Personal Blog

APA IYA DENGAN MENIKAH, LALU KAMU AKAN KAYA? (Salah Satu Ulasan dalam Buku “PUTUSIN NGGAK, YA?”)




 


Saya cukup terusik dengan ramainya pengekor kesimpulan dalil bahwa menikah akan membuatmu kaya. Dalil yang lazim dipakai oleh mereka adalah ini:

Dan, kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan, Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nuur [24]: 32).

Rasulullah Saw. bersabda, “Miskin, miskin, miskin seorang laki-laki yang belum mempunyai istri.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah sekalipun laki-laki itu banyak hartanya?” “Ya, meskipun ia banyak hartanya.” Rasulullah Saw. bersabda kembali, “Miskin, miskin, miskin, perempuan yang belum bersuami.” Para sahabat bertanya, “Apakah sekalipun wanita itu banyak hartanya?” Rasulullah Saw. menjawab, “Ya, sekalipun ia banyak hartanya.” (HR. Thabrani).

Dengan menggunakan pisau analisa tematik (mengumpulkan dalil-dalil bertema sejenis), saya menolak kesimpulan tersebut  dengan menyatakan:hidup ini selalu bekerja dalam sunnatullah.”
Sunnatullah adalah “hukum alam” atau “kausalitas”. Banyak sekali dalil dalam al-Qur’an dan hadits yang bertutur tentang “kandungan sunnatullah” ini dalam hal apa pun, termasuk dalam bab menikah dan kaya itu. Prasyarat sunnatullah ini harus kita perjuangkan alias taken. Bukan given!
Kau lahir dengan rambut kriting, itu given.
Kau lahir dengan hidung lebih pendek dari bibir, itu given.
Kau menjadi orang ahli novel, itu taken.
Kau jago hermeneutika, itu taken.
Kau jadi orang kaya, itu taken.
Given itu ditakdirkan, taken itu diperjuangkan. Logika sunnatullah ini sungguh sangat sederhana, bukan?
Tak ada ceritanya, lantaran kau ahli shalat Dhuha, lalu kau bisa kaya tanpa kerja keras (sebab kau tidak memenuhi sunnatullah-nya).
Tak ada riwayatnya, lantaran kau ahli puasa Senin Kamis, lalu kau bisa bahagia tanpa kau penuhi semua kebutuhan hidupmu sebagai manusia (sebab kau tidak memenuhi sunnatullah-nya).
Tak ada kisahnya, lantaran kau sudah menikah, lalu kau bisa kaya begitu saja tanpa memenuhi prasyarat untuk kaya itu sendiri (sebab kau tidak memenuhi sunnatullah-nya).
Biar lebih mantap, silakan teliti ayat ini:

“Perumpamaan (nafkah/sedekah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 261).

Kiasan “sebutir benih” pada ayat tersebut adalah “motivasi usaha”, yakni prasyarat sunnatullah itu tadi. Logikanya: sebiji benih aja begitu, apalagi jika seribu benih?
Jelas hasilnya akan berbeda antara orang yang memenuhi prasyarat sunnatullah dengan sebiji benih dibanding mereka yang menyemai prasyarat sunnatullah berupa seribu benih.
So, Kawan, mari letakkan secara proporsional maksud prasyarat sunnatullah ini.

Apalagi ditambah dalil-dalil ini:

...Sesungguhnya, Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.... (QS. ar-Ra’d [13]: 11).

“Bekerjalah kamu untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah kamu untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.” (HR.  Tirmidzi).

****
“Bukannya Allah Maha Kuasa? Jadi, bisa aja, dong, Allah melimpahkan apa pun pada siapa pun sebagai sifat Maha Kuasa-Nya?”

“Tuh kan juga ada kisah tentang Allah memasukkan surga seseorang gara-gara memberikan minum pada seekor anjing yang kehausan? Itu kan tanda Kuasa Allah, kan?”

Iya. Bisa banget. Itu Hak Prerogatif-Nya!
Tapi, siapa ente coba di depan Allah? Kok pede banget gitu merasa bakal dipilih oleh Allah sehingga main pasrah-pasrahan gitu? J
Kita nggak pernah tahu apakah saya, kau, atau dia yang dipilih oleh Allah berdasar prerogatif kemahakuasaan-Nya. So, memasrahkan nasib dan masa depan pada ketidaktahuan sejenis itu jelas adalah kekonyolan belaka, to? (Tolong ini tidak usah dikait-kaitkan dengan soal iman, karena konteksnya beda sama sekali).
Ini sama persis dengan berpegang pada prinsip “Ajal setiap orang telah ditentukan oleh Allah, dan tak ada yang tahu.” Lalu, di sebuah lampu merah yang sedang menyala, kau melintas begitu saja dengan berpasrah pada statemen itu. Apa yang terjadi? Ya gitu, deh.... *keranda diarak*
Atau, kau ingin cepat sampai ke lantai dasar dari posisi berada di lantai 10 sebuah hotel. Atas dasar prinsip itu, lalu kau main lompat aja dari lantai 10. “Jika belum ajalku, pasti selamat kok, sudah ada jaminannya kok tentang matinya manusia.” Apa yang terjadi? Ya gitu lagi, deh.... *keranda digotong*
Paling elok dan bijak buat kita ialah melakukan taken itu, perjuangan itu, memenuhi prasyarat sunnatullah itu.
Inilah saya kira letak maksud dari ayat: “Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan, Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nuur [24]: 32). Juga ayat: “Dan, orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya....” (QS. an-Nuur [24]: 33).

Perhatikan, kedua ayat tersebut berurutan lho. Ayat 32 dan 33. Menelan secara tekstual hanya pada ayat 32, kau akan menyimpulkan bahwa “Allah akan menjadikanmu kaya berkat menikah”. Tapi jika kau padukan dengan ayat 33, kau akan berhasil memahami dengan lebih utuh lagi, bahwa pesan dasar dari kedua ayat tersebut adalah: (1) Kalau kau belum siap menikah, jagalah kesucian dirimu, (2) Kau harus kerja keras supaya “Allah menjadikan mereka mampu”. Makna “Allah menjadikan mereka mampu” jelas bukan given, mak bedunduk ambruk deposito dari langit. Tidak. Ia taken, harus diperjuangkan. Berpikir logis sederhana saja, “Utuk apa coba Allah memerintah kita menjaga kesucian jika belum mampu menikah seandainya Allah akan menjadikan kaya seketika? Bukankah Allah nggak perlu repot-repot menyuruh kita menjaga kesucian jika semua orang yang menikah sontak menjadi kaya begitu saja, sebab otomatis tidak ada lagi kondisi belum siap menikah itu?”
Ngeeekkk banget kan…. J
Maka, jika kau memejamkan mata memutuskan menikah dalam keadaan mentah materi, kau akan kere!
Maka jika kau menelan dalil itu mentah-mentah tanpa penalaran logis apa pun, lalu kau menikah hanya modal bismillah, kau akan ngelus perut!
Maka jika kau bergegabah menikah hanya karena membaca sebuah buku yang menjamin kamu akan kaya setelah akad, bersiplah untuk kecewa!
Tagih aja itu si penulis yang menggaransi kau bakal kaya berkat ijab, tanpa memenuhi persyaratan sunnatullah itu.

Kawan, saatnya kita kritis lho pada apa pun, termasuk pemahaman dalil begituan. Nggak zaman lagi untuk berpikir gegabah bahwa dengan modal ijab kabul, lalu kau dikayakan oleh Allah tanpa pemenuhan prasyarat sunnatullah itu. Tolehkan saja kepalamu pada tetangga atau kawan sekitarmu yang sudah menikah, apakah mereka menjadi kaya begitu seketika sejak berumah-tangga?
Pada konteks inilah, saya berkritis pada buku Arif Rahman Lubis, Halaqah Cinta (hlm. 65). Saya kira sangat perlu baginya untuk menelaah ulang statemennya dengan melihat lebih detail asbabun nuzul atau asbabul wurud sebuah dalil dan makna dasar sebuah dalil dengan metode tematik: mengumpulkan dalil-dalil bertema sejenis, memadukkannya secara berkaitan, dan menarik kesimpulan berbasis pesan dasar darinya.
Jika kau tak keburu marah, insya Allah tulisan ini ada manfaatnya….
Jogja, 20 Mei 2014
3 Komentar untuk "APA IYA DENGAN MENIKAH, LALU KAMU AKAN KAYA? (Salah Satu Ulasan dalam Buku “PUTUSIN NGGAK, YA?”)"

Maaf, boleh saya yang punya sedikit pengetahuan ini ikut urun rembug.
Menikah itu mudah, tapi menjaga keutuhan pernikahan itu jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan sebelum masuk ke jenjang perkawinan, (1) aspek kesehatan reproduksi, (2) mental, dan (3) ekonomi inilah yang menjadi prasyarat kesiapan menikah. Kenapa aspek kesehatan reproduksi begitu penting, karena tujuan pernikahan itu adalah melanjutkan kelangsungan keturunannya. Kecuali bila orang itu tidak ingin mempunyai keturunan.
Jadi, setiap orang yang menikah pasti menginginkan anak, karena anak adalah anugerah dari Allah dan anak merupakan kekayaan yang paling berharga di dunia, jauh lebih berharga dari harta benda dunia. Karena itu sebelum menikah persiapkanlah diri untuk memeriksa kesehatan reproduksi, ini penting supaya tidak menjadi ganjalan di masa-masa hidup berumah tangga dan bisa menjaga keutuhan rumah tangga.
Aspek kedua, yaitu aspek mental dimana mental menunjukkan kedewasaan dalam mengisi hari-hari dalam kehidupan berumah tangga. Jika, seseorang belum siap secara mental untuk menikah, jangan sekali-kali mengajukan permohonan untuk menikah. Karena pernikahan itu merupakan suatu bentuk penyatuan daging. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia, hanya kematianlah yang dapat memisahkan manusia
Aspek ketiga, yaitu aspek ekonomi, ini jelas karena pernikahan tidak saja didasari oleh saling mencinta, tapi juga harus didukung oleh kesiapan ekonomi. Karena tanpa kesiapan ekonomi, pernikahan akan kedodoran, dan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, pegadaian menjadi langganan tetapnya.
Lalu, apa hubungannya dengan miskin dan setelah menikah akan menjadi kaya. Bukan itu maksud dari ayat 32.
Miskin dalam hal ini mempunyai makna yang luas, dapat juga dianalogkan sebagai ketidakpunyaan dalam hal harta, tapi bisa juga diartikan sebagai ‘serba kekurangan’, misalnya tidak punya anak, pengetahuan yang sempit, dlsb. Jadi, miskin harus dilihat dari segala sudut aspek kehidupan pribadi individu, tidak melulu dilihat dari kacamata kepunyaannya yang kasat mata dalam bentuk harta benda.
Jadi, Allah memampukan tidak ujug-ujug begitu saja diperoleh secara gratis, tapi harus ada usaha dan upaya untuk meraihnya. Inilah prasyarat yang dikehendaki Allah. Meskipun kita telah berusaha sekuat tenaga sampai tetes darah terakhir, tapi bila Allah belum menghendaki, apa mau dikata usaha apapun tidak akan membuahkan hasil. Disinilah bentuk kedewasaan kita menyikapi ketika Allah tidak juga mengabulkan permohonan kita. Lalu mengatakan Allah tidak adil atau seribu perkataan yang menyudutkan Allah karena permohonan kita tidak dikabulkan. Suatu pemahaman yang sesat pikir.
Jadi, untuk menjadi kaya, baik mendapatkan keturunan, kebijaksanaan, maupun harta dunia itu karena anugerah dari Allah. Berkat Allah akan tercurah bagai hujan bagi orang yang percaya.
Sampai disini kira-kira kemana arah pembicaraan sudah bisa ditebak, jadi tidak perlu dilanjutkan. Matur nuwun.

Boleh tanya, kalau belajar hermeneutika itu bisa dimana ya? rekomended di sekitar surabaya... thanks jawabannya.

jiahh... emang ustadz-ustadz yg bilang "menikah akan membuatmu kaya" dan semisalnya itu berbicara dalam konteks kaya hanya dengan menikah tanpa bekerja? aduh mas... mas... :D

Back To Top