Personal Blog

BOCORAN BAB 1 NOVELKU YANG DIANGKAT DARI CERPEN "INI AKU, ANAKMU, IBU..."

Ini hanya bab 1 dari calon novelku yang based on my true story.Teman-teman yang pengin komentar, memberikan kritik, kredit, dll, silakan taruh di kolom komen. Bab 2 dst takkan dipost lagi. :)) Semoga saya bisa menyelesaikannya.
BAB 1
SEMUA TAKKAN PERNAH SAMA LAGI

Beruntunglah engkau yang masih memiliki ibu…
***

Seseorang yang berwajah cinta menyentuh pundakku, seraya membisikkan sebuah kalimat yang berhasil memaksaku menoleh sekilas. “Tabahkan hatimu, Nak, ibumu sudah bahagia di alam sana…”
Aku tahu, aku tahu! Rutukan pecah di dadaku saat mataku bersitumbuk dengan matanya yang amat kukenal, yang menyimpah kelejar leleh. Mata yang pasi dan kian suram dibabat usia yang tak terlawankan. Mata Lik Jum.
“Doakan yang banyak untuk ibumu…”
“Iya, Lik…” Suaraku cekat terobek lengking tangis kakak yang meluluhlantakkan sekujur rumah yang kian ramai disesaki handai tolan ini.
“Aku tahu ibu sudah bahagia di sana…” lengking kakakku sambil menarik pundakku ke pelukannya. Pipinya bersentuhan dengan pipiku. Air hangat tanpa ampun menjalarkan luka yang tak bakal pernah kuasa disembuhkan oleh keajaiban obat apa pun. Luka yang dipahatkan oleh kehilangan orang tercinta benar-benar akan menyala abadi sampai hayat terampas, menyeret serta luka itu menjadi tanah. “Aku tahu ibu sangat bahagia sekarang, tapi aku masih ingin menangis sekarang, aku ingin menangis…”
Isaknya yang ini berhasil kembali menetaskan telur-telur putik di kelopak mataku. Kupeluk erat dia, sedalam mungkin yang kubisa. Aku pun amat terluka, Kak, begitu sangat, dengan sakit yang tak kuasa diwakili oleh narasi apa pun.
Orang-orang yang menyimpan kabut di matanya menatap kami yang sangat lama berpelukan. Kabut di mata mereka sudah lebih dari cukup untuk mengabarkan padaku bahwa pastilah mereka amat mengerti betapa kami yang amat sangat mencintai ibu sangat guncang setelah semalam menerima kabar dari seberang, dari tanah suci, dari K.H. As’adi, bahwa ibu yang beberapa hari lalu didera diabetes telah meninggal dunia di kamar 112 hotel Grand Mekkah di daerah Misfalah.
“Padahal sebelum berangkat ia baik-baik saja…” Senyap terobek oleh gumam kakak.
“Ibu juga sudah diperiksa oleh dokter Bambang langganannya dan dinyatakan sehat walafiat siap berangkat umrah…” timpalku.
“Sebelum berangkat, justru kami agak mengkhawatirkan kesehatan abah…”
“Justru ibulah yang sakit di sana, hampir seminggu lalu, dan ia tak mampu bertahan lagi…”
Ceracau kami sempurna menyumpal obrolan-obrolan kecil di beranda rumah ibu yang tak seberapa besar ini. Tak ada lagi sehelai kalimat pun dari mereka. Juga Lik Jum yang amat menyayangi kami. Ia pun pastilah mengerti bahwa bisikan lembut ketabahan dan kesabaran apa pun pada setangkup hati yang sedang dihajar luka kehilangan takkan pernah sanggup meleraikan hati itu dari darahnya yang berceceran. Luka tetaplah luka, yang walaupun mungkin suatu kelak akan kering, ia selalu membutuhkan masa yang tidak sejengkal. Bentangannya bakal sangat lama, begitu lama, bahkan bisa sampai tersangkut sepanjang hayatnya, turut bersemayam di liang lahat.
Aku tiba-tiba teringat masa 8 bulan lalu, saat kupeluk tubuh mungil Milla, sepupuku yang masih lengkap dengan seragam SMA-nya, di ruang tengah rumahnya yang menyimpan sebujur tubuh beku Lik Adnan, adik abah, yang meninggal akibat serangan liver. Saat itu, aku memeluknya dengan amat erat, mengusap leleh airmata di pipi dan dagunya, lalu membisikkan kata-kata ketabahan dan kesabaran.
“Sabar ya, Mil, semua kita akan meninggalkan dunia ini, menjauh dari orang-orang tercintanya. Semua kita hanya menunggu giliran. Kini giliran bapakmu telah tiba. Nanti, ya, nanti, pasti bakal tiba giliranku, giliranmu, dan semuanya…” Kucium dalam-dalam keningnya yang berkeringat.
Ia merapatkan cengkeraman peluknya ke tubuhku. Tangisnya ledak bertubi-tubi, mengguncang-guncangkan tubuh mungilnya. Dadanya berkelejar, begitu deras melesakkan duka tanpa dasar ke tubuhku.
“Bapak sudah nggak ada, Mas, lalu aku akan sama siapa lagi kalau mau jalan-jalan, Mas…”
Ya Rabb…
Aku tak kuasa menggumamkan kalimat apa pun lagi. Kosong, amat fana. Segala macam bisik kearifan yang selama ini begitu kusuka, kadangkala dengan enteng kututurkan pada orang lain yang tengah lara, kini tak lagi memiliki tajinya untuk mendamaikan hati adik sepupuku ini. Ya, ya, ternyata kalimat sakti apa pun tak cukup mumpuni untuk meredakan gemuruh dada yang sedang terluka. Tapi gerangan apa lagi yang bisa kuperbuat di hadapan orang yang sedang kehilangan belahan jiwa yang amat dicintainya kecuali kata-kata yang bernada kearifan?
Tak ada. Hanya itu. Ya, hanya begitulah kemampuan verbal kita, bukan? Mungkin pelukan dan ciuman lebih digdaya di atas kata-kata. Mungkin tubuh lebih memiliki energi untuk merayapkan sedikit ketenangan.
Rupanya, dugaanku dulu salah telak! Total salahnya! Saat aku mengalaminya sendiri, saat ibu yang menyimpan separuh hatiku benar-benar pergi dari kehidupanku, aku pun kapar tanpa ampun. Segala macam bacaanku tentang ketabahan, kesabaran, dan keikhlasan punah lindap tak berjejak. Tanpa sisa. Yang ada hanyalah airmata, luka, darah, nestapa, dan sorot mata yang buram tanpa makna.
Lik Jum memelukku dari belakang. Mengelus kedua pipiku dengan tangannya yang kisut. Ia tahu apa yang biasa ibu lakukan padaku: memegang kedua pipiku, lalu menatapku dengan rata dari atas ke bawah sampai ia yakin bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja.
“Ayo, makan dulu, sudah kusiapin…” suaranya hinggap ke telingaku.
Aku berbalik, melepaskan pelukku dari tubuh kakakku, dan mendapatinya tengah memasang wajah yang mencemaskan kesehatanku.
“Ayuk, makan dulu…” ujarnya, lagi.
Aku tak menyahut, hanya mengikut langkahnya masuk ke dalam rumah. Rumah ini sungguh takkan pernah sama lagi, meski tak ada seinci barang pun yang bergeser di dalamnya. Ibu yang menjadikan rumah ini kini amat berbeda. Ya, berbeda sama sekali di hatiku.
“Mau disuapin?” bisik Lik Jum sambil memegang piring yang penuh lauk dan kuah maronggi kesukaanku.
Aku menggeleng.
“Nggak apa-apa, aku ibumu…”
Tanpa menunggu jawabanku, kulihat tangan Lik Jum begitu tangkas menjumput nasi, mencampur dengan lauk, lalu menyodorkannya ke bibirku yang gersang. Kubuka bibirku perlahan, menerima suapannya. Tangannya yang kisut, sekisut tangan ibu lantaran mereka memang sebaya, bersentuhan dengan bibirku. Kutelan perlahan nasi yang berpindah ke mulutku.
Tak sama! Sangat berbeda! Tangan ibu yang kisut, yang bersentuhan dengan bibirku saat menyuapiku, yang terakhir dilakukannya 20 hari lalu, sehari sebelum ia berangkat ke Mekkah, penuh keajaiban rasa yang tak terwakilkan oleh diksi apa pun. Tangan Lik Jum bukanlah tangan ibu, meski memiliki tekstur usia yang sama.
Sambil menelan kunyahan yang kesekian, Lik Jum bercerita bahwa ibu adalah orang yang amat mujur karena meninggal di Mekkah dan dikuburkan di tanah Haram. Lik Jum juga memintaku untuk tidak sungkan memeluknya jika nanti-natinya aku tengah didera kerinduan pada ibu.
“Sekarang akulah ibumu…”
Aku mengangguk tanpa suara, sayu. Sesayu hatiku yang tak kuasa diisi oleh cinta apa pun dari selain ibu.
Ibuku yang meninggal di Mekkah tidaklah sama dengan siapa pun, tidak juga Lik Jum, gumamku. Ibuku adalah wanita yang sangat berbeda saat menyentuhku, memelukku, menangisiku, dan menyuapiku.
Aku mengerang sambil mengusap danau hangat yang kembali ruah di pipiku. Ibu, aku nggak mau kehilanganmu…

15 Komentar untuk "BOCORAN BAB 1 NOVELKU YANG DIANGKAT DARI CERPEN "INI AKU, ANAKMU, IBU...""

Cerita yang rekaan saja bisa menjungkir-balikkan rasa, apalagi ini yang true story.... *lebihnendang

baru Bab awal saja saya sudah bisa merasakan klimaks rasa. benar-benar mengaduk-aduk perasaan. Diksi juga bagus sekali. permainan pilihan kata yang mantap dan tidak mubazir, penuh makna.

ini baru sepotong tapi sudah menggetarkan hati, bagaimana dengan sepuluh atau potongan lainnya T.T

ceritanya bagus
membuat terenyuh
aku iriiiii hhh dg tulisan ini :3 pengen bisa nulis macam nii TT

Bab I yah?

Tidak bertele-tele seperti beberapa novel penulis terkenal di tanah air.

Ini menandakan, penulis bisa melakukan apa saja tanpa harus mengikuti standart baku sebuah bab.

Keren Pak BoS.

Langsung Jleb... saya yakin bab-bab berikutnya tidak akan anti klimaks...
Ngiri dg Pak Edi yg masih sering disuapin Ibu :)
Semoga novelnya cepat kelar. Insya Allah.
(Jangan lama-lama deng...)

Mksiihh semua komennya
Semoga setahun ke depan kelar. Msh ada bbrp detail yg hrs sy buru trutama seputar kubur ibu n prosesi menshalati jenazah di masjidil haram. Doa kalian semua smga bernilai kebaikan di sisi Tuhan. Amin

Tanpa mengurasi rasa hormat pada Pak Edi.
Entah dengan orang lain, tapi saya merasa diksi yang digunakan dalam cerpen ini agak berlebihan. Maksud saya, dalam beberapa kalimat pembaca dijejali diksi yang bertubi-tubi, yang justru terkesan bahwa si penulis ingin memerkan keluasan diksi yang ia punyai.

Dan, saya agak terganggu dengan penggunaan kata " amat sangat" dalam paragraf lima. Berikut kutipannya. 'betapa kami yang amat sangat mencintai ibu sangat guncang setelah semalam menerima kabar dari seberang'
Apa tidak lebih baik memilih salah satu diantaranya. Amat atau sangat. Tidak perlu keduannya.
Terimakasih :)

kalo udah jadi saya PO ya pak ihihihi... suka sekali sama novel bertema ayah or ibu. :) Apalagi yang ini. Based on true story pula.

Sudah baca cerpennya, behind the storynya, bab 1 nya. Hihi, iri dengan kedekatan pak Edi sama ibu. Buat tekniknya, selalu suka pak. Jd mau latihan terus.

Bening: heee iya makasih inputnya. Memang di antara "gaya" sy ialah demen menggunakan kalaimt2 panjang bersayap2 dan berdiksi. Kalao dlm bahasa guru sy, M.. Faizi, semoga dia ntr komen, "khas edi". juga dalam.kumcer terbaru sy Penjaja Cerita Cinta. Ya ini soal kesukaan personal aja sih. Risiko terliht bombas emang tak terhindarkan juga sih. Namun sy selalu berusaha tidak menjadika diksi menenggelamkan isi. Kayaknya sy jg banyak dipengaruhi oleh ksukaan sy ma Seno gumira ajidarma. Jg risiko bergaull dgn agus noor. Penggunaan "amat sangat" sy tahu secara kaidah bahasa kurang bs diterima. Tp sy termasuk penulis yg meletakkan sastra sebagai capaian estetikabahasa personal. Mas AS Laksana nggak demen pake frase, misal, tp sy pake dldm snapshot. Terdengar egois ya heeee tp aa mau dikata udah kadung suka gitu sih. Di KampusFiksi sy selalu ngomong ttg pentingnya diksi. Tp jgn sampe diksi membunuh isi dgn menjadikannya gelap gulita sulit diphami pembaca. Thx ya masukannya.

Petra dan isti: semalam sy terima mail dr seseorang yg udh 5 thun nggak ketemu ibunya krn crash. Stelah dia baca cerpen IAAI,dia pulang. Huuu aku jd mewek sendiri baca mailnya.

Wah, saya suka penuturan bahasanya, walaupun agak sedikit bingung karena kosakata yang saya miliki juga masih sedikit. Yah ini mungkin salah saya karena kurang belajar, mengingat saya bukan sastrawan, hhehe...

Tapi alur ceritanya menurut saya sudah sangat bagus. Cukup menyentuh hati bagi mereka yang memiliki hati. Walau saya bukan seseorang yang terlalu menyukai bahasa sastra, tapi melihat tulisan bapak cukup membuat saya tertarik dan tersentuh. *hiks*

Seru juga bacanya,,, btw novelnya udah terbit gans?

Back To Top