Personal Blog

SEBUAH SHALAT DI MASJID BIRU (BLUE MOSQUE) (OTTOMAN PART 2)



15 Pebruari 2014.
Seperti disinggung dalam posting sebelumnya, sebelum ke Aya Sofia, saya pertama kali menginjakkan kaki di kota Istanbul di areal pedestrian dekat tempat wudhu khusus laki-laki Blue Mosque (Masjid Biru). Histeria langsung memenuhi kepala saya, bahkan saat mata baru pertama kali melihat julangan menara dan kubahnya yang keabu-abuan seolah menyimpan jutaan karisma dan misteri dari dalam bus.


Sudah telat shalat Dhuhur, jadi saya memutuskan untuk terlebih dahulu menjamak shalat Dhuhur dan Ashr saja di Blue Mosque. Oke, saya ngikik aja mendengar celoteh seorang pelancong lain yang menceritakan bahwa air wudhu di Blue Mosque panas mendidih. “So be carefull….” ujarnya.
Cuaca sedang 6 derajat Celicius dan dia bilang airnya mendidih. “You are kidding me,” gumam saya dalam hati. Saya putar kran yang berderet banyak di sisi timur bangunan Blue Mosque ini (lagi-lagi posisi arah ini hanya menurut saya lho ya), tentu setelah melepas jaket, kaos tangan, kaos kaki, sepatu, dan tutup kepala. Dan….brrrrrrr…!



Saya panggil kakak yang berdiri di sebelah saya:
“Kamu bawa Nutrisari nggak?”
Ia menatap saya agak bingung. “Nutrisari? Untuk apa?”
“Bikin es Nutrisari enak nih, tinggal tuangin Nutrisarinya ke mulut, lalu nadahin mulut ke kran dan nelan air Blue Mosque sebanyak-banyaknya, diaduk di dalam perut ntar sambil lompat-lompat….”
Dia ngakak. Saya juga tentunya. Beberapa pelancong dari negeri asing menatap kami.
Sumpah, aslinya, saya tak berani mengambil air wudhu di sini. Jika boleh memilih, lebih baik saya diperintahkan oleh al-Fatih untuk duel dengan jagoan prajurit Romawi saja. Ngoaahhaaa…. Tapi, saya juga bukan tipe orang yang gampangan ngambil rukhsah (keringanan hukum). Saya nggak mau seenaknya memudahkan perkara wudhu dengan bertayamum saja hanya karena alasan dingin banget. Saya pikir, jika sikon ini lantas dijadikan ‘illatul hukmi (penyebab hukum) dibolehkannya bertayamum, maka niscaya semua orang Istanbul sejak zaman dulu bakal tayamum selamanya. Hemm, ya sih syariat kita memang memberikan banyak rukhsah untuk situasi-situasi darurat tertentu, tapi menurut saya diperlukan fairness dalam hati sendiri sebelum mengeksekusi sebuah rukhsah. Bukankah batas antara “terpaksa” dan “malas” yang melandasi kita mengambil sebuah rukhsah itu sangat tipis? Bilangnya darurat jadi terpaksa ngambil rukhsah, padahal hatinya tahu itu cuma kemasalan. Nggak benar kamu jadi muslim! Sama persis kayak orang penginnya jadi novelis, tapi nulis satu bab aja butuh sebulan lebih, sampai kayak lebih ngebet yang bimbingin daripada yang nulis. Itu batas antara matengin dan malas tipis banget. Nggak benar kamu mau jadi novelis! #eh malah kemana-mana yak…
Tapi beneran, Sob, ini memang air dingin yang sangat tulus lho. Jika cinta saja kadang tidak tulus, air wudhu Blue Mosque ini selalu tulus! Suer! Pikir punya pikir, saya memilih main aman. Piye kui? Saya kecilkan air kran, lalu kedua telapak tangan saya sentuhkan ke air dikit-dikit, lalu berwudhu. Iya, benar, wudhunya kayak orang ngirit air, asal membasahi bagian-bagian tubuh sebagai rukun wudhu. Padahal, rahasia lho ya, ini aslinya semata karena nggak tahan dinginnya air.
FYI, sebagai pembanding, jika kau pernah nyemplungin tubuhmu ke air di ketinggian Dieng Wonosobo, yang menurut saya dinginnya paling masya Allah di antara dataran-dataran tinggi lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi, di sini, di Blue Mosque, saya jamin dinginnya bisa 3-4 kali lipatnya!
Oke, saya pun langsung menaiki undakan ke dalam masjid. Masjid ini sungguh besar segala-galanya: luasnya, tingginya, bentangannya, ketebalannya, dan kekokohannya.  


Di bagian depan masjid, tetapi sudah masuk bagian dalamnya, terdapat pelataran terbuka yang dijadikan areal shalat pula setiap kali jamaah membludak. Biasanya, pada saat shalat Jum’at dan dua hari raya saja. Pada shalat-shalat fardhu harian, jamaahnnya tak banyak. Tak ada seperempat areal dalam masjid yang terpakai shaf



Di pintu masuk ke bagian utama masjid yang dikarpeti tebal-tebal (jadi, ada pintu di dalam pintu gitu), terdapat beberapa petugas yang membagikan plastik-plastik untuk kantong sepatu kepada para pengunjungnya. Saya pun menerima dari petugas itu, lalu mencopot sepatu, dan masuk ke dalam. Sepatu-sepatu yang sudah diplastiki diletakkan di rak-rak yang telah disediakan.
Arsitektur Blue Mosque ini identik dengan Aya Sofia. Pengaruh gaya arsitektur Romawi begitu kentara di sini, meski Blue Mosque sendiri dibangun sekitar 1.100 tahun kemudian setelah Aya Sofia. Dicirikan dengan empat buah tiang (saka) utama yang super jumbo. Saya prediksi, diperlukan sekitar 10 orang dewasa saling bergandengan tangan membentuk lingkaran untuk bisa memeluk sebuah tiangnya. Benar-benar gueeedeeee! Dan semuanya dilapisi marmer!
Kondisi Blue Mosque yang sudah berusia 400-an tahun ini asli semua. Mulai dari lantai marmernya, mozaik keramik-keramik di dindingnya, hingga seluruh interior kubah-kubahnya. Saya perkirakan ketinggian kubah utama yang persis berada di tengah ruangan Blue Mosque ini bisa 30 meteran. Butuh 18 orang setinggi saya untuk disusun agar bisa menyentuhkan tangan ke kubah itu. Kalau kamu pernah ikut seleksi Akademi Kebidanan dan tidak lolos karena kurang tinggi badan, ya silakan dikalikan aja sendiri kira-kira butuh berapa banyak orang sepertimu, ngoaaahhaaa…piss.
Keunikan arsitekturnya terketak pada pola “arsitektur gajah” (maaf, jika istilah ini ganjil ya). Apa itu? Empat tiang utama yang super raksasa itu bak empat kaki gajah, lalu kubah utama yang super raksasa di atas yang berpangku pada empat tiang itu sebagai punggung gajahnya. Kekokohannya tak perlu diragukan lagi. Plusnya lagi, kekokohan ini didukung oleh “kubah-kubah kecil lainnya”, yang jumlahnya sangat banyak, yang saling mengapit satu sama lainnya, dengan saling menumpu pada kubah utama.


FYI, Istanbul termasuk kota yang rawan gempa. Kecerdikan arsitektur gajah seperti itu saya kira memiliki kaitan erat dengan kesadaran antisipasi gempa. Umpama terjadi gempa di sini, maka energi gempa itu akan terserap dan terbagikan secara merata ke seluruh tubuh bangunan ini. Persis kayak teknologi penyebaran energi pengereman dalam kecepatan tinggi ke empat roda mobil Audi dan Mercedes yang baru belakangan ini diciptakan.
Bahkan, kata seorang Turki yang saya tanyai, Mr. Murad, di bawah masjid ini terdapat sebuah ruangan khusus yang berfungsi sebagai kontrol pondasinya. Behhhh! Mr. Murad juga bercerita bahwa kekuatan tembok dan tiang-tiang masjid ini bukan hanya karena potongan batu-batu besar yang disusun secara presisi, tapi juga berkat disiram timah hitam yang dicairkan untuk mengikat masing-masing batu bangunan itu.
“Mereka tidak memilih besi karena besi lebih terbatas waktunya akibat korosi atau pengaratan. Kalau timah hitam itu anti korosi,” ujarnya.
Sampai hari ini, Blue Mosque dipakai sebagai tempat ibadah umat Islam. Dan, sejak adanya Blue Mosque, Aya Sofia tak lagi difungsikan sebagai masjid. Yes, saya bisa shalat di tempat ini. Bukan kok karena fadhilahnya sih, tapi romantika masa depan aja (bukan masa lalu). Kelak, saya kan cerita ke cucu-cucu bahwa saya pernah shalat di dalam Blue Mosque, kalian masak shalatnya hanya di masjid sebelah rumah aja #IfYouKnowWhatIMean, saya punya senjata kan untuk mendesak mereka bepergian lebih jauh dari saya kelak….









Di bagian tengah ruangan utama Blue Mosque ini, terdapat sebuah pagar buatan baru (maksud saya bukan bagian dari bangunan asli), yang menjadi batas bagi pengunjung wanita dan non muslim. Iya lho, sekalipun ini masjid sampai hari ini, orang-orang non muslim diperbolehkan masuk ke dalamnya sampai batas maksimal pagar itu. Untuk pengunjung wanita yang muslimah, jika ingin shalat, di bagian belakang dekat pintu masuk, disediakan beberapa tempat shalat khusus yang ditinggikan dari lantai seperti surau-surau begitu.
Namun setengah jam sebelum adzan, masjid ini ditutup untuk pelancong. Hanya diperbolehkan bagi orang yang mau shalat jamaah. Setengah jam sesudah shalat dibuka lagi untuk umum. Sore hari, jelang Maghrib, masjid ini ditutup untuk umum.
Saya keluar dari Blue Mosque ini setelah puas menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan keelokan dan keunikan masjid tua ini. Pintu keluar terdapat di sisi barat (lagi-lagi ini kata saya. Sumpah, saya bingung arah, tapi saya nggak pernah minat lihat kompas karena dalam ketersesatan arah begitu saya menjadi benar-benar merasa berada di kota asing). Di seberang pintu keluar ini, ya sekitar sepelemparan tombak, terdapat taman-taman yang unik. Pohon-pohon meranggas gundul diterkam winter. Jepret sana sini, kok rasanya saya seolah sedang berada di kampung Harry Potter aja.




Eksotik banget!
Oke, saya mencatat di MemoPad, tanggal 15 Pebruari 2014, sore hari waktu Istanbul, saya terduduk penuh takjub di sebuah taman di hadapan Masjid Sultan Ahmed, nama asli Blue Mosque ini. Masjid yang diarsiteki Sedefhar Mehmet Aga ini dikenal dengan sebutan Masjid Biru lantaran dulunya didominasi oleh warna biru. Namun sekarang dominasi warna biru itu sudah tak kentara lagi.
Inilah salah satu masjid spektakuler warisan sejarah Islam dunia yang dibangun antara tahun 1609-1616 M di era Sultan Ahmed I, salah satu sultan Ottoman, yang dimakamkan di halaman masjid ini pula. Lokasi masjid yang telah berusia lebih dari 400-an tahun ini berhadapan dengan Aya Sofia (hanya dipisahkan sebuah taman dan pedestrian luas) dan berdekatan dengan situs kuno Hippodrome.





Ia juga sangat dekat dengan Istana Topkapi, tempat tinggal para sultan Ottoman, yang hari ini berfungsi sebagai museum, yang menyimpan benda-benda bersejarah tiada tara, seperti tongkat nabi Musa, pedang Nabi Daud, kopiah nabi Ibrahim, surban nabi Yusuf, hingga busur, pedang, mangkok minuman, helaian rambut dan jenggot Rasulullah Saw., dan pedang Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, jubah Aisyah, dan pedang-pedang para sahabat terkemuka lainnya, hingga beragam jenis perhiasan super mewah dari kerajaan Ottoman.
Blue Mosque juga tidak jauh dari selat Bosphorus (sebuah bentangan laut yang lebih kecil dari selat Madura, yang memisahkan daratan Eropa dan Asia, Broohhh…). Hadapkan matamu ke barat, kau akan melihat Eropa. Tolehkan ke timur, kan akan melihat Asia.
Ampunnn deh!



11 Komentar untuk "SEBUAH SHALAT DI MASJID BIRU (BLUE MOSQUE) (OTTOMAN PART 2)"

Pak Edi yang ke Istanbul, kita yang ga ikut bisa merasakan keindahan Blue Mosque. Very thank you Pak. Seneng bacanya. :D

indah, fotonya kenapa pada kurang jelas, ya, Om? jadi makin semangat untuk kesana hihihi

Subhanallah...

Jadi pengen juga kesana... ^_^

Keren banget. (y)
Tenang pak. Kalo emang rejekinya sih. Saya juga kesono. tapi ga tau kapan.

semoga instanbul bisa jadi perjalanan saya berikutnya,,

Ia masuk dlm buku ttg tempat2 yg harus kau kunjungi sebelum mati

Iyaa asal diperjuangkan juga biar rezekinya datang beneran

Di aku terang kok om, resolusinya jg ok

Back To Top