Personal Blog

BERKENALAN LEBIH UTUH DENGAN SI KHALWAT (HARAM ATAU HALAL SIH? LALU GIMANA TENTANG PACARAN?)



Seorang lelaki menundukkan kepalanya sambil menyerahkan buku tabungannya kepada mbak teller, “Saya mau ambil uang, Mbak.”
“Iya,” sahut mbak teller itu sambil mengernyitkan keningnya. “Kenapa orang ini nunduk aja mulu gitu ya?” gumamnya dalam hati.
Sampai transaksi itu selesai, lelaki itu sama sekali tak memandang sedikit pun kepada mbak teller itu. Iseng, mbak teller itu kemudian bertanya:
“Maaf, Mas, kok dari tadi nunduk aja, apa ada yang salah dengan wajah saya?”
“Nggak, Mbak, saya takut dosa,” sahutnya.
“Dosa?” Mbak teller itu tergeragap.
“Iya, dalam Islam, dilarang memandang lawan jenis yang bukan muhrimnya.” Lalu lelaki itu mengutipkan sebuah hadist, “Dari Jarir bin Abdullah dikatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang memandang lawan jenis yang membangkitkan syahwat tanpa disengaja. Lalu beliau berkata memerintahkan aku mengalihkan (menundukkan) pandanganku.” (HR. Muslim).
Mbak teller itu pun tepok jidat. Pakai duit seribuan sejumlah Rp. 10.000.000.

****
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahram wanita tersebut, karena setan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad).

“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahram sang wanita tersebut.’ Lalu berdirilah seseorang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu,’ maka Rasulullah berkata, ‘Kembalilah! Berhajilah bersama istrimu.’” (HR. Bukhari Muslim)

Dari Abu Sa’id al-Hudzri, dari Rasulullah Saw. beliau bersabda, “Sesunguhnya dunia itu rasa manis yang menggiurkan, dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia, karena itu Dia akan melihat bagaimana perbuatanmu. Maka takutlah kamu akan dunia dan takutlah kamu akan wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Isra’il adalah wanita.” (HR. Muslim).

Apa itu khalwat dan bagaimana cakupannya? Mari kita terlebih dahulu memahami definisi dan cakupan (epistemologi) khalwat itu.
Saya kutipkan beberapa tafsir ulama tentang maksud khalwat ini.

Ibnu Hajar berkata, “(Haram) bercampur/berkhalwat dengan wanita hingga keduanya tertutup dari pandangan khalayak (tersembunyi dan tidak kelihatan). Dibolehkan khalwat jika mereka berdua kelihatan oleh khalayak.”

Lebih lanjut, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa khalwat itu menjadi dua hukumnya: ada khalwat yang dibolehkan dan ada khalwat yang diharamkan.

Pertama, Khalwat yang diperbolehkan adalah khalwat yang dilakukan untuk sebuah keperluan yang tidak bertentangan dengan syariat dengan syarat tidak tertutup dari pandangan umum.
Pendapat Ibnu Hajar ini disandarkan pada apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan seorang wanita di hadapan para sahabat, yaitu memojok dengan suara yang tidak didengar oleh khalayak dan tidak tertutup dari pandangan mereka.
Hal ini dijelaskan oleh Al-Muhallab, “Anas bin Malik (periwayat) tidak memaksudkan bahwa Rasulullah Saw. berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar, namun Rasulullah Saw. berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang di sekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Rasulullah Saw. dengan wanita tersebut (karena sifatnya rahasia). Oleh karena itu, Anas mendengar akhir dari pembicaraan Rasulullah Saw. dan wanita tersebut, lalu Anas pun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Rasulullah Saw. dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya.” (Fathul Bari).

Kedua,  Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bercampurnya) lelaki dan wanita dengan tertutup dari pandangan manusia. Gampangnya, segala jenis khalwat yang tidak sesuai dengan jenis khalwat pertama itu tadi.
Dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyah, al-Qadhi berkata tentang sifat penegak amar ma’ruf nahi munkar:

“Jika seseorang melihat seorang lelaki yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati (orang-orang) dan tidak nampak dari keduanya tanda-tanda yang mencurigakan, maka janganlah ia menghardik mereka. Namun jika mereka berdua berdiri di jalan yang sepi, maka ia hendaklah lelaki tersebut. Hendaknya ia berkata kepada si lelaki jika ternyata wanita tersebut adalah wanita ajnabiah (bukan muhrim), ‘Aku ingatkan kepadamu dari bahaya berkhalwat dengan wanita ajnabiah yang bisa menjerumuskan.’”

Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini (yaitu hadits riwayat Anas di atas) menunjukan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang wanita ajnabiah (bukan muhrim), dan hal ini bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika (dengan catatan) ia aman dari fitnah.”

Jadi, sampai di sini kini kita mengerti kan batasan sebuah khalwat dibolehkan dan tidak, menurut pendapat tersebut.
Lebih lanjut, ada pendapat dari Syaikh Shalih Abu Syaikh: “Khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau yang semisalnya yang tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan demikianlah para ahli fiqh mendefinisikan khalwat.”

Atas dasar hal tersebut, di sini bisa disimpulkan begini kan: “Berdasarkan definisi khalwat yang diharamkan di atas, maka berdua-duaannya seorang wanita dan lelaki di emperan jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua orang memandang mereka ya?”

Iya, benar (jika mengikuti pendapat-pendapat tersebut). Khalwat yang demikian (tidak tertutup dari pandangan umum) bukanlah khalwat yang diharamkan. Dan ini tentu saja bisa diqiyaskan dengan jenis-jenis khalwat di sekolah, kampus, kantor, restoran, dll., yang jelas-jelas amat sulit kita hindari dalam aktivitas kehidupan masa kini.
Namun demikian, penting bagi kita untuk selalu bersikap fair pada diri sendiri, bahwa tujuan pokok dari ketatnya aturan khalwat (bahkan sebagian ulama sangat tegas menyatakannya haram, termasuk di dalamnya sosok Felix itu) ialah karena khalwat memang merupakan salah satu sarana yang membuka peluang terhadap perbuatan negatif.
Inilah inti masalahnya buat kita semua, Kawan.

“Mampukah kita fair pada diri sendiri bahwa khalwat kita terpelihara dari fitnah pandangan mata, pendengaran atas suara yang mendayu, pakaian yang mungkin tidak tertutup dengan baik, dan goda setan dalam keberduaan itu?”

Jika kau bisa fair dan yakin mampu, tentu bukanlah masalah, sepanjang khalwatmu memenuhi syarat terbuka di tempat umum itu tadi. Ada dasar argumen yang jelas tentang itu, yang tentu bisa dijadikan landasan sikapmu.
Ya, silakan kalian renungkan saja sendiri-sendiri dengan kejujuran terdalam pada hati kalian sendiri. Iya, pada hati masing-masing ya. Jangan tanya hati tetangga. J
Biar argumen ini lebih mantap lagi, saya tambahkan nih beberapa pendapat pendukungnya:

Al-Munawi berkata, “(maksud) dari setan menjadi penengah (orang ketiga) di antara keduanya (pria dan wanita) ialah dengan membisikkan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka bergejolak dan menghilangkan rasa malu mereka, sampai akhirnya setan pun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina, yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinahan.” (Faidhul Qodir).

Asy-Syaukani berkata, “Sebabnya (pelarangannya) adalah lelaki senang kepada wanita, serta dimilikinya syahwat, demikian juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu, setan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya sehingga terjadilah kemaksiatan.” (Nailul).

Jadi, sekali lagi, maqashidus syar’i tentang khalwat itu terletak pada “menjaga napsu” itu sendiri. Bukan bersalamannya, berkumpulnya, bertemunya, atau pun berbincangnya.
Saya sungguh merasa sangat penting benar untuk menunjukkan di sini bahwa bentuk khalwat dan kaitannya dengan efek terpicunya napsu syahwat antar orang dan budaya itu berbeda-beda. Kita tak bisa menutup mata terhadap kenyataan ini.
Ada orang yang sejak kecil hidup dalam lingkungan yang berbaur antara laki dan wanita, maka tentu saja ia akan memiliki sense of belonging yang berbeda saat bertemu dan berbincang dengan lawan jenisnya dibanding orang yang terbiasa tidak bercampur dengan lawan jenisnya.
Ada orang yang tak terpantik geliat napsu apa pun pada dirinya sekalipun ia bersalaman, berkumpul, atau berbincang dengan lawan jenisnya. Sebaliknya, ada orang yang sekadar melirik atau menatap saja sudah terseret khayal napsu yang ke mana-mana.  
Ini kenyataan, Kawan.
Tentu kondisi yang berbeda antar mereka itu layak untuk mendapatkan perbedaan penghukuman pula. Ini tidak berarti saya bersetuju dengan niat buruk untuk menguntir-untir hukum sesuka hati lho ya. Tidak. Tetapi inilah yang dimaksud dengan ‘illatul hukmi (sebab terjadinya sebuah hukum) dalam kaidah Ilmu Ushul Fiqh. Dalam fiqh yang sifatnya bukan urusan tauhid dan ‘ubudiyyah begitu, dinamika hukum berdasar ‘illatul hukmi begitu menjadi keniscayaan tak terhindarkan.

“Saya kalau salaman sama lawan jenis itu, kok rasanya jadi kebayang-kebayang sampai lama banget gitu ya, sampai otak ngeres.”

Catat: Yang merasa begini, hindarilah salaman dengan lawan jenis, sebab itu sudah jatuh pada posisi berbahaya bagi napsunya.

“Saya mah biasa aja. Salaman nggak masalah, nggak ada tuh kok lalu otak jadi ngeres. Ini jujur lho, demi Allah....”

Catat: Yang merasa begini, salaman dengan lawan jenis bukanlah masalah, sebab ia tak terinfeksi oleh geliat napsunya.

Di kalangan ulama kontemporer, terdapat cukup banyak fatwa yang bicara tentang hukum ini.
Ada fatwa hukum dari Prof. Dr. Syaikh Ali Juma’ah dalam bukunya Fatawa an-Nisa, lalu Prof. Dr. Yusuf Qordhawi dalam fatwa online-nya, dan fatwa-fatwa ulama Kuwait yang dibukukan dalam Fatawa Quttha’ al-Ifta’ bi Kuwait. Mereka semua berpandangan bahwa dalam hukum mushafahah (berjabat tangan) ini terkandung causa hukum (‘illatul hukmi) yang menjadi penyebab kebolehan atau keharamannya.
Menurut pandangan mereka, hukum berjabat tangan dengan lawan jenis non muhrim adalah boleh dengan  dua syarat. Satu, tidak ada unsur syahwat yang mendorong mereka untuk berjabat tangan, sehingga tidak akan menimbulkan kenikmatan (taladzudz) syahwat atau hawa napsu. Dua, tidak menimbulkan fitnah sebab jabat tangan itu yang hanya akan memicu keburukan-keburukan lainnya.
Jelas, kan?
Lagi-lagi, kondisi hukumnya kembali kepada fairness di dalam hatimu lho. Jika memandang, salaman, berkumpul, atau berbincang (khalwat) itu menyebabkanmu goncang hawa napsunya, maka jauhilah. Tetapi jika tidak, kau boleh melakukannya.

Kawan, tentu kalian ingat ya pepatah bijak, “Sedia payung sebelum hujan”?
Ya, ya, benar, bersikaplah antisipatif. Jaga-jaga diri aja biar lebih aman dan lebih selamat saat kau berada dalam kondisi yang tak mungkin menghindar dari aktivitas memandang, bersalaman, berbincang, dan berkumpul dengan lawan jenismu alias berkhalwat.
Apa aja itu?

1.      Memelihara mata agar tidak melihat aurat lawan jenisnya. Melihat saja dilarang, tentu lebih dilarang lagi meraba atau yang lebih jauh ya.
2.      Untuk menjaga kekuatan jiwa, seringlah melakukan puasa-puasa sunat (juga ibadah-ibadah lainnya), kerena semua amalan itu akan menghadirkan dzikrullah selalu di dalam hatimu. Ia akan menjadi perisai bagimu.

Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menuntun tentang “cara antisipasi” itu lho. Di antaranya:
  1. Saling menjaga pandangan mata antara laki dan wanita, seperti tidak boleh memandang aurat, memandang dengan napsu, memandang dengan maksud yang melebihi keperluan dan kepantasannya sebagai lawan jenis.  (QS. An-Nuur [24]: 31).
  2. Wanita wajib mengenakan pakaian yang menutup aurat. (QS. An-Nuur [24]: 31). Ada pula sebuah hadist: Rasulullah Saw. bersabda: “Ada dua kelompok manusia yang aku belum pernah melihatnya: kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang dengan itu mereka memukuli manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang yang berjalan miring dan di atas kepalanya ada semacam punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak dapat mencium bau surga padahal bau surga itu dapat dicium dari jarak satu malam perjalanan.” (HR. Muslim).
  3. Saat berbincang dengan lawan jenis, jauhilah perkataan-perkataan yang mengarah pada godaan hawa napsu. (QS. Al-Ahzab [33]: 32).
  4. Saat berjalan atau bepergian, hendaknya sesuai dengan semangat menjaga diri dari memancing hawa napsu. (QS. An-Nuur [24]: 31) dan (QS. Al-Qishas [28]: 25).

Umumnya, saudara-saudara kita yang memilih memfatwa haram mutlak terhadap kegiatan memandang, bersalaman, berbincang, atau berkumpul dengan lawan jenis (khalwat)  itu, seperti dituliskan Felix, berpegang pada dalil-dalil ini:

Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barang siapa yang memalingkan (menundukan) pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai pada hari kiamat.” (HR. Imam Ahmad).

Dari Jarir bin Abdullah dikatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang memandang lawan jenis yang membangkitkan syahwat tanpa disengaja. Lalu beliau berkata memerintahkan aku mengalihkan (menundukkan) pandanganku.” (HR. Muslim).

Ya, ya, mereka memilih kehati-hatian tingkat tinggi, dan itu jelas sah saja. Tidak ada yang salah dengan posisi demikian, sebagaimana yang dituturkan Felix, dengan berdasar pula pada ayat tentang “dilarang mendekati zina”. “Ya, mendekati saja nggak boleh tuh, apalagi melakukannya,” kata Felix.
Namun di sisi lain, juga terdapat banyak ulama terkemuka yang membolehkannya dengan syarat tertentu, yang notabene memiliki tujuan pokok sama, yakni jaminan terpeliharanya hawa napsu (dan ini memang maqashidus syar’i-nya).
Kata “menundukkan pandangan” dalam hadits tersebut adalah idiom/diksi simbolis syahwat. Era budaya keluarnya hadits tersebut terukur melalui pandangan mata sebagai awal masuknya interaksi yang bersyahwat itu.
Tapi kini, di era gadget gini?
Maka pahamilah apa yang disebut sebagai diksi simbolis begitu (atau keyword dalil dalam istilah Fazlur Rahman). Ukuran pokoknya ialah tergeraknya syahwat. Maka jika ada orang yang bersalaman dengan orang lain tidak terseret syahwat (sebutlah lantaran ia punya habit begitu sejak lama), maka memandang sungguh bukanlah masalah baginya. Sebaliknya, jika kau sekadar mendengar suara lawan jenismu saja sudah aummm, maka memandang jelas menjadi ancaman yang lebih tinggi lagi posisinya.
Atau dalam contoh lain berkaitan dengan gadget. Jika kau BBM-an dengan lawan jenis, lalu satu tanganmu masuk ke dalam sarungmu, maka sungguh itu BBM menjadi haram buatmu.
#IfYouKnowWhatIMean J

“Itu gimana tuh, Om, ucapan Akhi Felix kan bener tuh, ayatnya jelas bahwa dilarang mendekati zina. Mendekati saja nggak boleh, kan? Apalagi…. Nah, salaman  itu juga bagian dari mendekati kan, Om? Jadi gimana tuh jelasnya coba….”

Sekali lagi, pandangan Felix itu sama sekali tak salah. Ayat itu adalah ayat antisipatif. Dan itu yang dipegang oleh Felix. Sedia payung sebelum hujan. Jika saya bahasakan dengan analogi lain, maka bisa begini, “Tidurnya jangan malam-malam banget ya agar besok nggak kebablasan shalat Subuhnya.”
Ini logis sekali. Ada risiko jika kau tidurnya kemalaman, maka kau bisa kesiangan. Tapi, catat pula di sini, bahwa hal ini tidak berarti lalu berlaku secara gebyah-uyah untuk semua orang. Tidak, kan. Bahwa ada, dan jumlahnya juga tak sedikit, orang yang karena telah punya habit (kebiasaan) tidur malam dan bangun pagi, maka ia tetap bisa shalat Subuh dengan tepat waktu sekalipun tidurnya setelah nonton bola.
Orang yang ingin bisa bangun malam untuk tahajjud, lalu menyalakan alarm, itu sikap antisipatif yang baik. Tapi buat sebagian orang yang telah memiliki habit untuk bangun tengah malam, ia tak membutuhkan alarm itu. Ia bisa bangun begitu saja sesuai kebiasaannya.
Oh, plis, jangan diartikan bahwa saya mengatakan ayat tentang “janganlah mendekati zina” itu nggak penting ya. Tidak, jangan suka menyimpulkan statemen secara reduktif gitu ya. J
Maka saya kira bersikap antispatif ala Felix itu bagus, namun juga jangan tutup mata ya terhadap keberadaan orang-orang lain yang bisa menggaransi dirinya kuasa menjaga diri dari goda syahwat, sekalipun bergaul dengan lawan jenis. Misal karena faktor budaya, sekolah/kuliah, kerja, hubungan social, maupun berta’aruf itu sendiri. Maqashidus syar’i-nya tidak terletak pada “jangan berinteraksi”, apalagi di dunia kita yang cukup musykil untuk tidak berinteraksi, tapi ada pada “menjaga dirimu dari goda syahwat”. Nah, peta inilah yang harus dipahami dengan sungguh-sungguh, agar penyimpulan kita menjadi utuh dan fair pula.
Jika di sini kalian kok merasa bingung mau mengikuti yang mana, ketahuilah bahwa dalam hukum Islam itu terdapat kelompok hukum yang sifatnya ijtima’ atau ittifaq (disepakati seluruh ulama) dan ada kelompok hukum yang sifatnya ikhtilaf, yakni para ulama berbeda pendapat tentangnya. Yang ijtima’ biasanya berkaitan dengan pokok-pokok sebuah syari’at (ushul), dan yang ikhtilaf biasanya berkaitan dengan cabang-cabang yang sifatnya terapan/praktis/aplikatif (furu’) atau kisi-kisi dari sebuah syariat.
Misal, dalam hukum memandang, berbincang, dan berkumpul dengan lawan jenis di tempat terbuka (khalwat) itu, para ulama bersepakat penuh bahwa tujuan syari’atnya ialah untuk menjaga kita dari goda hawa napsu. Haram hukumnya menggelorakan hawa napsu dengan kegiatan khalwat itu. Ini ijtima’-nya.
Namun, secara hukum praktisnya, para ulama berbeda pendapat tentang jenis khalwat yang berhasil diperlihara dari goda hawa napsu (dan kondisi ini memang nyata lho, benar-benar ada dalam kehidupan keseharian kita).
Ada yang keukeuh mengharamkan dalam segala bentuknya tanpa kecuali atas dasar kehati-hatian purna memelihara potensi goda syahwat itu, tapi ada pula yang menghalalkan dengan syarat harus sesuai dengan tujuan pokok syari’atnya, tidak jatuh ke dalam goda hawa napsu. Inilah sisi ikhtilaf-nya.
Lalu yang mana yang benar?
Stop bertanya seperti itu. Setiap ulama niscaya memiliki landasan masing-masing yang sangat bertanggung-jawab saat menggali dan menafsirkan dalil-dalil apa pun, sebagaimana dituturkan Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin, termasuk tentang khalwat itu. Dalilnya sama, kesimpulannya beda, dan sungguh ini adalah hal yang alamiah belaka. Lahirnya beragam mazhab fiqh yang kita kenal sekarang pun berpangkal dari kenyataan tersebut lho. Jadi tidaklah perlu ikhtilaf apa pun dijadikan api permusuhan, apalagi kafir-mengkafirkan (takfir).
Kawan, tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari buku saya yang membangun analisa detail dalam membaca dalil-dalil dan paham-paham ulama salafus shalih tentang hubungan laki-wanita, ta’aruf, khalwat, pernikahan, dan fenomena pacaran. Insya Allah terbit pertengahan Juni dengan judul: “PUTUSIN NGGAK YA....?”: PACARAN ITU SEBAGIAN BENTUKNYA HARAM, SEBAGIAN BENTUK LAINNYA HALAL (TEALAAH HUKUM PACARAN DI MASA KINI).
Semoga bermanfaat dan membawa kecerahan ilmu pengetahuan Islam buat kita semua. Amin.
Jogja, 2 April 2014
Tag : Kajian Agama
8 Komentar untuk "BERKENALAN LEBIH UTUH DENGAN SI KHALWAT (HARAM ATAU HALAL SIH? LALU GIMANA TENTANG PACARAN?)"

aamiin.... titi mangsanya hari lahir ade tuh :D *gaje

Perbedaan adalah rahmat :')

Referensinya kaya banget. Detail. Jadi pengen baca buku aslinya, Guys.

Maaf, Pak. Agakny perlu memperjelas kutipan dengan cat. kaki ^_^

di versi bukunya, catatan kaki sudah saya sediakan. di sini memang tak saya masukkan karena ini aja sudah terlalu panjang untuk dibaca di monitor. suwun :)

Firman Tuhan mengatakan “Jangan berzinah”. Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.

Pak, kalo ciuman tapi ga ada nafsu boleh gak?

Back To Top