Personal Blog

Penggalan Novelku, AYSILA DILARA, Bab 8: KUTUNGGU KAMU DI SELAT BOSPHORUS



Saya sedang menulis novel, AYSILA DILARA, bersetting Istanbul, Turki, dan sudah sampai bab 10. Novel ini akan sangat kaya diksi. Jika dibaca oleh orang yang ingin mencari tahu berbagai teknik bercerita, mungkin akan mendapatkan contoh-contoh di sini. Jika dibaca oleh orang yang ingin menemukan nilai-nilai wisdom, mungkin akan banyak menemukannya. Insya Allah, tahun depan terbit. Semoga.


8
Kutunggu Kamu di Selat Bosphorus

Aku sungguh lelaki asing paling beruntung di kota ini!
Kau bayangkan, setelah menelan sedikit kecewa sebab Darvish Dance yang kuharap tampil di kafe yang kutunggui sejak pukul 19.00 tak pernah dipentaskan, hingga aku memilih pulang ke Olimpiyat Hotel,  handphone-ku berdering. Bukan nomor yang kukenal. Dan, kau tahu, siapakah yang meneleponku di nyaris tengah malam itu?
Aysila!
Ia berkata bahwa sebenarnya pengin meneleponku sejak tadi sehabis Maghrib, tetapi itu tak bisa dilakukannya karena sibuk. Hemm, dalam hati aku membatin, kamu pasti sibuk dengan si lelaki kurus itu, kan?
“Jadi, kapan kamu akan mengunjungi Selat Bosphorus?”
“Besok, begitu rencanaku.”
“Mau kutemani?”
Demi apa aku tidak akan berkata, “Iya…iya…iya…”?! Ya, ya, tentu saja aku takkan senorak itu, meski dadaku tiba-tiba kembali terhuyung. Aku memilih sebuah jawaban elegan, tapi tuntas tidak selayaknya wanita di negeriku yang cenderung malu-malu hingga sering memicu blunder. “Oke, terima kasih.”
“Tunggu aku di dermaga kecil di Selat Bosphorus, di seberang sebuah kafe kecil. Namanya Boozcada Café. Hei, aku hampir lupa, besok kamu harus membelikanku balik ekmek ya.”
Tak perlu kuceritakan bahwa aku berpikir dua kali untuk tahu apa itu gerangan balik ekmek yang dipintanya dan bahwa semalaman aku nyaris tidak bisa memejamkan mata! Oh tidak, aku tidak akan pernah mengakui ini; aku tak sabar menunggu pagi untuk berjumpa Aysila di Selat Bosphorus, seperti ABG-ABG yang dimabuk asmara, tetapi aku memilih membaca lebih banyak referensi tentang Selat Bosphorus agar besok tidak terlihat bodoh di depannya.
Betapa cerdasnya aku, kan? Meski, ya, kau tahu, ini tak sepenuhnya benar pula!
Maka, di pagi yang sebenarnya masih teramat dini untuk keluar hotel, yang menyebabkanku sontak dihantam habis-habisan oleh terpaan angin musim dingin yang sanggup membuat hidung dan mulut bagai bermandikan uap sauna, aku telah membelah jalanan di depan hotelku untuk menuju Selat Bosphorus. Sangat bersemangat! Haaaa, aku tertawa dalam hati, tepatnya mentertawakan semangatku, yang ternyata benar bahwa semangat itu menjadikan segalanya terlihat menggairahkan.
Kuayunkan langkah-langkah panjang melintasi taman luas di Hippodrome,[1] yang di tengahnya berdiri dua buah obelisk dan satu pilar batu yang julang sekali. Dedaunan yang meranggas dihajar musim dingin terhampar di setiap sisinya. Beberapa bangku taman terlihat basah menyisakan bekas ciuman angin dingin semalam. Tak ada seorang pun yang kupapasi di sini. Sepi. Lalu, kuteruskan langkah ke jalanan berkonblok yang bersisian dengan Hagia Sophia. Kutoleh sekilas bangunannya yang kecokelatan, juga taman di seberangnya yang masih membeku.
Tepat di sisi selatan Hagia Sophia, kubelokkan badan ke kiri, lalu melaju, melintasi trotoar di tepian aspal yang belum ramai. Beberapa orang terlihat berjalan dengan langkah panjang-panjang, dengan sekujur tubuh tertutup sempurna untuk sedikit menghela angin beku. Sebuah bus panjang terparkir rapi di sisi yang kulintasi. Di perutnya, tampak beberapa orang yang sudah duduk dengan posisi tegak.
Dalam hati, aku kembali mentertawakan diri sendiri; betapa semangatnya aku untuk segara tiba di dermaga kecil Selat Bosphorus ya. Tepatnya, betapa semangatnya aku untuk segera tiba, lalu duduk, menyimak hamparan laut yang tak begitu bergelombang, dan bergumam dalam hati, “Kutunggu kamu di Selat Bosphorus.” Angin dingin? Ah, ia telah hengkang ditaklukkan oleh semangatku. Lebih tepatnya lagi, semangatku untuk segera melihat mata Aysila yang kecokelatan.
Kulintasi pasar kecil yang agak menjorok ke belakang dari sebuah halte bus, di sana telah berdenyar keramaian. Beberapa baliho besar berderet di tepian jalan, tertata sedemikian rapinya. Berbanjar sangat presisi, seolah tak ada satu pun yang berebutan untuk melenceng dari garis lurusnya, sejauh mataku memandang. Di sebelah kanan, kulihat Ibis Hotel Istanbul berdiri tegak, di balik beku. Pintunya mengatup rapat. Di sebelahnya, agak berjarak sedikit, sebuah benteng sisa peninggalan Romawi berdiri kokoh, kendati sebagian sisinya telah ditinggalkan warna asli dan kulit lapisnya.
Tepat pada pertigaan yang di atasnya melintang rel yang sedari tadi berlalu-lalang trem yang tak begitu panjang-panjang, mungkin hanya terdiri dari 3-4 gerbong yang catnya berwarna-warni cerah, aku menyeberang. Lalu berbelok kanan, dan kini, kau tahu, terlentanglah di depanku hamparan air laut yang kebiruan. Inilah Selat Bosphorus! Selat yang sangat terkenal, yang memisahkan tanah Asia dan Eropa, yang semalam kudapatkan lika-likunya dari resepsionis Olimpiyat Hotel. Kutebarkan mata ke segala arah, ke sekujur selat yang tak begitu luas ini; di sisi utara, pastilah itu Laut Hitam dan di sisi sebaliknya, selatan, pastilah itu Laut Marmara. Dua buah jembatan tampak melintang membelah selat ini dalam jarak yang cukup jauh; jembatan yang menghubungkan tanah Asia dan Eropa. Beberapa ekor camar dan elang laut beterbangan di atasnya, diselilingi tembang-tembangnya yang khas. Beberapa buah perahu, dari yang kecil seperti perahu nelayan tradisional hingga yang agak besar serupa kapal fery, terlihat sandar di beberapa tepiannya.
Sepagi ini, tentu saja belum ada aktivitas apa pun di atas kapal-kapal cruise yang kabarnya selalu siap melayani para pelancong untuk berkeliling ke sekujur Selat Bosphorus ini dalam durasi hanya 1,5 jam. Mungkin dua atau tiga jam lagi. Di seberang selat yang kutaksir hanya bertjarak 4-5 kilometer ini, mataku yang berhasil menembus udara pagi melihat deretan bangunan yang disebut yale, yang seperti disusun berundakan di pinggang bebukitan. Sebuah bangunan besar yang cukup menonjol, yang kubaca dari internet, merupakan pos jaga pemantauan segala kegiatan di Selat Bosphorus ini, terlihat kelabu. Di seberangnya, di bagian tanah Asia, yang hanya berjarak satu kilometer dari tempatku berdiri kini, sebuah masjid menjulang begitu jantannya. Beberapa buah menara menunjam langit, seolah menantang angkasa yang bermandikan kabut tipis.
“Itu dia Masjid Sulaiman yang disebut-sebut sebagai masjid terbesar di kota ini,” gumamku, sambil membakar rokok untuk menghela dingin. Kurapatkan syalku, juga topi kainku hingga sempurna menutup telinga, lalu kembali melaju, di antara terpaan angin laut dan udara gigil musim semi yang belum tuntas.
Kulirik Guess hitam di tangan kanan, jarumnya menunjuk pukul 08.15 saat kujejakkan kaki di sebuah dermaga yang di mulutnya dihuni oleh dua buah kapal fery yang sandar. Jika mengikuti pertunjuk resepsionis Olimpiyat Hotel semalam, harusnya Boozcada Café ada di sini. Kutolehkan kepala ke sana-ke mari, beberapa kali, tetapi mataku tak juga tanda-tandanya. Beberapa orang yang bersiap-siap untuk menyeberang ke tanah Istanbul bagian Eropa kian ramai berdatangan. Semuanya menyembunyikan tubuh di balik jaket atau coat tebal. Petugas tiket yang telah membuka loketnya mulai sibuk melayani para pengunjung. Di antara mereka, terlihat beberapa wanita muda yang, kau tahu, tak ada satu pun yang memiliki hidung kecil. Hidung mereka lancip-lancip, panjang, besar, dan tenggelamlah sempurna hidungku di hadapan mereka. Ditambah mata-mata yang kecokelatan, sebagian ada yang biru, kukira pantas sajalah bila banyak lelaki yang memutuskan untuk tidak kembali ke negerinya setelah menginjak tanah yang elok ini.
Kepada seorang gadis yang kulihat duduk seorang diri setelah membeli tiket, kutanyakan di mana gerangan Boozcada Café berada. Ia tersenyum kecil, lalu menengadahkan lehernya ke atas, ke lantai dua.
“Kafe itu tentu masih tutup jam segini. Tempatmu berdiri sekarang yang berwujud toko ini juga baru akan buka sejam lagi. Di sini, semua toko baru buka pukul 09.00 pagi,” katanya.
Kuundurkan kaki beberapa meter dari bawah atap lantai dua ini, lalu kulongokkan kepala ke atas. Ah, sialan! Pantas saja aku tak menemukannya sedari tadi, rupanya tulisan Boozcada Café hanya terselip kecil begitu di atas pintu yang mengatup, dengan warna cokelat kayu.
“Kalau kamu mencari smoking area,  geserlah ke selatan beberapa meter. Ya, di dekat tong sampah stainless itu, kamu boleh merokok di sekitarnya.”
“Ah, tidak, tidak,” kataku.
Ia tersenyum dengan mata menyorot. Ya, mata cokelat seperti yang dimiliki Aysila.
“Maksudku, kamu tidak boleh merokok di sini,” katanya sambil menunjuk tanganku.
Oh my God!
Buru-buru kujejalkan rokokku ke lantai, lalu menginjaknya sampai mati.
“Dan, jika kamu membutuhkan tong sampah untuk membuang puntung rokokmu itu, itu tempatnya,” katanya lagi.
Damn!
Kupungut dengan cepat puntung yang lindas di kakiku, menggenggamnya, lalu melangkah ke tong sampah stainless yang ditunjukkanya. Kulihat gadis itu tersenyum agak terpingkal, sebelum kemudian masuk ke perut fery yang mulai dibuka, di antara ramai orang-orang yang berderet rapi memasukinya. Tak ada suasana desak-desakan sama sekali. Tidak ada, tidak seperti di negeriku yang gemar mendesak-desak orang lain!
Setelah memgangkat jangkar, kapal fery itu pun berangkat membelah wajah Bosphorus, membawa gadis bermata cokelat yang sungguh telah mengajariku untuk memiliki rasa malu. Lalu, fery lain merapat hanya dalam hitungan menit, dan rombongan penumpang turun dengan berderet antri satu-persatu. Para penumpang yang telah memiliki tiket di tangan tampak membentuk barisan di kanan kiri jalan keluar para penumpang yang turun itu, hingga benar-benar tak tersisa satu pun, lalu barulah mereka memasukinya. Tak ada satu polisi pun di sekitarnya, atau pun security, tetapi semua berjalan dengan begitu tenangnya.
Beberapa gerombolan burung camar terlihat berlintasan di sekitar kapal fery yang sandar ini. Sebagiannya ada pula yang hinggap di atap-atap kapal, di bentangan kabel-kabel bajanya yang melintang. Juga beberapa ekor elang laut yang membaur.
Kulirik lagi arlojiku, pukul 09.30. Tak ada tanda-tanda Aysila akan datang. Ah, kupikir, tepatnya, Aysila akan datang tidak lama lagi, meski itu terdengar seperi sebuah hiburan untuk menyenangkan diri sediri.
Kutunggu kamu di Selat Bosphorus, Aysila….



[1] Hippodrome adalah arena pacuan kuda di masa Kekaisaran Romawi. Kini tidak dipakai seperti itu lagi, hanya menjadi sebuah taman yang luas dan menyenangkan untuk disinggahi.
0 Komentar untuk "Penggalan Novelku, AYSILA DILARA, Bab 8: KUTUNGGU KAMU DI SELAT BOSPHORUS"

Back To Top