Personal Blog

HAJI MABRUR, PENGGEMBLENGAN EGOISME Oleh Edi AH Iyubenu



Ada sebuah pendapat ilmiah yang menggugah batin, bahwa saat jamaah haji mengambil miqat sebagai tanda dimulainya pelaksanaan rukun-rukun haji, yang diawali dengan mandi dan mengenakan pakaian ihram, hal itu merupakan simbol untuk “meninggalkan kebiasaan lama dan kaitan-kaitan duniawi yang profan. Demikian pula segala jenis larangan selama berihram, seperti berhubungan seksual, membunuh, menebang pohon, dan berkata kotor, menunjukkan bahwa seorang haji harus benar-benar meninggalkan kepentingan-kepentingan duniawi.” Dan, yang mengejutkan, pendapat tersebut dikemukakan oleh Prof. William Roff, ahli sejarah Islam Asia Tenggara di Edinburgh, Scotlandia, dalam bukunya, Pendekatan Teoritis Terhadap Haji (2002).  

Negasi Egoisme sebagai Epistemologi Mabrur
Kata “mabrur” yang identik dengan maqbul (diterima), merupakan sebutan khusus bagi buah manis ibadah haji. Lawan katanya ialah mardud (ditolak). Segala macam ibadah lain tidak disebut dengan kata mabrur. Misal shalat, ia disebut sebagai khusyu’, bukan mabrur.
Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menggunakan kata “al-birru” (kebajikan, kebaikan) sebagai padanan kata mabrur ini. “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kabajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92) dan “Bukanlah kebajikan (yang sempurna) dengan menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya….” (QS. al-Baqarah: 177).
Jika mengikuti metode tafsir tematik Prof. Fazlur Rahman, pada kedua ayat tersebut terdapat dua kata kunci pokok, yakni: (1) Beriman kepada Allah, dan (2) Menafkahkan harta yang dicintai. Bila epistemologi iman diwakilkan pada sikap “pasrah” hanya kepada Allah, maka ia memperlihatkan sebuah posisi kemusliman yang patuh secara transendental dan produktif secara sosial.
Pada ranah patuh transendental, layaklah untuk menyebut para jamaah haji telah memenuhi standar tersebut. Mengapa? Karena niscaya semua jamaah haji haruslah orang Islam yang telah bersyahadat. Dan syahadat merupakan pilar simbolik “sikap pasrah” kepada Allah dan rasulNya.
Tetapi untuk kata kunci kedua, menafkahkan harta yang dicintai, sangat berbeda urusannya. Bahwa para jamaah haji telah mengeluarkan hartanya untuk membayar ONH, sehingga layak disebut “mengeluarkan harta yang dicintainya”, tentu itu tidak bisa dinafikan. Meski sejatinya ONH yang timbul “sekadar” merupakan konsekuensi logis dari label “mampu” (istatha’a) yang memang menjadi syarat bagi muslim/muslimah yang hendak berhaji.
Akan tetapi, epistemologi “menafkahkan harta yang dicintai” tersebut ternyata berkelanjutan “…pada sanak kerabat, kaum muskin, dhua’afa, anak yatim, dll.” (QS. Al-Baqarah: 177). Menghentikan epistemologi “menafkahkan harta yang dicintai” hanya pada urusan ONH jelas sangat tidak memadai. Ia bukan hanya tentang “pra haji”, tetapi justru lebih vitalnya lagi tentang “pasca haji”.
Ajaran sedekah, misal, menggembleng jiwa kita untuk berjuang keras secara ekonomis agar menjadi muslim produktif dan kemudian turut mengambil peran sebagai “pejuang kemakmuran kolektif”. Sedekah merupakan antitesa paling sinis terhadap segala macam praktik kapitalisme dan sekaligus dikotomi kelas borjuis dan proletar. Islam berseberangan dengan kedua ideologi besar itu melalui prinsip ta’awun (tolong-menolong) dan ukhuwah (persaudaraan).
Dalam sebuah hadist shahih, Rasulullah Saw. bersabda, “’Haji mabrur tiada balasan baginya kecuali surga.’ Para sahabat bertanya, ‘Apa itu mabrur, wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘Menebarkan kedamaian dan memberikan makanan.’” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadits tersebut kian menegaskan mabrur secara aksiologis (praktik). “Menebarkan kedamaian dan memberikan makanan” menjadi dua indikator utama apakah seorang haji begitu pulang kampung berhasil meraih label mabrur atau mardud. Dan, pondasi paling pokok untuk sanggup menegakkan dua indikator aksiologis itu hanyalah dengan cara menegasi egoisme.
Ibnu ‘Abdil Barr, dalam kitab al-Tahmid, misal, menguraikan beberapa ciri sikap seorang mabrur: tidak riya’ (ingin dipandang orang lain), tidak sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak rafats (melakukan perbuatan atau kata-kata kotor), tidak melakukan kefasikan, dan bermodal harta yang halal. Semua ciri itu sepenuhnya bersumber pada kemampuan diri untuk menegasi, menanggalkan, egoisme.
Proses penggemblengan negasi egoisme ini terlihat begitu terang dalam seluruh ritual (syarat dan rukun) haji. Jamaah digembleng secara ruhani dan jasmani, misal, melalui makna simbolik ihram. Baju ihram yang hanya dua lembar berlaku sama kepada seluruh jamaah haji, tanpa pandang bulu dan keadaan. Jamaah yang kaya, pejabat, orang penting, konglomerat, hingga jamaah yang sedang sakit keras tetap harus mengenakan pakaian ihram. Tanpa rukhsah.
Makna simbolik ihram ini menggembleng semua jamaah untuk belajar membebaskan diri dari segala label egoisme keduniawian (harta, jabatan, status), menyatu dalam satu kesatuan organik di bawah bendera tunggal kemahakusaan Allah dan kehambaan manusia.
Ayat 197 dari surat al-Baqarah memberikan rambu-rambu tegas yang tidak boleh dilanggar selama masa penggemblengan tersebut, yakni “….tidak boleh melakukan rafats (berbuat kotor), berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan.
Pertama, rafast. Ia bermakna berbuat kotor, termasuk di dalamnya hubungan badan suami-istri dan rayuan-rayuan yang identik dengan hawa napsu. Sekalipun istri atau suami itu halal hukumnya, tetapi khusus saat berihram, kehalalan tersebut dihapuskan. Hal ini menggembleng jiwa dan raga jamaah haji untuk sanggup mengendalikan diri, hawa napsu.
Kedua, fusuq. Ia bermakna berbuat kefasikan atau kerusakan. Jika selama ihram, mencabut tanaman saja dilarang, apalagi menyakiti fisik dan hati orang lain? Logika penggemblengan ini memperlihatkan betapa Allah menyeru pada jamaah haji untuk menjadi bagian dari penegak kedamaian di muka bumi, bukan perusaknya, baik kepada sesama maupun alam semesta.
Ketiga, jidal. Ia bermakna berdebat atau berbantah-bantahan. Poin penggemblengan ini kesannya sepele, tetapi inilah biang kerok yang paling sering menginfeksi para jamaah haji.
Saat sedang mabit di Musdalifah, misal, betapa seringnya jamaah haji terlibat perdebatan atau berbantah-bantahan hanya karena urusan ukuran batu untuk jumrah. Tanpa sadar, dalam keadaan ihram, begitu banyak jamaah yang terjungkal dari mabrurnya semata akibat gagal menahan jidal dari egoisme rasa sok tahu, sok pintar, sok alim, dan sejenisnya.

Akhlak Baru Haji Mabrur
Keberhasilan menegasi egoisme sebagai buah penggemblengan ibadah haji itu meniscayakan pelakunya untuk “terlahir ulang” sebagai sosok yang rendah hati dan dermawan.
Tidaklah mungkin seseorang sanggup menjadi bagian dari “menebar kebajikan” (afsyu al-salam) jika di dalam hatinya masih diselimuti oleh kesombongan. Dan, biasanya, virus yang paling jamak menyerang jamaah haji dalam konteks ini ialah hasrat untuk dihormati (riya’ dan sum’ah) sebagai muslim yang dipilih Allah untuk menginjakkan kaki di tanah suci.
Selain kerendahan hati, buah haji yang mabrur ialah “memberi makanan” (ith’am al-tha’am). Seseorang yang begitu pulang haji menjadi kian dermawan dibanding sebelumnya menjadi indikator kesuksesannya dalam menempuh proses penggemblengan jiwa dan raga selama di tanah suci.
Seharusnya, seorang haji begitu pulang kampung dari tanah suci sanggup memiliki “tampilan baru” dalam hal akhlak, yakni akhlak secara spiritual, ilahiyah, dan akhlak secara sosial, insaniyah. Seharusnya, seorang haji begitu pulang kampung dari tanah suci sanggup manjadi insan yang bukan hanya shalih secara spiritual, tetapi sekaligus shalih secara sosial. Seharusnya.
Selamat datang jamaah haji Indonesia, semoga mabrur.
Tag : Artikel
0 Komentar untuk "HAJI MABRUR, PENGGEMBLENGAN EGOISME Oleh Edi AH Iyubenu"

Back To Top