Personal Blog

KULIT ATAU ISI



Rata-rata kita tergolong ke dalam kelompok orang yang suka sekali membiarkan diri kehilangan “isi” akibat terlalu sibuk mengurusi kulit. Isinya tak berhasil kita nikmati, justru kulitnya yang membuat bibir dan lidah kita beset-beset.
Bahwa kulit merupakan bagian utuh dari sebuah hal, itu benar adanya. Jika kulit dan isi benar-benar kuasa bertelangkai manis, tentu itu sebuah hadiah istimewa. Tetapi, kadangkala, suka tak suka, kita dihadapkan pada situasi untuk memilih dengan sedikit berbijaksana pada satu kekurangan yang ada. Dengan sedikit memafhumi dan menoleransi kekurangan salah satunya.
Saat berada dalam posisi demikian, tentu semua kita mafhum bahwa kita seyogyanya menoleransi kulit demi menikmati isinya. Boleh jadi kulit kopi Luwak begitu menjijikkan, namun jika kita sukses menoleransi kulitnya, niscaya kita akan ketagihan menyeruput isinya.
Atau, barangkali kalian pernah mendengar sebutan “durian gajah”? Kabarnya, itu adalah buah durian yang jatuh matang dari dahannya, lalu disantap utuh oleh gajah, lalu dikeluarkan lagi bersama kotorannya. Kabarnya lagi, durian gajah memiliki rasa yang amat lezat.
Jika kau sedikit menoleransi bantuan gajah untuk memproses durian itu di dalam perutnya yang tentu tak higienis, niscaya isinya yang super lezat akan ternikmati dengan menakjubkan.
Begitulah selayaknya posisi yang perlu kita ambil saat kita tak mendapatkan suatu hal dalam keadaan sempurna antara kulit dan isinya.
Begitulah bijaknya.
Tetapi, perhatikanlah, apa gerangan yang lebih sering kita lakukan selama ini?
Ternyata, rata-rata kita lebih demen menyoal kulit bahasa atau siapa yang menyampaikan (tulisan atau ucapan), sehingga kita menjadi kehilangan fokus untuk mencermati isinya, dan apalagi mampu menikmati hikmahnya. Kita begitu sibuk bagai air soda yang menemukan tutup botol yang dikupas, berebutan untuk segera lari, dan lalai pada isi botol yang akan ditenggak. Kita begitu ribut bagai lebah-lebah yang berkerumun hanya untuk mengkritik dan bahkan mencaci kulitnya, sehingga alpa pada kecantikan isinya.
Celakanya, watak sibuk pada kulit demikian hanya akan tega dilakukan oleh mereka yang demen mengangkat dirinya ke kursi emas kecerdasan dan kealiman sambil meludahi muka yang dicerca sebagai si bejat hati dan si buruk rupa. Lalu, kita ongkang-ongkang kaki bak pewaris surga yang telah dijanjikan. Padahal, kita sungguh tak pernah ke mana-mana juga. Kita tetap saja hanyalah si pencerca dan penghina yang sakit jiwa di malam buta, yang selalu gagal meraih hikmah apa pun dari sebuah ucapan, tulisan, atau peristiwa.
Jika kita demikian adanya, sungguh kitalah si celaka itu, yang tak sadar bahwa dirinya benar-benar celaka.
Jogja, 6 November 2014
2 Komentar untuk "KULIT ATAU ISI"

walaupun ekstrakulit manggis membawa kabar gembira saya juga lebih suka isinya

Duh duh baca ini malah ingat Bu Susi.

Back To Top