terlarang. Lazim mengenal kisah pelarangan khuldi untuk dimakan oleh Adam dan Hawa di surga. Lalu Adam dan Hawa melanggar larangan tersebut akibat tergoda setan. Maka Adam dan Hawa mengalami kejatuhan. Ya, kejatuhan dari surga.
Dituturkan pula bahwa Adam harus menempuh masa 400 tahun untuk berjumpa kembali dengan Hawa. Adam diturunkan di India, Hawa di Jeddah, Saudi Arabia. Mereka lalu bertemu di Jabal Rahmah (Bukit Cinta), wilayah sekitar Mina, yang kini diabadikan dalam sebuah tugu menjulang, yang selalu padat disesaki jamaah haji dan umrah. Sayangnya, tugu itu harus dicat secara berkala lantaran penuh corat-coret nama para peziarah, yang memitoskan bahwa jika nama mereka dan pasangannya dituliskan di tugu itu, maka cinta mereka akan abadi. Bagi yang belum memiliki pasangan, akan dimudahkan untuk segera mendapatkannya. Para jomblo, terutama yang sudah tergolong mature, menjadi pencoret paling serius di sini.
Saya lebih tertarik untuk mencermati khuldi sebagai sebuah “simbol pelarangan” yang selalu aktual, bukan hanya berlaku untuk Adam dan Hawa, yang berkaitan dengan “jatuh/tidaknya” martabat kita, di mata Allah dan sesama.
Yang dimaksud “pohon” dalam ayat tersebut (QS. al-A’raf : 20), adalah khuldi. Pada ayat sebelumnya, yakni ayat 20 surat yang sama, Allah mengatakan, “….janganlah mendekati pohon itu (khuldi) agar kalian tidak menjadi orang-orang yang dzalim.
Jika ayat 20 dan 21 tersebut ditafsirkan secara tematik, kita akan menemukan kesimpulan begini:
Pertama, Allah melarang Adam dan Hawa untuk “mendekati”, apalagi “memakan/melakukan”, khuldi tersebut, supaya tidak menjadi orang dzalim. Kata “mendekati khuldi” menjadi syarat seseorang terjebak sebagai dzalim. Maka kini pertanyaan logisnya adalah “Apa sih khuldi sebenarnya?”
Kedua, setan tampil menggoda Adam dan Hawa, bahkan disertai sumpah segala, bahwa maksud Allah melarang Adam dan Hawa mendekati khuldi supaya mereka tidak menjadi “malaikat” atau “orang kekal”.
Sampai di sini, kita bisa menemukan “benang merah” bahwa khuldi berkaitan dengan level “malaikat” atau “kekal”.
Mari kita tarik benang merah tersebut ke dalam kehidupan riil kita sekarang ini agar ayat tentang khuldi tersebut tidak menjadi nirmakna, dan berguna bagi hidup kita.
Pertama, malaikat. Lazim mengetahui bahwa malaikat adalah makhluk Allah yang tidak pernah inkar pada Allah, sehingga mereka disebut makhluk mulia. Ya, perhatikan kata mulia ini sebagai label malaikat.
Kita yang manusia ini memiliki dua label potensi sekaligus dalam jiwa: potensi malaikat dan potensi iblis. Adakalanya manusia bisa menjadi semulia malaikat, adakalanya bisa sebejat iblis. Saat berbuat baik, sebutlah sedekah, kita setara mulianya malaikat. Saat berbuat buruk, sebutlah korupsi, kita setara bejaknya iblis.
Apa kaitan pelarangan mendekati khuldi dalam pemaknaan malaikat ini? Bukankah memperjuangkan potensi malaikat jelas sikap mulia, lantas mengapa dilarang?
Dalam ilmu Mantiq, begitu juga dalam filsafat Hermeneutika, dikenal kaidah “makna terbalik”. Misal, seorang ibu berkata pada anaknya: “Kalau begitu, nggak usah belajar…”, maka makna aslinya bukanlah “ibu menyuruh anaknya tidak belajar”, tetapi ibu menggunakan kaidah “makna terbalik”, sehingga makna asli yang dituju adalah “Kamu harus belajar”.
Dengan analisa tersebut, pelarangan mendekati khuldi, pelarangan “menjadi malaikat”, bekerja dalam kaidah “makna terbalik” itu. Makna yang dituju adalah manusia “harus berjuang agar semulia malaikat” tetapi jangan “merasa semulia malaikat”. Dengan kata lain, “mulia” yang menjadi label malaikat jangan sampai “menjadi rasa” dalam jiwa. Menyimpan “rasa mulia malaikat” dalam dada jelas hanya akan mendorong pikiran, ucapan, dan perilaku kita seolah telah purna semua, terbenar semua, terbaik semua. Saat karakter begini menancapi kita, sontak kita terjungkal dari nilai kemuliaan itu sendiri. Kita rentan menjadi orang sombong, benar sendiri, anti belajar, anti ikhtilaf, menutup pintu-pintu kebaikan di luar kita, dan membaptis diri sebagai telah memegang kunci surga.
Saat kita merasa telah sangat banyak khatam al-Qur’an, shalat sunnah seabrek-abrek, puasa begitu lebatnya, zakat dan sedekah begitu limpahnya, sontak tersugestilah hati kita bahwa kita telah sangat mulia, semulia malaikat. Efek sugesti tersebut sontak menyulap diri kita jadi orang sombong dan lalai ber-muhasabah (introspeksi).
Watak begini justru jauh panggang dari api kemuliaan yang sejati, bukan? Jika kita belajar pada padi, selalu saja padi yang “berisi” itu merunduk, bukan?
Kedua, kekal. Saya termasuk orang yang bersetuju secara logika bahwa kematian merupakan cara Tuhan untuk memberikan orientasi dan optimisme hidup pada jiwa kita. Tidak kuasa saya bayangkan jika hidup kita tak mengenal kematian alias kekal. Selamanya. Andai manusia tak pernah mati, kita akan kehilangan orientasi. Ya, tujuan. Apa lagi gerangan yang perlu dituju dari kehidupan yang kekal? Tidak ada, bukan? Kita akan menjalani hidup ya begitu saja, berkelebat tanpa arah, berkelindan tanpa tujuan. Makan, tidur, dan beranak akan menjadi siklus satu-satunya keseharian kita. Tanpa dinamika. Tanpa passion. Berkat adanya kematian, kita menjadi memiliki orientasi, yang sangat besar, yang kita tuju setelah kematian. Dan itu tak lain adalah kehidupan akhirat.
Lalu dengan adanya kematian, kita menjadi memiliki optimisme. Optimisme bahwa kelak setelah mati, kita akan berjumpa dengan orientasi hidup kita tadi. Kita menjadi yakin bahwa kita akan menuai “hadiah” atas segala perbuatan kita selama di dunia, baik maupun buruk.
Umpama tak ada kematian, pastilah kita akan hidup stagnan tanpa optimisme apa pun. Buat apa lagi menyemai bibit optimisme bahwa besok dan besok kita akan meraih sesuatu yang luar biasa jika kita tahu bahwa kita takkan pernah berjumpa dengan orientasi hidup apa pun yang kita bangun?
Kematian, pendek kata, menghantar kita untuk mengerti bahwa bakal ada kehidupan lagi setelah kematian di dunia ini, yang itu menjadi landasan jiwa kita untuk selalu berbuat baik, demi perjumpaan dengan hadiah kebaikan pula kelak.
Kematian yang bermakna demikian menjadi lawan dari kekekalan. Orang yang merasa akan hidup kekal, pertanda ia mendekati khuldi dalam pengertian kedua itu,  niscaya akan berbuat suka-suka bak binatang. Serakah, sombong, jahat, lalim, egois merupakan sederet watak yang akan menyertai setiap perilakunya. Ia takkan merasa perlu untuk berbuat baik dan santun pada orang lain karena ia takkan pernah mati.
Seorang koruptor, misal, pastilah alpa bahwa ia akan mati, yang itu bisa terjadi kapan saja. Ia merasa akan hidup kekal selamanya, sehingga ia tega mencuri, menelan, dan menumpuk miliaran barang haram. Rasa kekekalan ternyata adalah momok penyebab kita dekat pada keburukan dan kefasikan. Wajar sekali bila Allah melarang hadirnya watak merasa kekal dalam jiwa kita, agar kita tidak menjadi bagian dari orang-orang dzalim.
Begitulah, Kawan.
Allah telah menjadikan khuldi (pohon) dalam al-Qur’an sebagai “simbol larangan” untuk didekati, apalagi dilakukan. Melalui simbol tersebut, Allah menghasratkan kita untuk tidak “merasa semulia malaikat” dan “merasa kekal” dalam laku apa pun, ubudiyah maupun mu’amalah, karena watak demikian hanya akan menjadikan kita absen dari kebaikan-kebaikan. Akibat absen dari kebaikan-kebaikan, tanpa ampun kita menjadi bagian dari orang-orang dzalim. Dan menjadi dzalim sungguh bukanlah tujuan utama yang dihasratkan kerasulan Muhammad Saw.
“Tidak ada surga bagi orang yang berbuat dzalim, sekecil apa pun…”
Wallahu’alam bis shawab.
Jogja, 6 Desember 2013
4 Komentar untuk "MEMBACA SIMBOL KHULDI (Mengapa Khuldi Dilarang untuk Didekati?)"

Good banget tulisanya mas,,

ربنا ظلمنا أنفسنا و إن لم تغفر لنا و ترحمنا لنكوننا من الخاسرين

Keren keren . Saya sependapat dengan anda . Bawasannya semua yang ada di dunia ini adalah sebuah simbol dan sebuah sindirian .

Subhanallah .. Super sekali analisanya.
Trima kasih dapat pengetahuan yg begitu mendalam.

Back To Top